Bab 7 - Surga dan Neraka

2 0 0
                                    

Apa benar akan ada keajaiban pada detik-detik terakhirku? Apa benar akan ada bukti yang akan datang untuk menyelamatkanku? Aku menatap sekeliling ruang BK ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa benar akan ada keajaiban pada detik-detik terakhirku? Apa benar akan ada bukti yang akan datang untuk menyelamatkanku? Aku menatap sekeliling ruang BK ini. Apa benar ada? Atau itu hanyalah harapanku yang akan pupus sesaat lagi?

Aku bersama Ibu, Ayah, dan Bu Zainab menatap lekat selembar kertas HVS dengan judul ‘Surat Peringatan 1’ yang baru saja diletakkan Bu Fifi di atas meja. Meja yang sempat kugunakan untuk menggebrak sebab kesal dengan guru itu. Guru yang kabarnya sekarang sedang sakit dan dirawat.

“Saya masih meyakini Mikail tidak seperti itu, Bu,” ucap Bu Zainab. Dia meneteskan air mata. Aku yang menatapnya hanya bisa menghela napas. Ini memang menyedihkan, tetapi aku tidak bisa menangis. Air mataku seolah surut dan kering.

Sekarang aku menengok pada Ibu dan Ayah, mereka tidak menangis, tetapi sorot mata keduanya nampak kesedihan. Tangan Ayah mengusap-usap punggungku dan Ibu.

“Saya juga sama seperti Ibu, tapi saya mohon maaf sekali tidak bisa membantu banyak apabila tidak adanya bukti yang dapat memperlemah tuduhan kepada Mikail.” Bu Fifi menatap ketiga orang dewasa yang mengelilingiku.

Ini seperti neraka.

“Silakan tanda tangan, Ibu, Bapak, Mikail.” Bu Fifi memberikan sebuah pulpen. Di atas selembar surat itu telah diberikan enam kolom tanda tangan. Untuk siswa, orang tua, wali kelas, guru BK, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan kepala sekolah.

Aku menghela napas. Walau kasusku tidak secara langsung ditangani wakil kepala sekolah dan kepala sekolah, tetap saja pada akhirnya mereka akan tahu juga melalui surat perjanjian ini.

Ibu menandatangani lebih dulu-sekaligus mewakili Ayah, sebab hanya perwakilan saja yang tanda tangan. Kemudian dilanjut aku, Bu Zainab, lalu Bu Fifi yang terakhir.

“Bapak, Ibu, mohon tunggu di sini dahulu. Saya akan memperbanyak surat ini. Nantinya surat yang asli akan tetap ada di sekolah untuk selanjutnya ditandatangani kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dan disimpan untuk ….”

Bu Fifi diam. Tetapi aku tahu untuk apa surat itu disimpan.

“Untuk dibahas dalam Rapat Kenaikan Kelas.”

Sekarang yang terisak bukan hanya Bu Zainab, tetapi juga Ibu. Dia memelukku erat, memegang kepala bagian belakangku. Aku diam, tidak tahu harus bagaimana, sebab aku juga merasakan kesedihan yang luar biasa.

Ini bukan salahku, rokok dan korek itu bukan milikku, tetapi kenapa aku yang mendapatkan hukumannya? Ini tidak adil, tetapi tidak ada bukti yang membantuku. Harapanku pupus. Aku dikecewakan harapanku lagi. Mungkin sebaiknya aku memang tidak usah memiliki harapan.

***

Tempat Pemakaman Umum.

Sepuluh tahun berlalu. Banyak hal dalam hidupku yang berubah sejak saat itu. Aku menjadi tertutup, lebih banyak diam, selalu was-was saat ada yang mendekatiku. Sampai saat ini pelaku sebenarnya masih menjadi misteri untukku. Bertahun-tahun memikirkannya membuatku terpaku pada masa lalu, sampai akhirnya aku berhenti memikirkannya ketika Ibu meninggal beberapa tahun lalu.Mungkin biarlah ‘itu’ menjadi misteri.

