Savior, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. Ia berdiri di samping Caspian, menatap lurus ke arah Bibi Anne dengan tatapan yang sulit dibaca. “Bibi, kau benar,” katanya pelan tapi jelas, membuat semua orang di ruangan itu terkejut. “Dia bukan Caspian.”
Kebingungan semakin terlihat di wajah semua orang, termasuk Bibi Anne. Mereka semua saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi. “Caspian sudah mati,” lanjut Savior dengan nada datar, seakan-akan ia hanya menyatakan fakta yang tak terbantahkan.
🔙
Happy Reading🏹
Pernyataan itu menggema di ruangan, membawa keheningan saat itu juga. Bibi Anne tersenyum puas, merasa bahwa akhirnya ia telah memenangkan permainan ini. Tetapi senyum itu perlahan memudar ketika ia melihat bahwa Savior tidak berhenti di situ. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Savior mengucapkan kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya meragukan kemenangan yang baru saja hendak ia rayakan.
Setelah Savior mengucapkan kata-kata itu, sebuah senyuman kecil mulai terukir di wajahnya. Senyuman itu berubah menjadi tawa yang tiba-tiba meledak, menggema di seluruh ruangan. Tawa itu begitu keras dan penuh ejekan, seakan-akan seluruh situasi ini adalah sebuah lelucon besar yang tidak bisa ia tahan lagi. Bibi Anne terkejut dan sedikit mundur, tatapannya berubah dari penuh kemenangan menjadi bingung.
“Apakah itu yang Bibi Anne harapkan dari kami?” tanyanya dengan nada sinis. "Orang gila mana yang sengaja membiarkan dirinya terluka olehmu jika bukan Caspian?"
Tanpa menunggu jawaban, Savior mengalihkan pandangan ke arah Caspian yang masih terduduk di lantai. Dengan lembut, ia meraih tangan Caspian, membantu kembarannya untuk berdiri.
Caspian, yang tadinya terperangkap dalam pikirannya sendiri, terkejut dengan tindakan Savior. Ia menatap Savior sejenak, kemudian meraih uluran tangan Savior yang membantunya berdiri. Ia berusaha untuk tidak terkekeh saat itu juga ketika Savior menyebutnya orang gila.
Sementara itu, Bentely yang kesal dengan tindakan Savior, segara memukul lengan laki-laki itu. “Aku hampir saja memukulmu!”
“Kau sudah melakukannya,” balas Savior dengan tampang tanpa dosa.
Bibi Anne, yang kini merasa semakin terpojok, memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan itu. Ia tidak bisa lagi mengendalikan situasi seperti yang ia rencanakan. Langkah kakinya cepat, hendak melarikan diri dari kenyataan yang mulai berbalik melawannya. Namun, sebelum ia sempat mencapai pintu, Paman Baska dengan cepat bergerak, menahan tubuhnya dengan tangan yang kuat.
“Kau tidak bisa terus lari dari semua ini,” kata Paman Baska dengan nada tegas, memandang langsung ke dalam mata wanita itu.
Bibi Anne terdiam, tatapannya bergeser dari Paman Baska ke seluruh ruangan. Ia melihat wajah-wajah yang pernah ia kenal, yang kini memandangnya dengan campuran emosi—kebingungan, dan kemarahan. Semua yang ia rencanakan, semua yang ia harapkan, seakan runtuh di hadapannya, tidak menyisakan apa pun selain kekosongan.
Caspian, yang kini berdiri tegak di samping Savior, mengamati setiap gerakan Bibi Anne. Ada rasa sakit yang mendalam di matanya, bukan hanya karena luka di tubuhnya, tetapi juga karena kenyataan bahwa wanita yang dulu ia kenal sebagai keluarga, seseorang yang seharusnya menjaga dan melindunginya, kini berubah menjadi sosok yang penuh manipulasi dan tipu daya.
Suara Raja yang dalam dan tegas memecah keheningan. "Waktunya kau menjelaskan semuanya," ucapnya dengan otoritas yang tidak bisa diabaikan. Semua mata tertuju pada Bibi Anne, menunggu jawabannya.
Namun, dengan ekspresi datar, Bibi Anne berkata, “Menjelaskan apa? Aku tidak melakukan apa-apa.” Ia berkata seolah-olah melupakan semua yang telah terjadi, semua kebohongan dan kekacauan yang ia ciptakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞
Fantasy[BAGIAN KEDUA] SELESAI Setelah kematian tragis Caspian, dunia tampak berjalan seolah-olah dia tak pernah ada. Para pangeran yang dulu bersama dan merasakan kehadirannya setiap hari kini melupakan setiap momen dan kenangan tentangnya. Hanya satu oran...