"Ngapain lo di sini? Kenapa nggak sekolah?"
Jiken mengangkat bahu. Tubuhnya sudah terbaring di atas ranjang dengan lengan menutupi area mata. Carel memutar bola mata. Padahal kemarin ia sama sekali tak bertemu dengannya, dan sekalinya bertemu hari ini si jangkung ini cukup menyebalkan juga.
"Bolos bisa gawat loh, Ji. Mana predikat murid teladannya? Udah mulai jadi nakal ya, lo."
Jiken menarik lengannya menjauh. Berganti menatap Carel. Yang ditatap melipat kedua tangan di depan dada sembari melangkah mendekat. Ikut berbaring di samping Jiken, menatap langit-langit atap dengan pandangan rumit.
"Lo nya aja nggak sekolah."
Carel menoleh, kemudian tersenyum sinis. "Idih. Kok lo bawa-bawa gue, sih! Jadi, lo nyalahin gue karena lo nggak sekolah?"
Jiken menggeleng. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul. Carel mulai sibuk dengan ponselnya. Dan itu membuat senyum yang tadi tersungging luntur seketika, berganti wajah datar. Cowok jangkung itu dengan cepat merebut ponsel Carel, sebelum memeluk tubuh mungil itu dari samping.
"Anjing! Lo berat, ege. Sesek nih gue."
"Biarin gini aja kenapa, sih. Lo kalo sama gue perasaan banyak ngomelnya, deh."
"Ya itu karena lo ngeselin. Gue ini lebih tua dari lo, ya. Lo itu harus jadi Adik yang baik dan penurut."
"Beda tiga bulan doang bangga, lo."
Carel memutar bola mata. Sekali lagi cowok itu memberontak, tapi Jiken malah meletakkan kepalanya di ceruk leher Carel. Akhirnya, cowok itu pun menyerah dan memilih untuk memejamkan mata. Hanya berlangsung satu menit, karena setelah itu ada suara tembakan pistol. Carel sampai berjengit, begitu juga Jiken.
"Maling, kah?"
Jiken menggeleng pelan. "Nggak mungkin. Mansion ini dijaga ketat banget. Nggak akan ada yang bisa masuk."
Jiken dan Carel saling beradu pandang untuk beberapa detik. Setelahnya memilih untuk beranjak dan keluar dari kamar. Memeriksa asal suara yang arahnya jelas ada di ruang utama mansion. Jiken berjalan di depan sambil menggenggam tangan mungil Carel cukup erat.
Di anak tangga pertama, Carel membulatkan mata. Spontan bergegas turun hingga tangannya terlepas dari genggaman Jiken. Sementara si jangkung berniat menghentikan, tapi tak jadi begitu mendapati tatapan teduh pria paruh baya yang nampak gagah, sekalipun fakta jika usianya sudah tak lagi muda. Alias tua.
"Grandpa?"
Albert Leaton Mahendra tersenyum. Dengan santai pria tua itu membuang asal pistol, sebelum merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar. "My Prince! Kenapa masih diam di situ? Kamu tidak kangen Grandpa, hm?"
Carel terkekeh. Dengan langkah lebar, cowok mungil itu langsung menghambur ke pelukan pria tua kekar yang sialnya, masih nampak gagah. Tak terlihat sekali jika pria itu sudah tua. Bahkan proporsi tubuhnya lebih kekar dari Ardani sang Ayah.
"Grandpa kenapa nggak ngabarin kalo mau ke sini, sih. Kan Prince bisa jemput."
Prince. Itu panggilan khusus keluarga Mahendra untuk Carel Buana. Dan hanya keluarga Mahendra saja yang boleh memanggil Carel dengan sebutan itu. Begitu juga si empu nama yang juga harus menyebut dirinya Prince jika bicara dengan keluarga Mahendra.
"Kenapa nada bicara kamu nampak kesal begitu? Kamu tidak suka Grandpa datang, hm?"
Carel melepas pelukan. Menyadari senyum menyebalkan sang Kakek, cowok mungil itu langsung mencebikkan bibir. Sangat lucu. Jarang sekali Carel bertingkah seperti ini, bahkan Jiken yang masih di atas tangga pun harus bisa menahan gemas sendiri dengan menggigit pipi bagian dalam. Mengabaikan bagaimana aura sesepuh Mahendra yang jelas-jelas cukup mengerikan.
"Bukan gitu, Grandpa. Tapi seharusnya Prince bisa jemput Grandpa ke Bandara, 'kan? Oh iya. Grandpa ke sini cuman sendiri?"
"Tidak. Yang lain ada di mansion."
