Cinta Sejengkel Rasa (GitShan) 4

409 65 10
                                    















Hari Minggu yang biasanya tenang, kini terasa seperti hari kerja bagi Gita. Sesuai dengan janji yang dibuatnya, ia berangkat ke kantor dengan perasaan malas yang luar biasa. Sesampainya di depan gerbang kantor, suasana terasa begitu sepi. Hanya ada seorang satpam yang berjaga. Bahkan pintu kantor masih terkunci. Saat hendak memarkirkan motornya, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari arah mobil yang sudah parkir.

"Git! Gita!" Teriak Shani dengan suara keras dari dalam mobilnya. Gita menoleh dan langsung tahu siapa yang memanggil. Tanpa pikir panjang, ia memarkirkan motornya di samping motor satpam dan berjalan menuju mobil Shani.

Sesampainya di depan mobil, Shani membuka kaca jendela dan berkata, "Masuk. Duduk sini," perintahnya singkat.

Gita mengerutkan kening, merasa bingung. "Lho, bukannya kita mau bahas proyek di kantor, Kak? Kenapa harus ke mobil?" tanyanya.

Shani menjawab dengan nada malas, "Udah masuk aja, nurut kenapa sih? Banyak tanya!"

Gita, yang merasa tak punya pilihan lain, masuk ke dalam mobil Shani. Sepanjang perjalanan, tak ada obrolan. Shani fokus menyetir, sementara Gita hanya memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang masih malas dan kesal. Setelah beberapa saat, mobil berhenti di depan sebuah kafe kecil yang nyaman dengan suasana sejuk.

Shani keluar dari mobil terlebih dahulu dan mempersilakan Gita masuk. "Ayo, kita bahas di sini. Aku butuh suasana yang berbeda," katanya.

Gita hanya mengangguk malas. Matanya masih tampak berat dan ia tampaknya tidak tertarik dengan ide Shani. Mereka duduk di salah satu sudut kafe yang cukup tenang. Shani langsung membuka laptopnya dan mulai menunjukkan beberapa poin penting dari rapat yang telah berlangsung beberapa hari sebelumnya.

"Ini, aku butuh pendapat kamu soal strategi ini," ucap Shani dengan serius.

Gita melirik layar laptop dan langsung menggeleng. "Strategi ini sangat berisiko, Kak. Tanpa persiapan yang matang, kita bisa mengalami kerugian besar."

Shani mengangkat alis, menantang. "Oh ya? Kenapa kamu pikir begitu?"

Gita mengambil napas dalam-dalam, kemudian menjabarkan dengan detail analisisnya. "Pertama, asumsi dasar dalam strategi ini terlalu optimis. Kamu berharap pasar akan merespons positif dalam waktu singkat, padahal data menunjukkan tren sebaliknya. Kedua, kamu mengabaikan potensi masalah operasional yang mungkin muncul dari implementasi cepat seperti ini."

Shani menatap Gita dengan tajam, mencoba mencerna argumennya. "Dan kamu yakin pendapat kamu lebih baik daripada pendapat karyawan senior yang sudah bertahun-tahun di sini?"

Gita tersenyum sinis. "Ya, saya yakin. Karena mereka tidak berada di lapangan, mereka hanya melihat angka dan proyeksi di atas kertas, sedangkan saya tahu apa yang terjadi di lapangan."

Diskusi itu berubah menjadi perdebatan panas. Shani mempertahankan strateginya, sementara Gita terus mengkritik dan membantah setiap argumen Shani. Namun, semakin lama, Shani semakin menyadari bahwa semua masukan Gita masuk akal dan justru membuka wawasan baru baginya. Dia mulai merasa puas, menyadari bahwa dia berhasil mendapatkan pandangan jujur dan kritis dari Gita.

Akhirnya, perdebatan mereda. Shani tersenyum, merasa menang, "Terima kasih, Gita. Masukanmu sangat membantu."

Gita menatap Shani tajam. "Saya tahu, Kak Shani memanfaatkan saya. Tapi tidak masalah, anggap saja ini pekerjaan terakhir saya di perusahaan Anda, Bu Shani. Saya tidak butuh terima kasih, cukup tandatangani laporan magang saya lebih awal."

Shani terdiam, terkejut mendengar permintaan Gita. Bukan karena permintaannya, melainkan karena Shani merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba, ia merasa berat untuk memberikan tanda tangan yang diminta oleh Gita. Jika ia tanda tangan, berarti ia menolak perjodohan dengan Gita, sesuatu yang ia inginkan sejak awal, tapi sekarang terasa berbeda.

Short Stories GITA KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang