13. Desperate

238 41 2
                                    

Sementara itu, di rumah Blaze, suasana mencekam mulai terasa. Ayahnya Halilintar dan Blaze pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya memerah menahan amarah. Matanya melotot tajam, dan tangannya mengepal erat. Ia langsung menggebrak pintu rumah dan masuk ke dalam dengan langkah cepat.

Rini yang baru saja selesai memasak, terkejut melihat suaminya pulang dalam keadaan marah. Ia berusaha menenangkan suaminya, tetapi percuma saja. Suaminya malah semakin marah dan mulai menghancurkan barang-barang di rumah.

"Brengsek! Kalian semua bikin susah gue!" teriak sang ayah sambil menunjuk ke arah Rini dan Halilintar.

Halilintar yang sedang menonton televisi langsung berdiri dan menghampiri ayahnya. "Ayah, jangan marah-marah. Ada apa sih?" tanya Halilintar, dia berusaha agar tidak marah-marah.

Ayah Blaze menoleh ke arah Halilintar dengan tatapan penuh kebencian. "Lo pikir gue nggak tahu kalau lo masuk sekolah asrama karena pengen kabur dari rumah? Dan lo, Rini! Lo nggak bisa ngurus anak-anak dengan baik!"

Rini berusaha menahan tangis.

Ayah mereka semakin marah. Ia mengambil pisau dapur dan mengarahkannya ke arah Rini. "Gue nggak mau lihat muka lo lagi!" teriaknya.

Halilintar langsung melindungi ibunya. "Jangan sakitin Bunda lagi!"

Ayah Blaze mendorong Halilintar hingga terjatuh. Pisau di tangannya semakin dia pegang dengan erat. Rini berteriak histeris. Sementara itu, di sekolah, Blaze masih terlihat murung. Ia duduk di bangku belakang kelas, melamun sambil menatap keluar jendela. Blaze semakin resah di kelas. Bayangan ayahnya yang marah dan selalu mengancam keluarganya terus menghantuinya. Pikirannya kacau, ia merasa marah, takut, dan kesepian. Untuk melampiaskan emosinya, ia kembali mencari sasaran empuk. Ice lagi yang menjadi korbannya.

Blaze menarik buku Ice hingga berserakan di lantai, Ice hanya bisa menghela napas panjang lalu mengambil bukunya yang jatuh, tetapi bukunya dengan sengaja diinjak Blaze.

"Gue lagi nggak mood, hibur gue sekarang!" serunya.

Tangan Ice gemetar, dia segera menarik bukunya setelah Blaze mengangkat kakinya dari atas buku tulis miliknya. Ice sepertinya menyadari Blaze sedang gelisah, jadi dia berusaha menghibur Blaze dengan hati-hati. Gempa yang melihat itu hanya bisa tersenyum tipis, dia lega karena Blaze tidak sampai memukul Ice seperti dulu.

Gempa melihat layar ponselnya yang menunjukkan chat dari abangnya Blaze yang selalu memintanya untuk mengawasi Blaze di sekolah dengan tatapan khawatir.

Bang Hali: Jangan biarin Blaze pulang ke rumah hari ini apapun yang terjadi!

Hanya satu kalimat yang dikirimkan Halilintar sudah membuat Gempa memahami ada kejadian apa di rumah keluarganya Blaze. Gempa bersyukur karena katanya kebetulan Blaze menginap di rumah taufan sampai beberapa hari ke depan, jadi Gempa lebih tenang saat ini.

Halilintar berusaha sekuat tenaga menahan ayahnya agar tidak melukai ibunya. Tangannya yang berusaha menghalangi pisau ayahnya tergores dalam. Darah segar mengalir deras dari luka sayatan itu, membasahi lengan bajunya. Namun, rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa takutnya karena nyawa mereka terancam. Dengan kekuatan yang tersisa, Halilintar berusaha mendorong ayahnya hingga terjatuh. Namun, ayahnya yang sudah gelap mata itu dengan cepat bangkit dan kembali mengayunkan pisau sambil menendang Halilintar. Kali ini, sasarannya adalah Rini yang masih terduduk di lantai, ketakutan.

Rini menutup matanya erat-erat, berharap keajaiban bisa menyelamatkannya. Namun, harapannya pupus ketika merasakan sakit menusuk di perutnya. Pisau ayahnya telah menembus tubuhnya. Darah segar mengalir deras membasahi lantai.

Halilintar yang melihat ibunya terluka parah langsung berteriak histeris. Ia mencoba bangkit untuk membantu ibunya, tubuhnya terasa lemas. Ayahnya yang melihat Halilintar berusaha bangkit, kembali mengayunkan tangannya mengenai kepala Halilintar dengan keras. Dengan pukulan yang keras, Halilintar jatuh pingsan. Ayahnya yang merasa sudah puas, menatap dingin ke arah Rini dan Halilintar yang tergeletak bersimbah darah. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia keluar dari rumah dan melarikan diri.

Rini berusaha sekuat tenaga untuk meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan jari-jari gemetar, ia menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat berbicara, kesadarannya mulai memudar. Sementara itu, di sekolah, Blaze masih asyik mengganggu Ice. Ia sama sekali tidak menyadari kejadian mengerikan yang sedang terjadi di rumahnya. Gempa yang melihat tingkah laku Blaze, hanya bisa memikirkan apa yang terjadi di rumah keluarganya Blaze.

Gempa berusaha menghubungi Suzy tetangganya Blaze agar melihat keadaan Rini dan Halilintar bagaimana di sana. Beberapa menit kemudian, kabar dari Suzy yang mengatakan apa yang terjadi di rumah keluarganya Blaze membuat Gempa menjatuhkan ponselnya ke lantai di kelas. Semua murid juga guru yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka ke Gempa.

"Gempa kenapa?" tanya teman sebangkunya, dia mengambil ponsel Gempa lalu berteriak histeris sambil menunjuk layar ponselnya Gempa.

"Ini ... Ini ibu sama abangnya Blaze kan!" teriakan teman sebangkunya Gempa membuat semua orang yang ada di kelas mengerumuni bangku Gempa.

"Minggir!" seru Blaze sambil mendorong beberapa siswa siswi yang mengerumuni Gempa.

"Ada apa ... GAK MUNGKIN!" Blaze berteriak sambil menggelengkan kepalanya ketika melihat foto yang dikirimkan Suzy ke nomornya Gempa.

Suasana kelas menjadi riuh, Blaze segera mengambil tasnya lalu lari keluar kelas diikuti oleh gurunya, Gempa yang masih shock juga ikut berlari mengejar Blaze, sedangkan Ice masih membaca isi chatan Suzy dengan Gempa yang sering membahas tentang keadaan di rumah Blaze selama setahun ini.

"Blaze ...," gumam Ice setelah melihat isi chat di dalam ponsel Gempa.

Murid-murid yang ada di kelas ikut panik karena keluarga dari teman sekelas mereka mengalami hal seperti ini.

Entah bagaimana keadaan Halilintar juga ibunya saat ini ....

Bersambung.

Lanjut?

Triple up dah

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang