18

3.9K 121 0
                                    

Anna memandangi wajah Theo yang tertidur pulas disampingnya. Disaat seperti ini, wajahnya tampak polos seperti anak-anak, entah kemana semua kegarangan dan kesangaran ekspresinya setiap mengawal Papa.

Anna menghela napas lalu menoleh ke sekitar. Kamar yang dipenuhi Biru-Putih memberikan kesan tenang dan ceria. Anna masih tak menyangka dia akan merasakan pengalaman tidur dikamar pria yang ia puja-puja selama ini. Tidak pernah ada dibenaknya, dia akan sejauh ini.

Disudut ruangan, ada foto-foto nya saat dia masih Pendidikan Militer. Anna penasaran dan ingin melihatnya lebih dekat.

"Kamu bicara apa sama Jovan?"

Anna tersentak dan spontan menoleh kesamping. Pria itu sudah membuka pejaman mata nya. Dalam jarak seperti ini, Anna bisa leluasa memperhatikan ekspresi dan tatapan mata mereka yang bertemu langsung itu.

Anna mengeraskan rahangnya, hanya karna tatapan tegas itu terarah padanya, kewanitaan nya sudah basah.

"Nothing important." balas Anna berusaha mengimbangi pria itu.

"Jangan biasakan berbohong pada saya."

Sekali lagi Anna mengeraskan rahangnya. Masih pagi, tapi pria ini sudah berhasil mengacak-acak perasaan nya.

Anna menelan ludahnya kasar lalu mengalihkan tatapan nya sejenak, fungsinya untuk mengumpulkan nyali sebelum menjawab pertanyaan pria itu sambil menatap mata nya. "Dia ngajak aku untuk gabung ke Partai Beringin. Dukung Pak Candra, Ayahnya Nayara. Dia buat penawaran tentang posisi atau jabatan kalau Pak Candra terpilih."

Theo menaikkan satu alisnya. "Kamu terima ajakan nya?"

Anna menggeleng, "Aku belum kasih jawaban. Aku masih perlu waktu."

"Artinya, kamu akan ketemu Jovan lagi?"

Anna memperhatikan wajah pria itu. Dalam jarak sedekat ini, semuanya transparan. Termasuk tatapan tidak suka dan wajah keras yang ditampilkan Theo—khasnya orang cemburu.

Anna tersenyum, ingin menanyakan maksud pria ini namun dia urungkan. Dia tak mau Theo merasa Anna terlalu clingy atau mendorongnya.

"Aku masih ga percaya aku bisa tidur dikamar Om Theo," Anna mengalihkan pembicaraan. "Padahal dulu, mikir Om Theo mau masuk kamar ku aja kayaknya susah banget."

Theo tersenyum kecil. "Waktu kamu pergi kuliah ke Inggris. Saya selalu membayangkan kamu ada disini, ditempat tidur saya," Anna menelan ludahnya kasar. Apalagi saat pria ini menariknya mendekat dan menenggelamkan kepalanya di leher Anna. "Tapi saya selalu membatasi diri. Kamu terlarang. Nyatanya, Kamu peraturan yang ingin saya langgar berkali-kali."

Anna merasakan jantungnya berdegub lebih kencang, saking kencangnya ia yakin Theo bisa mendengarnya. Ditambah ia merasa wajahnya memanas. Tidak baik untuk memulai hari dengan kondisi seperti ini.

"Kenapa aku ...., terlarang?" Anna menanyakan hal itu hati-hati.

Theo menarik kepalanya lalu menatap gadis itu. Tangan nya terangkat mengelus wajah Anna. Ia diam sejenak. "Dari awal, saya melihat potensi di diri kamu. Saya bahkan pernah bilang ke Bapak, seandainya dia bukan pejabat, kamu akan tetap bersinar. Kamu bisa menciptakan nama mu sendiri. Dan dengan segala kesempurnaan," Theo kembali diam, tatapan nya menjadi tak bisa di artikan lalu tiba-tiba suara nya merendah. "Kamu bisa mendapatkan Pria yang jauh lebih baik."

Anna merasakan jantungnya yang tadi berdegub kencang tiba-tiba melemah bahkan rasa nya hampir tidak berdetak sama sekali. Mata nya menatap kedua manik itu lekat-lekat, mencari sesuatu yang bisa ia buktikan kebenaran namun seakan ada dinding tinggi, Anna tak bisa menemukan nya, Theo sengaja menyembunyikan nya.

