RENJUN sudah dua kali merasakan yang namanya wisuda dalam hidupnya, tapi keduanya tak satupun dia jalani dengan banyak persiapan. Tidak sedikit dari teman-temannya yang menghabiskan banyak modal waktu dan uang untuk bisa menciptakan suasana wisuda yang diimpi-impikan, tapi Renjun bahkan tidak berniat datang ke wisudanya sendiri andai saja orangtuanya membiarkan.
Bagi Renjun waktu itu, wisuda hanya buang-buang waktu dan tenaga, karena dia jadi harus mengambil izin untuk tidak bekerja beberapa hari, mengingat wisudanya berlokasi di luar kota domisili. Hanya demi wisuda, dia sampai harus potong gaji. Menyebalkan sekali.
Renjun sangat tidak menanti-nantikan wisudanya sendiri, tapi ketika mendengar berita wisuda untuk satu angkatan di bawahnya akan dilaksanakan tepat satu bulan mendatang, dia langsung mengambil jatah cuti tanpa pikir panjang.
"... aku bisa lihat Jeno lagi...," bisik Renjun pada dirinya sendiri di depan cermin, terbayang pada sosok teman kuliahnya yang sudah tak pernah dia lihat secara langsung lagi sejak pandemi.
Mereka teman kuliah, tapi juga tidak bisa dibilang teman, karena walaupun mereka satu angkatan sarjana dan satu kelas, mereka tak pernah ada interaksi berarti. Renjun bukan orang yang pendiam, tapi dia selalu merasa lupa segala macam bahasa di dunia tiap berada dalam satu ruangan dengan Jeno. Lidahnya kelu. Otaknya membeku. Seperti itu. Dan percayalah, Renjun memang tidak terlalu pintar, tapi dia juga tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari kalau itu pastilah karena dia punya perasaan lebih, dan itu bukan perasaan ingin jadi teman biasa.
Sudah empat tahun berlalu sejak pandemi. Selama empat tahun itu, mereka benar-benar tidak pernah ada interaksi sesedikit apapun. Apalagi, karena satu dan lain hal, Jeno harus menunda kelulusannya, sehingga Renjun harus berada di angkatan program profesi satu tingkat di atasnya. Padahal, dulu, dulu sekali, Jeno pernah bilang sesuatu pada Renjun yang sampai detik ini masih Renjun ingat jelas.
"Renjun nggak bisa bawa motor? Serius? Nanti waktu kita profesi, bakal susah lho buat mobilisasinya. Tenang, nanti aku ajarin ya."
... kalau Renjun pikir sekarang, itu pasti hanya omongan asal. Jeno pasti tidak mengatakan itu dengan niat benar-benar ingin mengajarkan. Tapi Renjun yang dulu itu sangat polos dan bodoh, sampai-sampai dia langsung menganggap omongan itu adalah janji Jeno untuk mengajarinya berkendara untuk mempersiapkan profesi. Atau kalau bukan seperti itu, Renjun juga berharapnya mereka bisa berada di kelas profesi yang sama, dan membuktikan bersama-sama seberapa 'susah' rangkaian program itu bagi Renjun yang tidak bisa berkendara sama sekali.
Intinya, dia mudah terbuai.
Kalau mau dihitung, berarti sudah memasuki tahun ketujuh Renjun menyukai Jeno. Tapi boro-boro mereka bertukar kata dan menjadi lebih dekat, yang sampai di telinga Renjun malah omongan-omongan orang tentang Jeno yang mengeluh tentang Renjun adalah satu-satunya orang di angkatan yang tidak bisa dia ajak bicara, apalagi berteman. Omongan tentang ini disampaikan Jaemin, teman dekat Jeno yang juga adalah teman dekat Renjun.
"Iya, dia bilang pada kita-kita yang waktu itu kumpul di kost Haechan. 'Aku merasa bisa berteman dengan semuanya di kelas, kecuali Renjun'," kata Jaemin dengan tampang luar biasa santai. "Itu bukan kejadian yang pertama sih. Dia juga pernah bilang yang kurang lebihnya sama waktu pergi berdua denganku. 'Oh, kalau dia -aku lupa siapa yang dia maksud- aku lumayan dekat kok. Kan dari semuanya di kelas, cuma Renjun saja yang tidak bisa aku ajak bicara'."
Jaemin mengatakan itu dengan niat supaya Renjun merasa ditampar dan lebih melek realita, kalau Renjun terus-terusan diam, Jeno akan terus menganggapnya sebagai orang yang tidak bisa diajak bicara. Tapi... kalian tau, bagaimana Renjun mengartikan itu?
"... ternyata Jeno ingat aku?"
Jaemin langsung meringis dan menenggak habis es teh tawarnya. "Ingat? Tentu saja ingat! Mana mungkin tidak ingat. Kita semua satu kelas di S1."
KAMU SEDANG MEMBACA
[os] tapi tidak diterima // noren
Fanfictionrenjun melihat jeno untuk yang terakhir kali hari ini