Carel mengangguk. Pasti yang pria tua ini maksud, anggota keluarga yang lain ada di mansion Mahendra yang ada di negara ini. Bukan mansion utama, tapi masih sama mewahnya.
"Prince, mana bajingan itu? Sudah lama Grandpa tidak bertemu dengannya. Rasanya, Grandpa rindu dengannya."
Carel bergidik ngeri. Senyum yang sekarang ada di bibir sang Kakek, bukanlah senyum biasa. Hanya dengan senyum itu saja, Carel dapat menebak apa yang akan pria tua itu lakukan pada sang Ayah.
"Prince udah berdamai, Grandpa. Prince juga mau tinggal sama Papa dan Bang Dhava. Mereka nggak seperti apa yang Grandpa pikirkan selama ini."
Albert tersenyum miring. "Benarkah? Tapi bagaimana jika Grandpa tidak menyetujuinya? Si bajingan itu bahkan sudah berani melukai cucu kesayangan Grandpa!"
"Grandpa, Papa nggak—"
"Ayah?"
Suara seseorang menggema. Carel jelas kenal dengan suara itu, begitu juga Jiken yang spontan langsung mengalihkan pandang. Sosok Ardani berdiri di lantai atas, menatap sang Ayah mertua dari atas sana dengan wajah sedikit tegang.
Albert tersenyum miring. Tatapan mata yang pria tua itu berikan tenang, tapi entah kenapa itu penuh dengan aura intimidasi. Bahkan, itu sampai membuat Jiken yang menatap jadi kesulitan mengambil napas.
"Mana sopan santunmu, Ardani? Apakah begini perlakuanmu untuk menyambutku?"
Ardani langsung bergegas turun. Tapi, belum juga sampai di lantai bawah, ada peluru melesat ke arahnya dengan suara tembakan yang cukup memekakkan telinga. Beruntung, Ardani punya kepekaan tinggi dan berhasil menghindari peluru yang nyaris menghantam kepalanya.
Albert mengangkat bahu. "Lumayan."
Jiken di paling atas anak tangga menegang. Menatap sebutir peluru yang menancap dinding, cukup dekat dengan jaraknya berdiri sekarang. Sungguh, aura pria tua itu sangat mengerikan dan mencekik. Hanya dengan tatapan saja sudah mampu membuat bulu kuduknya merinding.
Carel menarik napas pelan. "Grandpa hampir membunuhnya."
Albert hanya mengangkat bahu, sebelum duduk di sofa single, dengan Carel di atas pangkuannya. Sekarang, kedua tangan tanpa keriput itu sudah melingkar di perut Carel.
"Cucu Grandpa ternyata sudah besar. Tapi kenapa pipi kamu tirus begini, hm? Seharusnya kamu dulu ikut Grandpa saja ke mansion utama."
Carel hanya memutar bola mata. Jika sudah bertemu, kakeknya ini terus saja mengungkit soal mansion utama. Benar-benar sudah seperti mimpi buruk yang selalu datang menghampiri.
"Ayah kapan datang? Kenapa tidak memberitahu Dani?"
Albert hanya menatap dengan wajah datar. Ardani tidak keberatan, karena pria tua itu hanya akan tersenyum dan berekspresi lebih hanya dengan sang cucu kesayangan. Siapa lagi kalau bukan Carel Buana tentunya. Bahkan, sebutan Prince itu juga berasal dari sang Kakek. Padahal, cucu-cucu yang lain tidak seperti ini. Memang, Albert itu hanya pilih kasih.
Albert selalu memerintah cucu-cucunyq untuk melakukan apa yang ia mau. Tapi jika itu Carel, Albert akan membebaskan. Bahkan, sekalipun cowok mungil itu bersalah, Albert tak akan pernah membentaknya.
Bahkan pernah dulu saat Carel baru duduk di bangku SMP, dan saat itu pula Albert ada di negara ini. Carel pernah membuat salah satu murid babak belur, berakhir dirinya dipanggil ke ruang BK. Lantas, apa yang Albert lakukan? Pria tua itu justru membunuh anggota keluarga si korban yang sudah dengan berani menampar pipi cucu kesayangannya.
Memang mengerikan pria tua yang satu ini. Sekaligus pilih kasih. Carel sampai sekarang bahkan tak tahu, kenapa kakeknya ini sangat menyayangi Carel? Bahkan, kesalahan yang ia perbuat tidak dipermasalahkan oleh si pria tua itu.
"Langsung saja, Ardani. Aku datang kemari untuk menjemput cucu kesayanganku. Sudah cukup dia di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...