Theo membawa tubuh Anna dalam gendongan nya menaiki tangga menuju kamar gadis ini. Jam menunjukkan pukul 3 pagi, tidak ada siapapun yang berlalu lalang dalam rumah. Theo masuk ke dalam kamar lalu meletakkan Anna dengan hati-hati ke atas kasur.
Theo duduk di lantai sisi kasur, tangan nya digenggam erat oleh Anna seakan ia tak mau Theo pergi.
"Kamu ga capek, An?" tanya Theo lembut, entah kemana semua keganasan dan kebuasan pria ini, yang ada hanya seorang pria yang mempunyai hati selembut kapas.
Setelah pergulatan panas mereka tadi, Theo tak henti-henti nya memperlakukan Anna dengan lembut, tidak sekasar saat ia mengagahi Anna tadi. Ia bahkan bertanya berkali-kali apakah Anna baik-baik saja.
Anna menggeleng samar dalam diam.
"Kamu harus istirahat—"
"Kenapa Om ngelakuin itu?"
Theo menaikkan kedua alisnya memandang wajah Anna yang berada tepat dihadapan nya. Ia tak mengerti.
"Kenapa Om nyuruh Nayara untuk ga dateng ke Panti?"
Theo menghela napas.
"Kenapa Om mau nyumbangin banyak uang ke Panti?"
Anna menatap lekat-lekat wajah pria itu. "Kenapa semua tindakan Om selalu untuk ngelindungi aku?"
Theo menarik napas panjang lalu ia menarik tangan nya dari genggaman Anna untuk meraih wajah gadis itu dan membelainya hangat. Theo diam sejenak, "Sudah saya bilang, selama kamu masih dilingkaran Bapak, saya akan selalu melindungi mu."
"Kenapa Om ngelindungin aku?"
Belaian tangan Theo terhenti, dari sentuhan nya Anna tahu tubuh pria ini menegang setelah mendengar pertanyaan nya. Anna menunggu jawaban pria ini dengan jantung yang berdegub kencang.
Theo menunduk, ia menghindari tatapan Anna yang seakan sedang menodongnya sebuah pistol agar menjawabnya dengan jawaban yang ia ingin dengar.
Theo diam, cukup lama ia menunduk dan bisu. Seperti sedang memilah kalimat mana yang harus ia keluarkan sebagai jawaban atau mungkin berpikir untuk menjawabnya atau tidak.
Itu malah semakin membuat jantung Anna berdegub lebih kencang. Ia harus siap kecewa dengan jawaban pria ini.
Theo akhirnya mengangkat kepala nya menatap Anna, "Karna saya mau kamu."
DEG !
Mata Anna hampir membola setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang pria yang menjadi alasan kekacauan pikiran dan perasaan nya. Pria yang membuatnya tidak bisa tidur tenang dan tidak selera makan. Pria yang menjadi alasan tidak stabilnya emosi nya.
Jantungnya yang tadi berdegub kencang kini perlahan melemah namun wajahnya malah memerah. Anna menatap lekat-lekat mata Theo, mencari sesuatu yang bisa ia buktikan kebenaran dan sialnya, Anna tidak menemukan setitik kebohongan disana.
"Saya marah, An." Theo meraih tangan Anna dan mengenggam nya. "Saya marah pada diri saya sendiri. Saya terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaan saya. Saya belum berani mengambil langkah untuk kita. Tapi ketika saya tahu ada laki-laki lain yang punya potensi untuk mengambil kamu dari saya."
"Saya kesal setengah mati."
Anna tak lepas memandangi wajah Theo, ia tak mampu berkata-kata setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Theo. Jam menunjukkan jam tinggi, Anna tidak pernah mau mempercayai orang yang bicara pada jam segini tapi Oh Tuhan, Izinkan Anna mempercayai yang satu ini.
Theo mencium tangan Anna yang berada di genggaman nya. "Kamu membuat saya melanggar semua prinsip saya, An."
"Saat kamu pulang dari Inggris, saya harus menghiraukan mu," Theo diam sejenak, "Saya melanggar nya."
"Saya tidak boleh menyentuhmu, saya melanggarnya."
"Sekarang, saya tidak boleh memiliki mu," Theo mengeraskan rahangnya. "Dan kamu membuat saya ingin melanggar nya."
