"Anu, kalian saling kenal ya?" Agmi bertanya pada Habib dan Aina yang sedari tadi masih diam saja dihadapannya. Mereka sudah pindah dari tempat tunggu gejek ke meja makan untuk pelanggan. Aina baru saja memesang mie level 8. Sepertinya emosi bestie-nya itu sempat meledak-ledak tadi. Tapi sekarang ini dia tampak kalem.
"Iya."
"Nggak."Habib dan Aina saling pandang karena jawaban mereka yang berbeda. Yang menjawab iya adalah Habib sementara Aina menjawab nggak.
"Hah? Gimana? Jadi sebenarnya kalian saling kenal nggak?" ulang Agmi yang jadi ikut bingung.
"Nggak."
"Iya."Sekarang jawaban mereka mah tertukar lagi. Habib yang jawab Nggak, Aina yang iya. Agmi mengamati ekspresi dua orang itu yang saling pandang lagi. Kini Habib terlihat bingung sementara Aina jengkel. Agmi tertawa kecil karena menyadari situasi aneh ini.
"Oke, kalian diskusi aja dulu deh untuk menentukan sebenarnya kalian saling kenal atau nggak. Aku akan diam di sini sama Shifa. Nggak ikutan," kekeh Agmi.
"Ayo kita ngobrol sebentar," ajak Aina.
Belum sempat Habib menjawab konter memanggil namanya, pertanda DO yang harus diantarnya sudah jadi.
"Gejek Habib!"
Habib menunjuk konter. "Maaf sepertinya aku haru mengantar pesanan dulu," akunya.
"Oke, kalau gitu aku boleh bonceng di belakangmu?" tanya Aina.
"Eh, iya... Anu boleh...." Habib masih kebingungan dengan apa yang terjadi, tapi tetap harus melaksanakan tugasnya untuk mengantarkan DO. Aina membuntutinya dan naik ke jok belakang sepeda Supra milik Habib. Habib menoleh pada Lamborghini merah Aina yang terparkir dengan cantik. Inilah realita perbedaan dunia mereka. Lamborghini versus Supra.
"Nggak jalan?" Pertanyaan Aina membuyarkan lamunan Habib. Lelaki ini pun menyalakan mesin motor. Mereka melaju menuju rumah pelanggan yang sebenarnya hanya berjarak 5 km dari warung Mie Gacoan.
"Jadi kita sebenarnya nggak saling kenal ya?" Aina membuka pembicaraan dengan nada yang aneh sehingga entah mengapa membuat Habib merasa gelisah dan menelan ludah.
"Ya, kita baru bertemu satu kali saja. Saya yakin Dokter belum tahu nama saya."
"Tahu kok. Habib kan guru dari SMA Z. Agmi sudah sering cerita. Aku bahkan sudah tahu kamu sebelum kita ketemu."
Habib dan Aina hening sejenak. Sama-sama berpikir untuk menyusun kalimat yang akan mereka katakan selanjutnya. Belum pernah mereka merasa bahwa komunikasi itu sesulit ini.
"Kenapa kamu nggak menghubungi aku selama seminggu sejak kamu minta nomor ponselku? Apa awalnya kamu hanya iseng-iseng aja lalu setelah itu kehilangan minat?" tanya Aina.
"Kalau Dokter sendiri bagaimana? Kenapa Dokter memberikan nomor ponsel Dokter pada saya?"
Aina berdecak kesal. "Aku yang tanya duluan! Jawab pertanyaanku dulu!" ketus Aina.
"Saya minder," jujur Habib. "Saya kemarin menemukan buku dokter saat saya membeli soal-soal tes CPNS di toko buku. Saya sudah melihat Instagram Dokter. Saya bisa memperkirakan bagaimana kehidupan Dokter. Dokter bahkan dengan ikhlas melelang tas Hermes untuk sedekah ke Palestina. Sementara saya di sini bekerja keras hanya untuk tip dari penumpang yang tidak seberapa."
Aina melongo mendengar ucapan Habib. Jadi Habib menonton live-nya kemarin sore saat akhirnya dia melelang tas yang dikomentari oleh Alex saat arisan keluarga? Dasar Alex kampret! Aina yang depresi malah menyalah sepupunya yang eksentrik itu.
"Dunia kita sangat berbeda."
Entah mengapa Aina merasa kesal mendengar ucapan Habib itu. "Berbeda gimana? Emangnya Aku tinggal di Venus? Tanah yang kita pijak dan langit yang ada di atas kita kan sama!"
"Jujur saja awalnya saya memang iseng," aku Habib. "Tapi saya tidak mengira Dokter benar-benar memberikan nomor ponsel Dokter pada saya. Sekarang boleh kan saya bertanya? Kenapa Dokter memberikan nomor ponsel Dokter pada saya?"
"Ya, kenapa lagi? Sudah jelaslah. Aku tertarik sama kamu! Emangnya aku harus ngomong segamblang ini baru kamu mengerti?"
Habib terkesiap. Padahal Aina yang ngomong tapi kok rasanya dia ikutan malu ya. Baru pertama kali ini dia bicara dengan seorang wanita seperti tanpa filter sama sekali. Bagaimana Aina bisa sejujur itu?
"Dokter serius? Apa yang menarik dari saya?"
Aina menatap punggung Habib dengan jengkel. Dia bertambah kesal karena tidak bisa melihat ekspresi laki-laki itu.
"Jangan panggil aku Dokter terus! Kamu bukan pasienku!" sentaknya emosi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikahi Dokter 2
RomanceKehidupan setelah pernikahan ternyata tidak mudah. Tidak seindah di novel-novel romance. Apakah happly ever after itu ada?