Aku di bawah tetesan air hujan, beratapkan langit senja berwarna jingga bergradasi merah. Rintik hujan begitu lembut menyentuh kulit hingga basah. Meski air hujan itu datang bersama angin. Aku tidak tersiksa dengan rasa dingin. Tetesan air hujan tetap kunikmati, walau suara langit bergemuruh kencang tak kunjung berhenti. Kira-kira seperti itulah aku menyukai hujan, dan cinta seperti hujan. Hujan jatuh ke tanah dengan sederhana, dan berulang kali mengikuti siklusnya. Aku jatuh cinta dengan sederhana saat mata kami bertemu dan interaksi kecil karena teman sekelas. Dia mengisi masa saat aku tujuh belas tahun. Aku tidak pernah sakit ketika di bawah hujan, imunitas tubuhku cukup kuat. Aku pun tidak pernah sakit hati ketika jatuh cinta, karena aku terlatih berlapang dada. Aku tidak peduli siapa yang dia cintai. Hujan turun tanpa aba-aba. Tanpa diakui, cepat atau lambat orang lain akan tahu. Teman-temanku pun sudah tahu kalau aku sedang jatuh cinta, “Orang kalau jatuh cinta, aura wajahnya berbeda, terlihat bahagia. Pipi sering kemerahan.” Rasanya aku ingin memiliki kekuatan sihir yang bisa menghilang dalam sekejap.
Saat air hujan turun, langit tidak selalu cerah sempurna. Melihat sifat buruknya, aku tetap jatuh cinta. Dia menjadi diri sendiri di hadapanku. Aku menyambut sifat baiknya dan memahami sifat buruknya. Dia memiliki harga diri yang tinggi sehingga kami sering berdebat. Sebelum berdebat, dia justru menurunkan harga dirinya untuk memulai percakapan denganku, aku tidak pernah atau enggan memulai percakapan. Bagiku dia selalu ingin menang dihadapanku. Ketika kalah, dia tidak ingin aku mengetahuinya. Namun sebelum dia mendapatkan kekalahan, dia memintaku untuk memberikan semangat agar dia mendapat kemenangan. Kalau dia menang, dia tahu cara membanggakan dirinya sendiri. Namun dia tetap siaran kepadaku kalau dia menang, dan aku ucapkan selamat padanya. Dia seseorang yang percaya diri, tetapi dia juga ingin dipuji. Ah! Aku gagal memahaminya karena suatu hari tiba-tiba saja dia mengirim foto bersama teman sekelas. “Ini foto setelah pentas drama bahasa Indonesia, kan?” aku membaca chat dari dia dengan terheran. Sangat jelas aku ingat saat itu kelas kami menampilkan pentas drama yang pertama kali. Mengapa dia bertanya seolah kepalanya habis terbentur dan lupa ingatan? Aku balas chatnya dengan ledekan disertai emot tertawa, “Memangnya kelas kita udah pentas drama berapa kali?” Dia menjawab, “Iyaa baru itu si, nggak apa-apa mau nanya aja” Aku lihat lagi foto itu, fokus pada wajahnya. Menurutku senyuman dia di foto itu cukup manis dan tampan dengan alis tebal. Jadi aku jujur mengungkapkan via chat itu, “Iyaa lu paling gantengg” Dia pun balas chat itu dengan percaya dirinya, “Manis juga gua diliat-liat”
Aku menikmati hujan di bulan Desember, dia masih berteduh yang beratap lusuh, usang karena masa yang berlalu. Dia seolah berkata, “Hujan baru turun setelah sekian lama, aku tidak mau sakit karenanya. Kamu kok bisa semudah itu melupakan siklus hujan tahun kemarin?” Aku jawab, “Aku tidak bisa melupakan itu. Aku sama seperti kamu tetapi aku coba melewatinya dengan menikmati siklus hujan saat ini. Silahkan menetap berteduh disitu sampai hatimu puas.”
Bulan Januari kami perlahan berjalan bersama di bawah hujan, hanya sebatas teman. Dia memakai payung, tetapi bermain dalam genangan air hujan. Harga dirinya memang setinggi itu untuk mengakui kalau dia sudah menerima siklus hujan saat ini, masa bersamaku. Aku berpikir kami sudah sedekat itu, saling berkeluh-kesah ataupun canda tawa bersama. Hari itu aku kecewa kepada dia. Ketika dia tidak memilih kelompok belajar bersamaku. Salahkah aku jika berharap dia memilih kelompok bersamaku? Apakah aku tidak tahu diri dan egois jika menginginkan interaksi lebih? Aku tahu itu hak dia. Tetapi aku tidak pernah memaksa atau mengharapkan apapun sebelumnya dan dia yang memulai segalanya hingga aku mengenali sebagian besar sifatnya. Aku kira kami sudah menjadi teman dekat. Sejak hari itu, aku menghindari dia dan kami tidak bertukar pesan chat selama enam hari. Dia mengirim pesan chat selalu lebih dulu, menanyakan yang penting dan aku balas seadanya.
Ketika kami asing, ternyata kelas kami sudah waktunya untuk unjuk kreasi seperti menampilkan bakat non-akademik sesuai kreativitas. Saat sepakat ingin menampilkan warkop DKI, entah bagaimana dia yang menjadi sutradara. Pemeran dipilih oleh sutradara, aku dipilih sebagai pemeran preman. “Dia aja jadi pemeran preman, kan tomboy. Punya jaket kulit juga, pas tuh!” dia menunjuk ke arahku. Padahal aku tidak merasa tomboy, aku hanya menyembunyikan sifat kemayu pada orang yang aku sukai, aku sengaja bersifat tidak peduli. Aku pun maju ke depan kelas dengan raut wajah cemberut, seolah jengkel. Padahal di dalam hatiku sangat senang, aku ingin melompat-lompat kegirangan tapi aku tahan. Aku lebih memilih sok keren di depan dia. Pemeran preman seperti diinginkan juga oleh salah satu perempuan di kelas. Karena sutradara itu menjadikan peran preman mudah, hanya akting marah-marah dan memaki orang. Sempat terjadi konflik saat pembagian peran, dia membicarakan hal tersebut padaku via chat hingga beberapa hari. Aku suka bertukar pikiran dengan dia, jadi aku kesampingkan soal kecewaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cuaca di Langit
RomanceKini aku sudah mengerti apa saja cuaca pada langit dia. Mendung, terik berawan, senja, pertengahan malam, hingga fajar terbit. Air hujan tetap turun kapanpun dan bagaimanapun langitnya