1 (Pertemuan di kebun pir)

3 0 0
                                    

i tahun 1947, di tengah-tengah kebun pir yang rimbun di pinggiran Semarang, terdapat sebuah rumah yang menjadi kediaman keluarga Kusumadiningrat. Anindita Saraswati Malik, gadis berusia tujuh tahun yang berwajah pucat dengan rambut panjang yang tergerai indah, berjalan melalui lorong-lorong yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua dan bunga-bunga yang sedang mekar. Dia menikmati sentuhan angin sepoi-sepoi yang mengusap lembut pipinya yang halus.

Di sisi lain kebun, Arjuna Kusumadiningrat, anak sulung dari Gubernur Jawa Tengah, bermain-main di bawah bayangan pepohonan dengan rambut hitam yang terurai dan mata yang cemerlang. Berusia dua belas tahun, dia adalah pria muda yang cerdas dan penuh dengan keingintahuan tentang dunia di sekitarnya.

Kedua anak itu telah dijodohkan oleh ayah mereka sejak mereka masih balita, sebuah perjanjian yang mempertemukan dua keluarga berpengaruh di Jawa Tengah. Namun, pertemuan mereka yang sebenarnya baru saja terjadi pada ulang tahun Arjuna yang ke-12, yang dihadiri oleh para bangsawan dan elit politik dari sekitar daerah itu.

Ketika Anindita dan Arjuna berpapasan di bawah sinar mentari sore yang hangat, kebetulan membawa mereka bersama di tengah-tengah kebun pir yang indah. Arjuna terpaku. Gadis yang sangat cantik, begitulah pikirnya. Rambut ikal panjang yang tergerai indah, mata kehijauan dan gaun putih yang membalut tubuh mungilnya membuat Arjuna tak dapat berkata-kata.

"Aku ingin bertemu dengan putra gubernur. Kudengar ia tinggal disini. Apakah kamu temannya?"

Arjuna menggaruk tengkuknya kikuk sebelum kemudian tersenyum. "Akulah putra gubernur. Sedangkan kamu? Apakah kamu adalah keturunan Belanda?"

Tak menjawab pertanyaan Arjuna, Anindita malah mendekat dan menatap baik-baik wajah Arjuna.

"Ayahku bilang aku akan menikah dengan putra Gubernur." Anindita mengulurkan tangannya. "Aku Anindita."

Oh? Arjuna teringat perkataan ayahnya bahwa ia akan menikahi putri sahabatnya, Jendral Abdul Malik yang terkenal dan juga merupakan idola Arjuna. Jadi, gadis cantik ini adalah calon istrinya. Semburat merah timbul dipipinya. Ia sudah sering mendengar cerita perjodohan teman-temannya yang tak dapat menolak perjodohan orangtua mereka walau mendapatkan gadis yang jelek dan bodoh. Tapi gadis didepannya tampak cantik dan berani. Setidaknya itulah yang ia pikirkan pada awalnya.

"Namaku Arjuna." Ia membalas uluran tangan Anindita.

Dua pria berusia 40-an, mendekati mereka dengan langkah pasti. Soedjono Kusumadiningrat, gubernur yang dihormati di Jawa Tengah, menatap Anindita dengan senyum ramah.

"Rupanya kalian telah bertemu lebih dulu sebelum kuperkenalkan. kamu pastilah putri Jenderal Abdul Malik.  ini putra saya, Arjuna," ujar Gibernur Kusumadiningrat dengan penuh kebanggaan. "Arjuna, inilah Anindita, putri dari sahabat karibku, Jenderal Abdul Malik."

Arjuna, masih terkesan oleh kecantikan dan keberanian Anindita, tersenyum sopan. "Senang bertemu denganmu, Anindita."

Anindita, meskipun awalnya tertutup, merasa sedikit lega melihat Arjuna menyambutnya dengan hangat. Dia menanggapi dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian akan masa depan yang diaturkan oleh perjodohan ini.

Jenderal Abdul Malik, seorang pria yang anggun dan berwibawa dengan janggut abu-abu yang terpelihara rapi, mengamati kedua anak muda tersebut dengan ekspresi penuh pengertian. Dia menyadari pentingnya pertemuan ini dalam menyatukan kedua keluarga yang memiliki pengaruh besar dalam lingkup politik dan sosial Semarang.

"Sungguh berbahagia melihat kalian berdua bertemu," ujar Jenderal Abdul Malik dengan suara tenang namun penuh otoritas. "Ini adalah awal dari ikatan yang kuat antara keluarga kita. Anindita, Arjuna, saya harap kalian dapat mengenal satu sama lain dengan baik."

