Planet Quabaq.
Planet yang kami kunjungi dengan gerbang teleportasinya Ochobot. Kaizo sampai rela mendatangkan Ochobot, salah satu power sphera dari suaka, supaya kami tidak memakan terlalu banyak waktu dalam perjalanan lintas sektornya.
Sebuah planet berkadar oksigen tinggi, dengan satelit mirip bulan, dan bintang-bintang neuron awawarna di sekelilingnya. Pesawat luar angkasaku menembus lapisan pelindung Quabaq, meluncur turun ke tanah empuk dari proses organik yang kaya akan mineral.
Pintu garasi belakang dibuka. Sekelebat cahaya kekuningan menerobos masuk, menyilaukan mata. Planet ini bersuhu normal. Tak seekstrem Baraju.
Terik penerangan satelit Quabaq menghiasi lanskap alam planet ini. Kapten Separo memimpin jalan sembari menghibungi Fang, kapten regu Kokotiam, yang juga mendarat di Quabaq, tapi di koordinat berbeda. Kami berpencar, tapi dalam jumlah regu besar. Planet ini mirip seperti planet Gugura; tak berpenghuni. Artinya, kami tidak punya narasumber untuk ditanyai dan informan-informan pribumi.
Menjelajahi satu planet tanpa peradaban. Sial, here we go again.
Tapi kami enggak begitu clueless. Kaizo bilang, Hang Kasa tinggal di sini, menetap pada gubuk tua di atas bukit, setelah dia berhasil membekukan Retak'ka ratusan tahun lalu. Kami bermaksud mengunjungi gubuk rahasianya, mencari Gempa di sana, karena otaknya terprogram dalam chip hipnotis berpura-pura menjadi Hang Kasa.
Sedangkan Kokotiam, mereka mengunjungi area vital lainnya, area dimana Hang Kasa membangun pertahanan, sebuah bukaan dengan tebing-tebing berlumut yang digunakannya sewaktu melatih Boboiboy.
Melatih apa? Aku kurang tahu. Tapi sepertinya, peristiwa kompleks itu sungguh tidak disukai Boboiboy. Frostfire ikut pada rombongan kami, Sopan juga. Ini pembagian kelompok yang tidak adil bagi Kokotiam, soalnya dua orang Boboiboy ini malah memaksa mengikuti aku. Tapi, karena regu Kokotiam tidak mempermasalahkannya, toh membawa Sopan—Solar—artinya mengundang bencana, jika mereka bertemu Gempa duluan.
"Mirip bumi." Aku berkomentar.
"Kalau sudah sampai di sana," Frostfire menunjuk pada bukit berlumuran vegerasi rerumputan hijau, dengan tujuh air terjun mengalir dari bebatuan plutoniknya. "Sebaiknya berhati-hati pada anginnya. Soalnya kalian tidak memakai jaket hangat."
"Angin?" Jugglenaut, si cebol berhidung tomat, menyela. "Angin, kenapa dengan anginnya?"
"Shhh!" Kapten Separo mulai mencari titik awal mendaki. Kapten Separo mendongak ke atas. Dia menolak berdiskusi di tengah jalan dan mendengarkan Boboiboy. "Jangan bicara."
Kapten Separo meraba-raba purple fountain grass dengan bunga kemoceng yang menyeruak dari koloninya. Dia berusaha mencari jalan pintas, sebab bukit tujuan kami ada tepat di depan sana, namun jalan setapaknya malah mengarah ke kawasan cekungan geologi berisi bentangan bunga kardinal berkelopak kerucut dan populasi tanaman liar lainnya. Itu jalan memutar.
"Astaga. Planet ini jauh lebih baik daripada Baraju." Jokertu mengomel. Dia menyapu pandang pada sekitar. "Quabaq temperatur udaranya bersahabat, sih ... tapi,"
Akhirnya Jokertu memandang ke atas langit. "Tapi, kalau kita masuk ke hutan di depan sana, cahaya susah masuk ke dasar. Pasti, kalau malam, serem banget."
Sopan, karena dia memiliki genetik Taufan, dia pergi ke ilalang itu juga, meraba-raba, mempelajari hal baru. Dia seperti pangeran yang dikurung di menara tinggi, tidak diperbolehkan keluar selama puluhan tahun oleh ibu tirinya, yang baru mengenal alam dan mengagguminya.
"Oh ya. Seharusnya kita menghindari mencari Gempa saat malam," Frostfire buka suara lagi. "Soalnya, ada Kang Kong. Mereka akan keluar dari sarangnya saat cahaya telah terbenam."