0 | Prolog

276 27 0
                                    

Sejak awal, mereka semua memang sudah tahu resiko apa saja yang akan mereka terima. Bahkan sejak kali pertama rasa penasaran itu hadir, tanpa peringatan menjerat jiwa raga ini kedalam kegelapan yang 'tak berujung.

Mengharapkan apa mereka di dunia gelap ini?

"Sekarang harus gimana? Semuanya udah kacau." Suara berat itu berhasil memecah keheningan ruang tengah yang menjadi tempat perkumpulan.

"Ekonomi kota kacau. Pemerintahan kosong. Polisi bertindak semaunya sendiri," lanjutnya.

"Apalagi yang diharapin dari nih kota?"

Hening kembali, sampai suara lain menyahuti. "Ngga ada yang bener."

Yang lain hanya dapat menghela nafas ditengah ketegangan situasi ini. Kriminalitas kota sudah tak terkendali, semuanya sudah seperti psikopat yang hanya mengincar nyawa seseorang, ego diatas segalanya. Tingkatnya jadi sama seperti preman jalanan yang cari pamor modal adu jotos sana sini. Rendah sekali level kriminal mereka sampai bisa bersanding dengan preman.

"Kita harus tentuin arah selanjutnya mau kemana. Jangan sampai kita tersesat kayak orang-orang ga berotak itu."

Suara berat milik orang pertama kembali terdengar, kali ini dengan iringan tawa sinis. "Kalau gitu kita butuh kompas 'kan?"

Yang lain mengangguk menanggapi. Sekarang suara khas perempuan yang menyauti. "Iya dong, kan biar ga kesasar."

"Aman aja itu mah, udah ketemu kok." Lelaki yang sedari tadi asyik dengan tembakaunya di ujung sofa ikut menimpali.

Pria paruh baya yang berdiri ditengah mereka semua mengangguk mantap menyetujui perkataan lelaki barusan. Suara berat khasnya kembali mengudara, memberikan komando mutlak.

"Kompas udah di pihak kita, jangan cuma pake aja tapi ga dirawat. Percuma. Cepet rusak yang ada."

"Jangan mau enaknya aja, habis manis sepah dibuang. Engga, bukan begitu adab yang harus lu pada tunjukin. Jaga baik-baik Kompas itu. Jangan semena-mena, jangan ga beretika kayak orang tolol! Kalau sampai gua dapet kabar jelek. Tau 'kan taruhannya apa?"

Orang-orang disana mengangguk mantap. "Tau, Pak."

"Kepala lu pada, ada digenggaman gua." Ia menunjuk satu persatu kepala orang-orang yang ada di ruangan ini. Membangkitkan bulu kuduk mereka semua yang hadir, bahkan untuk sekedar menelan ludah rasanya sama sulitnya seperti sedang menelan batu.

Segalanya terasa sulit untuk dijalankan di dunia badside ini.

"Kota sekarang emang udah hitam. Tapi tetap dengan tujuan awal kita. Kita akan menghitamkan kota dengan alur kita sendiri."

.

.

.

"Kayaknya kita harus tambah aliansi."

"Banyak hal yang harus dipikirin matang-matang."

"Jalani aja dulu."

"Ego lu tuh turunin, bangsat! Burj Khalifa aja kalah tinggi."

"Just trust us, you'll be fine."

"Gabisa dibiarin. Kita open, i don't give a shit about what happen in the past between us. Waktunya berburu."

"Habis ini siapa lagi?"

"Udah dong... GUA JUGA CAPEK!"

"Situasinya terlalu ruwet, buah simalakama meluluh lantahkan untaian benang diantara kita."

"Dari kami untuk kalian, para manusia biadab!"

.

.

.

♤ ♧ ♤ ♧ ♤

AMBITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang