"Siang menyapa dengan cahaya, malam tiba mencari cerita. Keduanya hadir dalam misi pencarian keseimbangan."
-----
Aku melirik jam di tangan kananku. Lima menit lagi sebelum waktu menunjukkan pukul 22:00. Tanpa sadar aku mengentakkan kakiku berkali-kali ke tanah. Sebuah kebiasaan yang muncul ketika aku merasa cemas dan gugup. Untuk saat ini, aku merasakan keduanya. Cemas dan gugup. Cemas karena aku takut menjadi korban kejahatan dan gugup karena aku harus menemui orang asing. Terlebih lagi orang asing ini laki-laki.
"Halo." sebuah sapaan hangat bersandar di gendang telingaku. Rupanya Grian baru saja datang dan langsung duduk di sampingku. Sialan, aku terlalu banyak berpikir. Sampai-sampai telat untuk menyadari keberadaannya.
"Halo juga." jawabku formal. Aku ingat sekali, waktu itu Grian mengenakan kemeja hitam dengan celana span berwarna krem dengan sedikit aksen kekuningan. Potongan baju dan celananya yang tidak terlalu ketat namun juga tidak kebesaran membuat Grian semakin enak ketika dipandangi. Pas sekali di tubuhnya.
"Oh iya, ini buku Anda." ujarku tanpa basa basi seraya menyodorkan buku tersebut kepada Grian.
"Terima kasih, untung Anda bersedia mengembalikan buku ini. Bagi saya buku ini berharga sekali." balas Grian yang langsung memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya. Tak lupa diiringi ekspresi wajah yang terlihat sekali bahwa ia merasa bersyukur.
Bagiku itu hal yang aneh. Kenapa pula sebuah buku yang sebenarnya lebih terlihat seperti umpan itu menjadi sesuatu yang amat berharga baginya? Lagi-lagi Grian berhasil membuatku bertanya-tanya. Membuat rasa penasaran dalam diriku semakin meronta-ronta. Rasanya semakin ingin aku jadikan Grian sebagai subjek utama dalam novelku.
"Ada kafe bagus di dekat sini. Jika Anda berkenan mari minum kopi bersama. Anggap saja itu balas budi saya." Tawarnya dengan nada yang ramah.
"Boleh. Bisa jalan kaki dari sini?" tanpa tedeng aling-aling aku menerima tawarannya. Sebenarnya ini hal yang cukup bodoh dan sembrono. Namun jika dibandingkan dengan kesempatan yang ada di depan mataku saat ini. Kapan lagi?
"Bisa, mari." kami lalu beranjak dari halte tersebut dan berjalan kaki bersama. Canggung sekali rasanya. Selama lima menit ke depan kami tidak saling bertanya. Untukku pribadi, berjalan beriringan sambil mengobrol memang bukan opsi yang bagus. Mungkin itu juga yang dipikirkan oleh Grian.
-----
Tak butuh waktu lama, aku dan Grian sampai di sebuah kafe kecil bernuansa vintage. Grian memilih tempat duduk dan memesankan kopi untuk kami berdua. Dia bilang itu kopi favoritnya dan ia ingin aku mencobanya.
"Sudah lama jadi penulis?" pertanyaan itu lagi. Ini sudah kedua kalinya Grian menanyakan hal itu.
"Lumayan. Baru mulai beberapa tahun belakangan." dia mengangguk kecil mendengar jawabanku. Setelah itu hening kembali. Suasana kembali berubah canggung.
"Begini..." ujarku ingin mengutarakan maksud namun dengan hati-hati. Berharap Grian tidak mengiraku sebagai orang aneh.
"Rencananya saya ingin menulis novel terbaru, dan..." terangku dengan ragu-ragu.
"Dan apa?"
"Saya ingin Anda jadi subjek utama di novel yang akan saya tulis." akhirnya kuutarakan juga maksud terselubung itu. Namun anehnya Grian tidak terlihat terkejut.
"Buatmu, kehidupan seorang pelacur pria bisa jadi bahan tulisan yang menarik?" ia bertanya sambil terkekeh. Kukira ia akan tersinggung. Namun ia malah tertawa dengan bahasa yang semakin santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sama Dengan
Ficción General"Sama Dengan" adalah kumpulan cerita pendek yang mengeksplorasi berbagai tema tentang identitas, hubungan, dan pencarian makna hidup. Setiap cerita menawarkan pandangan unik dan mendalam tentang kehidupan manusia dan dilema yang sering kali dihadapi...