Anindita mengangguk perlahan, menatap Arjuna dengan matanya yang penuh dengan pertanyaan tentang masa depan yang akan mereka hadapi bersama. Arjuna, meskipun belum sepenuhnya mengerti perasaannya sendiri, merasa tertarik untuk menjelajahi lebih jauh tentang gadis cantik yang akan menjadi pasangannya kelak.

"Jenderal Malik, Ayah," ucap Arjuna dengan hormat. "Saya ingin mengajak Anindita untuk berkeliling kebun, jika tidak keberatan."

Jenderal Abdul Malik tersenyum lembut, mengangguk sebagai tanda persetujuan. "Tentu saja, Arjuna. Silakan ajak Anindita berkeliling sepuasnya."

Jenderal Kusumadiningrat, yang juga melihat bahwa Arjuna dan Anindita bisa mendapatkan kesempatan untuk saling mengenal, mengangguk setuju. "Anindita, jangan lama-lama ya. Tetap di dekat Arjuna."

Anindita, yang awalnya agak ragu-ragu, tersenyum dan mengangguk, siap mengikuti Arjuna yang menawarinya tur mengelilingi kebun yang indah.

Mereka berdua berjalan bersama di antara lorong-lorong yang dikelilingi oleh kebun pir yang rimbun. Arjuna menjelaskan berbagai tanaman dan bunga yang tumbuh di sana, sementara Anindita mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika mereka berjalan mendekati sebuah kolam yang tenang di ujung kebun, tiba-tiba saja, insiden tak terduga terjadi.

Arjuna, terpesona oleh keindahan bunga pir yang mekar di tepi kolam, berbalik untuk melihat Anindita yang sedang mengamati bunga-bunga tersebut dengan penuh minat.

"Anindita, kamu cantik. Seperti bunga pir. ujar Arjuna dengan penuh kekaguman.

Anindita menoleh dengan tatapan tak terima

"Apa? Apa kamu bilang?!!!" Anindita meledak. Entah apa yang salah dari ucapan Arjuna sehingga wajahnya memerah karena amarah. Tangan Anindita bergerak spontan, mendorong punggung Arjuna dengan keras ke arah kolam yang cukup dalam untuk anak-anak.

Arjuna terjatuh dengan suara keras, menciptakan percikan air yang cukup besar. Beberapa pelayan yang berada di dekat situ segera berlari mendekat, terkejut oleh suara yang tiba-tiba. Mereka dengan sigap membantu Arjuna yang terkapar di dalam air, menariknya ke tepi kolam dengan penuh kehati-hatian.

Anindita, yang kini menyadari kesalahannya, berdiri terpaku dengan ekspresi penyesalan. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud..."

Arjuna, dengan wajah yang basah dan ekspresi marah, mencoba menghapus air dari matanya. "Apa yang kamu pikirkan?!"

Para pelayan berhasil mengangkat Arjuna dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Jenderal Kusumadiningrat dan Jenderal Abdul Malik tiba di tempat kejadian dengan wajah terkejut.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Jenderal Kusumadiningrat dengan suara tegas.

Arjuna, meskipun marah, menahan diri untuk tidak berkata kasar. "Anindita mendorongku ke kolam, Ayah."

Anindita merasa ketakutan melihat kemarahan di mata Arjuna dan kekhawatiran di wajah ayahnya. "Maaf, aku tidak sengaja..."

Jenderal Kusumadiningrat menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana. "Anindita, ini mungkin hanya insiden kecil yang terjadi karena kalian masih anak-anak. Yang penting adalah kamu belajar untuk lebih berhati-hati."

Arjuna, meskipun masih kesal, mendengarkan kata-kata ayahnya dengan penuh perhatian. "Tapi, Ayah, dia mendorongku!"

Jenderal Abdul Malik menepuk bahu putrinya dengan lembut. "Anindita, kamu harus lebih berhati-hati. Berterima kasihlah kepada Arjuna karena dia memaafkanmu."

Anindita mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan aku, Arjuna. Aku tidak bermaksud membuatmu jatuh."

Arjuna menghela napas, merasakan kemarahan dalam hatinya mulai mereda walau tersisa kekesalan. "Baiklah, aku maafkan. Tapi, tolong jangan lakukan itu lagi."

Gubernur Kusumadiningrat tersenyum kecil, mengangguk pada kedua anak itu. "Kalian masih punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain. Pastikan untuk selalu saling menghormati dan menjaga hubungan baik. Arjuna, pergilah kedalam. Ganti pakaianmu."

suasana kembali tenang. Namun tidak dengan Arjuna.

Dengan wajah bersungut-sungut ia kembali ke kamarnya.

"Dasar tidak tahu sopan santun! Kenapa Jendral Abdul Malik yang tak terkalahkan itu punya putri seperti itu, sih??"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dibawah Langit Orde BaruWhere stories live. Discover now