"Saya ingin memiliki mu, An. Saya mau punya hak untuk marah ketika kamu berdekatan dengan laki-laki lain. Saya mau kamu tidak bisa mendebati saya lagi ketika saya melarang mu sesuatu." Theo merendahkan suara nya. "Saya mau punya otoritas atas dirimu."
Anna merasakan kupu-kupu dalam perutnya berterbangan memaksa untuk keluar dari tempatnya. Wajah Anna memanas, Anna yakin saat ini wajahnya tak lebih dari sebuah tomat.
Anna menelan ludahnya kasar. Masih berusaha meyakinkan diri, bahwa pria ini juga mempunyai perasaan yang sama. Bahwa perasaan nya tidak bertepuk sebelah tangan. Bahwa mereka juga saling menginginkan. Bahwa semua perasaan sedih nya yang tak berdasar hanya sia-sia.
"Kamu menghancurkan saya hanya karna saya menginginkan mu dalam hidup." Theo mendekatkan wajahnya. "I've never met someone who can so gently destroy me the way you do, Anna."
Setelah mengatakan hal itu, Theo meraih bibir Anna dan melumatnya lembut. Mereka saling memejamkan mata saat saliva mereka saling bertukar agar masing-masing dari mereka tahu tentang perasaan mereka sendiri.
Ini pertama kalinya Theo menciumnya diluar hubungan badan mereka. Anna tidak tahu pria ini bisa melumatnya dengan lembut dan manis. Tidak perlu pembuktian lain, ciuman Theo sudah membuktikan bahwa semua ucapan nya tadi adalah kebenaran.
Karna saat ini, Anna bisa merasakan perasaan yang selama ini Theo pendam melalui ciuman nya.
Setelah cukup yakin, Theo menyudahi ciuman nya dan kembali menatap Anna yang juga melakukan hal sama.
Anna mengulum bibirnya, ia tampak ragu tapi Theo tak melepaskan pandangan nya, menunggu.
"Ke-kenapa ...," Anna merasa lidahnya kaku, "Kenapa Om merasa tidak boleh memiliki ku?"
Theo tersenyum kecil lalu tangan nya kembali meraih rambut Anna dan menghelusnya. "Kamu tahu kenapa saat awal, saya selalu menghiraukan mu?"
Anna diam menatapnya.
"Karna saya tahu saya menginginkan mu. Saya marah setiap kali kamu mendekati atau menggombal saya, karna itu cuman akan membuat saya semakin menginginkan mu. Lalu saya berusaha menahan prinsip, untuk tidak menyentuh mu, karna itu akan membuat perasaan saya semakin besar,"
Theo diam sejenak, perlahan senyumnya luntur dar wajahnya.
"Kamu itu gadis hebat, An." Theo menatapnya, "Saya tahu kamu tidak pernah menerima uang kiriman Bapak saat kuliah di Inggris. Saya memberitahu Bapak tentang itu dan dia menyuruh saya mencari tahu, ternyata kamu memilih untuk kerja sampingan. Bapak marah tapi saya malah kagum dengan mu. Dengan membagi waktu antara kuliah dan kerja, kamu masih bisa mendapatkan predikat terbaik. Segitu keras perjuangan mu untuk membuktikan kamu bisa tanpa nama Bapak."
"Dari situ saya sadar, kamu bisa menjadi orang hebat. Entah itu di Pemerintahan atau dimanapun. Kamu bisa terbang tinggi. Tapi," Theo mengeraskan rahangnya. "Jika saya memaksa untuk memilikimu, saya cuman akan menghambat perjalanan mu, An. Saya cuman akan menjadi alasan kegagalan mu."
"Kenapa Om bisa pikir—"
Theo tersenyum geli. "Saya ini Perwira, Andreanna. Saya milik Negara. Saya dituntut untuk selalu membela tanah air apapun kondisi saya. Saya tidak akan bisa memberikan mu peluang ataupun membantu mu seperti apa yang Bapak punya."
"Kamu pikir, kenapa mantan istri saya bisa selingkuh?" Theo tersenyum kecil. "Karna saya tidak pernah ada untuk nya, An."
Anna merasakan sesuatu menyerang dada nya saat mengetahui hal itu.
"Kamu punya jiwa bebas, saya tahu kamu punya keinginan untuk berkelana. Memaksa mu menjadi milik saya," Theo tersenyum. "Hanya akan membuatmu terkurung."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS SECRET SIN
RomanceKamu dan Ajudan Ayah mu, terjebak dalam perasaan terlarang.