Fiore menghitung semua utang adiknya. Dari mulai utang beras, cemilan, hingga kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sampo, dan gas. Pemilik warung orang yang baik, memberikan semua yang diminta Fariz karena tahu kalau Fiore yang akan bertanggung jawab. Total utang nyaris mencapai satu juta, dan Fiore melunasi semua. Memberikan sedikit deposito untuk pembelian selanjutnya. Pemilik warung, seorang perempuan paryh baya bertubuh gempal tersenyum lebar menerima uang dari Fiore.
"Kamu ini gadis yang baik, Fiore. Kebutuhan Fariz dan mamanya kamu yang tanggung. Padahal sebagai anak kamu nggak ada kewajiban untuk itu."
"Mau gimana, Bu. Yang penting adik saya bisa makan."
"Kasihan Fariz, masak dan bebersih rumah sendiri karena mamanya yang tolol itu sibuk pacaran dan judi."
Hati Fiore tidak nyaman saat mendengar cerita tentang Fariz. Adiknya yang cacat harus hidup menderita bersama Dornia yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Kalau bukan karena dirinya, Fariz tidak akan bisa sekolah dan makan. Ia menyesal tidak bisa menjaga adiknya sekolah, sudah pasti Fariz dibuli karena kondisi tubuhnya. Fiore hanya bisa menghela napas panjang, merasa bersalah tapi juga tidak berdaya. Keadaan memaksanya untuk keluar dari rumah itu.
"Kalau aku tetap di sana, pasti mati digebuki, Bu."
Pemilik warung mengangguk dengan wajah muram. "Memang, keputusanmu sudah tepat untuk tidak lagi tinggal di sana. Jangan merasa bersalah, Fiore. Lagipula, tinggal di luar bikin kamu lebih bebas untuk kuliah dan kerja. Ngomong-ngomong, tadi aku udah bilang belum kalau Dornia punya pacar baru?"
Fiore mengangguk. "Sudah, Bu."
"Perempuan itu bukan lagi istri almarhum papamu. Dia tidak lagi punya hubungan denganmu. Apalagi pacarbya sekarang tinggal di rumah susun itu. Bukannya itu milik papamu?"
"Iya, Bu."
"Berarti milikmu dan Fariz. Gugat aja biar perempuan itu tahu diri." Pemilik warung terlihat sangat jengkel setiap kali bicara soal Dornia. Kebenciannya terlihat jelas dan tidak ditutupi. "Kamu tunggu di sini, biar suamiku manggil Fariz."
Duduk di bangku kayu depan warung sambil makan kerupuk, pikiran Fiore melayang pada ide tentang menjual rumah susun miliknya. Ia dengan senang hati melakukan itu, mengusir Diorna dan merawat Fariz. Namun, tidak semudah itu melakukannya karena Diorna menyembunyikan sertifikat. Ia harus menemukan lebih dulu sebelum menjualnya.
"Kak Fiore!"
Fariz berteriak, berjalan terpincang-pincang dengan tongkat di tangan. Fioter tersenyum lebar, mengembangkan lengan.
"Fariz, gimana kabarmu? Baik saja'kan?"
Fariz mengangguk. "Iya, Kak. Makasih udah beliin beras dan lainnya."
"Kamu masak sendiri? Kenapa nggak beli di warung?"
"Kalau beli warung nggak cukup, Kak. Soalnya Mama dan temannya suka minta. Kalau Fariz beli beberapa bungkus, mahal Kak."
"Mereka nggak maksa kamu beli di warung nasi?"
"Mama nyurih tapi Fariz nolak. Kasihan Kakak kalau keluar uang banyak-banyak."
Hati Fiore tersentuh dengan sikap adiknya yang tulus. Tidak tega meninggalkan Fariz sendirian di sini tapi demi masa depan harus dilakukan.
"Kalau Fariz capek masak, pingin makan enak, minta sama Bu Pemilik warung ini atau warung nasi untuk bantu beli. Nanti kakak yang bayar."
"Iya, Kak. Kok aku nggak lihat Kak Rexton?" Fariz celingukan, pandangannya mengitari sekitar.
Fiore tersenyum, mengusap pipi adiknya. "Kak Rexton lagi kerja. Nggak bisa datang."