Zahir duduk di samping Aneth seperti biasanya, dengan ekspresi yang sudah jauh berubah jika dibandingkan tadi di jalan menuju kelas. Ia tidak ingin Aneth mengasihani dirinya, sekalipun ia tidak memiliki syaraf untuk merasa malu terhadap keadaanya, namun sisi emosi dan gengsinya sebagai laki-laki tetaplah ada, dan dikasihani adalah sesuatu yang menggores egonya. Ia selalu berpikir jika dirinya masih kuat dan memiliki banyak tenaga untuk berusaha, jadi tidak ada yang perlu dikasihani dari dirinya.
"Tadi gimana?" Tanya Aneth yang langsung merapatkan dirinya pada Zahir.
Duduk udah sebelahan gitu ternyata masih aja kurang ya, dasar remaja puber.
Nabilla merapal dalam hati, ia sudah sangat muak menatap dua sejoli di hadapannya, tapi ia tidak memiliki pilihan lain selain duduk di sana, karena tidak ada kursi lain yang tersedia, jadi mau tidak mau profesinya sebagai pemeran figuran harus berlanjut hingga tahun ajaran baru.
"Gak gimana-gimana kok manis." Zahir mengusap pipi Anteth untuk menenangkannya.
"Maaf ya tadi aku pergi duluan, soalnya aku gak kuat."
"Aku ngerti kok sayang, tadi juga aku kayak gitu waktu kamu ribut sama Gendis. Tapi bukan berarti aku membenarkan tindakan kamu ya, jangan apa?"
"Jangan dibiasain." Ucap keduanya berbarengan.
"Pinter."
"Tapi tindakan impulsif aku juga keren kan tadi? Gak banyak lho orang yang bisa bohong atau ngarang di keadaan yang mendesak kayak gitu, padahalkan sebenernya itu riskan banget, wah kalau sampe ada satu orang aja yang bilang aku bohong, bisa-bisa satu kantin terprovokasi terus aku pasti berakhir di ruang BK tuh."
"Makannya aku selalu ingetin kamu untuk cari aman, soalnya aku tau kamu tuh impulsif banget orangnya."
"Yaudah lupain aja soal tadi, kita bahas kamu kedepannya gimana?"
"Kamu tenang aja, gak usah panik kayak gitu." Zahir terkekeh sambil terus memandangi Aneth yang juga seolah hendak menangis saat menatapnya.
"Aku tuh khawatir tau!"
"Iya, makasih ya udah mau peduli, i love you to the moon and back sayang." Ucap Zahir sambil memainkan poni yang jatuh di dahi Aneth.
"Yaudah kalau gitu kasih tau aku makannya!."
"Iya-iya cantik, sabar dong, kasih aku waktu buat nikamatin keindahan semesta ini dulu baru aku cerita." Ucap Zahir sambil terus mengusap wajah Aneth dan memainkan poninya secara bergantian. Dan katakan siapa yang tidak tersipu diperlakukan seperti itu.
"Zahir ih! Jangan ngalihin topik."
"No, no, sayang, kamu gak mungkin kamu jadi pengalihan sedangkan inti dari segalanya itu kamu." Kalimat yang cukup sulit untuk dicerna, namun Zahir selalu berhasil membuat segalanya terdengar manis.
"So tell me, tell me about everything." Aneth menatap langsung ke arah mata Zahir yang membuat pria itu tak mampu menolak.
"Aku dikasih waktu 3 hari buat nitipin roti, setelahnya mungkin aku gak bisa nitipin barang dagangan ke kantin dan harus cari penghasilan lain."
"Kamu kenapa sih gak pernah mau terima bantuan aku?" Aneth menyentuh jemari yang tengah mengusap wajahnya tersebut dan mengunci Zahir dengan tatapannya.
"Aku laki-laki Aneth, aku gak bisa cuma duduk diam dan dikasihani-"
"Aku gak mengkasihani kamu Zahir, aku cuma mau bantu kamu."
"Andai kamu laki-laki, mungkin kamu bisa lebih paham gimana cara kerja ego laki-laki."
"Kamu gak mikirin Bunda?" Aneth mencoba mencari alasan lain. "Kamu lebih mentingin ego kamu dari pada Bunda? Kalau ekonomi kalian merosot, yang kena dampaknya itu Bunda lho Zahir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirimu yang Ada Namun Hilang
Teen Fictionbagaimana jika ada satu titik di hidup ini di mana kita tidak memiliki sebuah pilihan? dan pilihan itu malah menjerumuskan kita ke dalam kubangan tak berdasar