Ibu meninggal akibat ginjalnya bermasalah. Sebelum sempat melakukan cuci darah, dia sudah lebih dulu mengembuskan napas terakhirnya. Sekarang disusul Ayah. Semalam dia kecelakaan mobil dan tewas di tempat. Setelah kepergian Ibu, Ayah yang menggantikan perannya. Namun, sekarang Ayah juga pergi. Dan aku tinggal sendiri di dunia ini. Aku merasa hancur berkeping-keping, tetapi aku tidak bisa menangis, sama seperti kala itu, air mataku seolah surut dan kering. Satu-satunya orang tua yang aku punya sudah tiada. Semangat hidupku untuk terus mengembangkan usaha makanan yang sekarang sudah sampai 30 cabang di berbagai daerah menjadi sirna. Aku semangat karena orang tua, begitu mereka pergi, aku tidak punya alasan lagi.

Ibu dan Ayah pasti sedang bersenang-senang di surga. Mereka sudah kembali bersama. Namun, aku masih di sini, sekarang tinggal sendiri. Di neraka.

“Ayah, aku pulang.” Aku mengusap papan kayu bertuliskan namanya. Sejak tadi semua pelayat sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendiri. Tetapi tidak apa-apa, memang pada akhirnya aku akan sendiri. Aku tahu tidak ada yang abadi.

Petir tiba-tiba saja terdengar ketika aku berjalan menuju parkiran TPU. Tidak berselang lama hujan turun dengan deras, membuatku segera berbalik dan meneduh di tenda dekat kuburan Ayah yang penuh bunga. Aku menghela napas, parkiran TPU cukup jauh dari tempatku sekarang. Jika aku berlari pun akan tetap kebasahan. Sepertinya aku akan di sini sampai hujan reda.

Aku menengok pada kuburan Ayah yang tepat berada di sebelah kuburan Ibu. Ketika Ibu meninggal, Ayah sempat berkata padaku bahwa dia ingin dimakamkan di sebelah Ibu. Waktu itu aku hanya diam, sebab membuatku semakin sedih. Tapi kini aku tersenyum sendu. “Aku juga ingin dimakamkan di samping kalian. Tapi aku harus bilang pada siapa?”

Hawa dingin mulai menusuk. Walau memakai jas, tetap saja hawa dingin masih terasa. Tahun lalu umurku sudah 24 dan walau aku tidak memiliki pasangan, aku masih memiliki orang tua. Tapi kini, umurku 25, tapi aku sudah benar-benar tidak punya siapa-siapa.

“Dek, maaf, izin meneduh, ya!” Lamunanku buyar. Seorang wanita baya baru saja meneduh di tenda Ayah, dia bersama seorang wanita muda, mungkin hanya lebih muda beberapa tahun dibanding diriku. Sepertinya anaknya.

Aku mengangguk. Kasihan sekali mereka kebasahan. Aku menatap terpal tenda. Baik Ayah maupun Ibu selalu memberi manfaat untukku bahkan orang lain. Ibu mewariskan buku-buku, sementara Ayah, lihatlah, bahkan tenda kematiannya saja membawa manfaat untuk orang lain. Aku merekah senyum.

“Aduh … Ibu gapapa?” Perempuan muda itu bertanya. Dia nampak panik melihat ibunya yang agak basah.

“Gapapa. Ah, jangan khawatir!” Ibunya melambaikan tangan. Kemudian dia menengok padaku. “Mas, saya dan anak saya izin meneduh di sini sampai reda, ya? Saya lupa bawa payung.”

Tunggu.

Apa aku tidak salah lihat?

Wanita baya itu … Bu Marlina?

Aku mengangguk pelan sambil terus melihat wajahnya.

“Mas, kenapa lihatin saya kayak gitu? Saya sudah tua. Nih, kalau mau sama anak saya.”

Aku menengok pada anaknya. Bukan karena menyukainya, tapi aku merencanakan sesuatu. Neraka ini tidak lagi untukku, tapi juga untuk wanita tua itu dan anaknya.

Tamat.

Surga dan NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang