Rina menatap Arman dan Jiren dengan penuh rasa ingin tahu setelah mendengar penjelasan panjang lebar tentang latar belakang Tayclaen Organization. "Ngeri juga latar belakangnya," katanya, suaranya menggema penuh penekanan. "Tapi, si Chris-chris itu juga narik perhatian orang-orang ya karena dia gak mau dukung usaha keluarganya."
Arman, yang baru saja menghabiskan kopi di cangkirnya, mengangguk setuju. Dia lalu berbicara dengan nada yang agak santai namun penuh keyakinan. "Nah iya. Tapi, kalo gua jadi Chris, ya tetep gua dukung sih. Kayak, udah enak hidup kayak gitu tinggal nurut doang. Kenapa harus merumitkan hidup sendiri?"
Jiren, yang duduk di sudut meja dengan sikap yang serius, mendengarkan dengan seksama sebelum memberikan tanggapannya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang mendalam. "Tapi sayang," katanya dengan nada tegas, seolah-olah menampar perkataan Arman barusan. "Reputasi nama dia bakal jelek di mata orang-orang. Bukannya hidup nyaman tuh cuma bagian dari gambaran keseluruhan? Reputasi yang baik juga penting."
Arman menoleh ke Jiren, matanya menunjukkan momen refleksi. "Benar juga," ujarnya, menyadari poin yang diungkapkan Jiren. Suara Arman berubah menjadi lebih contemplatif, menandakan bahwa dia mulai mempertimbangkan sudut pandang Jiren.
"Udah deh, daripada terus mikirin masalah Tayclaen, mending kita fokus cari cara untuk ngerealisasiin rencana kita," kata Jiren sambil mengganti topik.
"Setuju! Nanti aku bakal coba cari waktu yang pas buat kita mulai realisasi rencana kita," kata Rina.
Arman mengangguk, lalu mengambil tiga kaleng soda dingin. "Nih!" kata Arman sambil menaruh satu kaleng soda di depan mereka.
Jiren dan Rina duduk bersila di tengah ruangan sambil memandang tiga kaleng soda dingin yang baru saja diletakkan Arman di meja. Jiren membuka salah satu kaleng dan menyodorkannya ke Rina.
"Jadi, kapan kita bisa mulai merealisasikan balas dendam kita?" tanya Jiren sambil memandang Rina dengan penuh harapan.
Rina berpikir sejenak sebelum menjawab. "Gimana kalau kita manfaatin suatu acara? Siapa tahu ada sahabat dekat si dua bocah itu yang bikin acara."
Arman mengangguk setuju sambil membuka kaleng sodanya. "Bener juga. Kita harus manfaatin momen itu kalau ada. Apalagi teman-teman mereka orkay semua."
"Tapi sebelum itu," kata Jiren, "kita harus pastiin nggak ada orang yang bisa bocorin rencana kita."
Rina meneguk sodanya lalu berkata, "Setuju banget sih gue. Kira-kira siapa ya yang bisa bocorin rencana kita?"
"Gue, enggak. Kalian berdua juga udah gamungkin. AEXS juga nggak bakal bocorin. Siapa ya?" bingung Arman.
"Tapi, siapa yang bisa kita manfaatkan untuk cari tahu informasi tentang Freya ataupun Mackenzie?" tanya Rina dengan suara pelan, tidak sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Azzam!" seru Jiren.
"Azzam adalah jawaban dari kedua pertanyaan kalian. Dia tahu rencana kita dan sekarang dia menentang perbuatan kita. Tapi, di sisi lain, dia bisa kita manfaatkan untuk cari tahu informasi yang dimaksud Rina," jelas Jiren.
Keduanya menepuk tangan sekali, seolah berhasil menemukan harta karun yang sudah lama dicari. "Sabar. Gi-"
"Pergi ke telepon umum. Hubungin Azzam!" potong Jiren.
q. ***
"Jadi tuh—"
Tiba-tiba, suara lelaki muda lain memotong percakapan Freya dan Jaden. "Ngapain tuh berduaan?" tanya Oes dengan nada menggoda, memperhatikan Freya yang tampaknya berjalan berdampingan dengan Jaden.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Teen FictionSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...