"Jangan deket-deket Scara, dia orang gila."
Gadis berkacamata itu menghela napas. Sudah dua minggu berlalu sejak ia pindah ke sekolah ini, dan kalimat itulah yang hampir setiap hari didengarnya. Hati kecilnya sebenarnya ingin patuh pada petuah tersebut, namun jiwa keadilannya sebagai ketua kelas berkata sebaliknya. Kalau saja ia tidak memiliki sifat tidak sabaran yang membuatnya setuju saja diajukan sebagai ketua kelas padahal ia baru saja pindah kesini, ia tidak akan bertanggung jawab atas anak laki-laki yang katanya terkenal paling nakal di sekolah hanya karena ia berada di kelas yang sama dengannya.
Yah, mau bagaimana lagi. Melihat sudah lebih dari lima kali anak itu membolos kelas, sang gadis tidak punya pilihan lain selain berkeliling sekolah ketika jam kosong untuk menemukannya. Beruntung, dalam satu kali pencarian ia sudah menemukan tempat persembunyian sang lelaki. Memang bukan tempat yang tidak terduga sih, hanya atap sekolah. Tapi disana terdapat sebuah bangunan kecil satu ruang yang berfungsi sebagai gudang, dan laki-laki itu... duduk tepat di atas atapnya.
Gadis itu menatap datar, tidak habis pikir namun juga tidak heran. "Turun. Balik ke kelas," perintahnya.
Anak laki-laki bernama Scara itu pun menoleh sebelum kemudian tersenyum jahil. "Jadi ketua kelas gabut juga, ya? Effort banget nyamperin gue sampe sini,"
"Ini masih awal semester tapi lo udah bolos lima kali. Mending lo balik ke kelas sekarang kalo gamau diskors," Gadis itu tanpa gentar menatap Scara tepat di matanya, membuat laki-laki itu terdiam sejenak.
"Bantuin gue turun, dong." Scara mengulurkan tangannya ke bawah.
Sang gadis mengerutkan kening. Memangnya tadi bagaimana anak ini bisa sampai di atas sana? Bisa naik kok tidak bisa turun, sih.
Tapi gadis itu tidak mau berlama-lama, jadi ia pun mulai mengangkat tangannya, meraih tangan Scara yang berada tiga jengkal di atas kepalanya. Ia baru saja bersiap menarik tangan itu, ketika pemiliknya justru lebih dulu melompat turun. Tepat ke arahnya.
Bruk!
Sang gadis meringis ketika merasakan sakit pada bagian punggungnya yang menubruk lantai secara tiba-tiba. Ia masih memejamkan mata hingga menyadari bahwa kacamata yang setia bertengger di hidungnya tiba-tiba terangkat dari wajahnya. Begitu membuka mata, di hadapannya sudah terpampang wajah lelaki berambut biru yang sedikit buram efek rabun jauhnya. Di tangan lelaki itu terdapat kacamata berframe hitam miliknya, membuat gadis itu refleks mengangkat tangan untuk merebutnya kembali.
Tapi Scara tentu saja tidak membiarkan rencana si gadis berhasil begitu saja. Ia menjauhkan tangannya, dan menyeringai melihat bagaimana gadis di depannya berusaha menggapai tangannya yang memegang kacamata.
"Balikin!" Seru gadis itu.
Scara menaikkan salah satu alisnya. "Buat apa? Lo lebih cakep kalo ga pake kacamata,"
Sang gadis membelalakkan matanya. Apa yang sebenarnya dibicarakan anak ini??
Ia berdecak, tidak memedulikan kata-kata laki-laki itu dan kembali berusaha meraih kacamatanya. Sayangnya, Scara perlahan beranjak bangkit, sehingga jarak mereka kini semakin jauh dan itu menyulitkan si gadis untuk mendapatkan miliknya kembali.
Di luar dugaan, Scara malah mengulurkan tangannya yang lain, seakan hendak membantu sang gadis berdiri juga. Tanpa pikir panjang gadis itu pun segera meraihnya sebelum sang lelaki berubah pikiran. Ia menepuk-nepuk bagian belakang seragamnya sekilas sebelum kembali mencoba mengambil kacamatanya dari tangan Scara— yang lagi-lagi tidak berhasil. Lelaki itu berjalan cepat menjauh dari sana, meninggalkan si gadis yang kini mengejarnya dengan langkah pelan karena takut terantuk sesuatu akibat tidak dapat melihat jalan dengan jelas.
"Scara! Gue gabisa turun tangga kalo ga pake kacamata!"
Lelaki itu tetap bergeming, ia baru menoleh ketika sudah sampai di pintu masuk atap sekolah. "Terus gimana? Mau gue gendong aja sampe kelas?" Tanyanya, senyum jahil kembali menghiasi wajahnya.
Mendengar itu, si gadis akhirnya kehilangan kesabaran. Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap menghujani Scara dengan kata-kata yang bisa melampiaskan kekesalannya. "Lo bisa gak sih, gak ngomong yang aneh-aneh??" Bentaknya sebagai permulaan.
Senyum Scara semakin lebar. Ia akhirnya melempar kacamata di tangannya, yang untungnya bisa mendarat dengan selamat di dekapan sang gadis. "Gak bisa," Ia mengangkat bahu. Si gadis yang sudah memakai kacamatanya menatapnya dengan alis bertaut.
"Nah, karna lo udah pake kacamata lagi, berarti bisa balik ke kelas sendiri, kan? Ga perlu gue gendong sampe kelas, kan? Jadi gue ga perlu ikut ke kelas, ya. Bye ketua kelas, sampe ketemu lagi kapan-kapan..." Scara menjulurkan lidah dan melambaikan tangan sebelum menutup pintu atap, sementara sang gadis bisa mendengar suara kunci yang diputar. Ia sontak panik dan segera menuju pintu tersebut kemudian memutar kenopnya. Tidak bisa terbuka. Terkunci sempurna.
"SCARA!! BUKAIN..!" Teriaknya, berharap anak laki-laki itu berubah pikiran dan membukakan pintu untuknya. Tapi yang bisa ia dengar hanya suara langkah kaki Scara yang perlahan menjauh dan berkata,
"Gue tinggalin kuncinya di pintu, lo minta tolong temen lo aja buat bukain!"
Ah, sial. Jadi ini yang anak-anak sekolah ini maksud dengan 'Scara si orang gila'. Akhirnya ia merasakannya sendiri.
Sang gadis lagi-lagi berdecak kesal. Kalau saja ia tidak berinisiatif mencari Scara, ia tidak perlu berjalan sampai sini, jatuh tertimpa anak laki-laki itu, kacamatanya direbut, lalu—
"Lo lebih cakep kalo ga pake kacamata,"
Gadis itu buru-buru mengusap dengan kasar wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Seakan tidak cukup, jantungnya pun kini mulai berdegup lebih cepat. Dan semua itu diakibatkan oleh kata-kata Scara yang mendadak terus terputar di otaknya.
Astaga. Ia rasa sekarang ia yang lebih gila.
*****
_fin_
KAMU SEDANG MEMBACA
Casanova
FanfictionHidup Mirabella tidak sama lagi sejak pindah ke sekolah itu. Ia terpaksa menjadi ketua kelas, dan bertanggung jawab mengurus salah satu anak paling nakal di sekolah yang kebetulan satu kelas dengannya. Hari demi hari menghadapi anak itu rasanya sema...