Anna tidak tahu apa maksud kalimat pria ini—Tidak, Anna tidak pernah mengerti pria ini.

Anna tidak bisa marah, tidak seharusnya dia marah. Dari awal, hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan biologis. Tidak lebih.

Baru Anna sadari, Theo hanya akan memanggilnya sayang setiap kali mereka berhubungan. Diluar itu, tidak pernah. Sudah sangat jelas Theo membutuhkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Anna patut disalahkan karna berharap akan ada nya keajaiban Theo mempunyai perasaan pada nya.

Bahkan tadi pagi pun, Theo tidak menjawab pertanyaan Anna bahwa dia punya pria ini. Dia tak pernah mau berani mengatakan bahwa dia adalah milik Anna, bahkan ketika masa depan masih buram.

Dia tidak mau nekat hanya untuk Anna.

Lagi-lagi, pihak yang bisa disalahkan adalah Anna. Dari awal dia sudah diwanti-wanti untuk jangan melibatkan perasaan.

Nayara benar, tunggu Theo bosan dengan nya dan mencari perempuan lain. Selama itu, dia hanya perlu menikmati hubungan mereka yang tak punya masa depan ini.

Anna menggertakkan giginya. "You right." Anna tersenyum paksa, "Bahkan daripada Jovan, aku bisa mendapatkan pria yang lebih baik 'kan?"

Anna tersenyum lalu menoleh ke arah nakas, mengambil ponselnya yang sudah diisi daya. Tiba-tiba ia bangkit, "Aldo bentar lagi sampai."

*.*.*.*.*

"Neng masih punya hutang penjelasan." Ucap Aldo sebelum keluar dari mobil saat mereka sudah sampai diperkarangan rumah nya. Untung Aldo datang dan membawakan nya pakaian ganti, jadi tidak ada yang curiga.

Anna menghela napas gusar, perasaan nya gundah. Theo masih menghantuinya dan dia harus menghadapi Ayahnya.

Anna mengusap wajahnya sebentar sebelum akhirnya ikut Aldo keluar dari mobil. Bersamaan dengan Theo yang juga keluar dari mobilnya yang terparkir dibelakang miliknya.

Mereka saling pandang sebentar sebelum akhirnya Theo masuk lebih dulu dengan Pakaian Dinas Upacara nya yang membuat nya tampak jauh lebih gagah.

Anna menghela napas kemudian ikut masuk. Kakinya membawa Anna ke ruang makan dan disana ia menemukan Papa sedang mengunyah makanannya sambil membaca kertas ditangan nya dan Theo yang sudah berdiri didekatnya.

Prabu menyadari kehadiran putrinya lalu meletakkan kertasnya. Ia diam sejenak lalu menghela napas berat. "Biarkan saya bicara dengan Anna."

Anna mengulum bibirnya saat satu per satu staff Papa meninggalkan ruangan termasuk Theo. Ketika sudah kosong, baru Anna melangkah menuju kursi yang berada dihadapan Papa nya lalu duduk disana.

"Kamu ga berhenti-berhentinya bikin Papa pusing."

Anna menelan ludahnya kasar. Entah kenapa, kali ini dia merasa takut, atau karna dia sedang kalut?

Theo sialan.

"Papa khawatir setengah mati waktu kamu ga pulang tanpa kabar, Andreanna."

Anna menatap Prabu melotot. Dia tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Ayahnya. Pria yang ia pikir takkan pernah memikirkan ataupun mementingkan anaknya. Bisa berkata seperti itu?

"Papa," Anna diam sejenak. "Khawatirin aku?"

"Kamu Putri Papa satu-satunya, kalo nyawa Papa bukan buat kamu, lalu buat siapa?"

Mulut Anna bahkan terbuka sedikit saat mendengarnya. Ia seperti diserang kejutan di pagi hari.

Prabu menghela napas seraya menggelengkan kepalanya samar. "Papa ga pernah ngelarang kamu kemanapun tapi setidaknya pulang, Anna. Kalau tidak bisa, beri kabar."

"Papa nyekolahkan kamu sampai ke Inggris bukan untuk bikin Papa khawatir." Setelah mengatakan hal itu, Prabu berdiri dari duduknya lalu melangkah keluar dari ruang makan.

Anna menoleh ke arah pintu saat Prabu keluar, seseorang membukakan nya pintu dan itu adalah Theo.

Mereka kembali saling pandang sebelum akhirnya Theo melangkah menyusul Bapak.

HIS SECRET SINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang