"Maaf, apa bisa tarik tunai?" tanya seseorang.
"Boleh, Pak. Debitnya apa?" tanya Meita.
"BCA, boleh Pak. Berapa?"
"Dua ratus ribu aja," ucapnya.
"Baik, Pak. Total belanjanya tiga puluh lima enam ratus. Tarik tunainya dua ratus ribu ya," ucap Meita. Pria itu memberikan kartu Debitnya. Meita mengambilnya lalu mengetik nomor kartunya. Lalu memasukkan kartunya ke mesin. "Silakan pinnya." Ia mengambil uang tunai dari laci kasir. Setelah selesai di berikannya uang tersebut. "Terima kasih, Pak."
Rekannya Ira langsung menghampirinya. "Siapa namanya?" Tanyanya.
"Rangga Mahendra," ucap Meita saat melihat di komputer.
"Seganteng orangnya," ucap Ira terkikik. Meita berdecak. "Oia, kamu belum cerita ke aku."
Meita menghela napas. "Nanti aja,"
"Aku penasaran, pantes si Erwin nggak pernah jemput atau maen ke sini. Aku baru sadar lho."
"Kita udah lama putus."
"Kenapa kamu nggak cerita?" tanya Ira. "Kita ini temenan kan?"
"Pulang kerja aja ya," ucap Meita. Jam pulang kerja mereka sama. Sehingga pulang bersama.
"Oke, awas kalau nggak cerita."
"Iyah," jawab Meita panjang.
Pukul 17.00 WIB Ira dan Meita sedang nongkrong di trotoar. Jalanan itu cukup ramai karena jam pulang kerja. Meita menceritakan semuanya. Meski mengulik kembali hatinya menjadi terluka. Namun, dirinya butuh seseorang untuk meluap-luap isi hatinya. Ia pun ingin solusi untuk masalahnya.
Ira menarik napas dalam-dalam. "Memang susah kalau kayak gitu, Mei. Sulit buat memilih." Ia perihatin dengan masalah yang Meita hadapinya. Dirinya bingung ingin memberikan solusi bagaimana. Serba salah memang menjadi Meita. "Aku cuma bisa ngedoain kamu kuat. Aku ngertiin posisi kamu gimana. Jodoh nggak ada yang tau."
"Iya, Ra. Mungkin ini udah jalannya begitu. Aku udah pasrah. Tuhan, larang aku pacaran dulu dan fokus kerja."
Ira tersenyum sambil mengangguk. "Besok libur mau ke mana?"
"Nggak tau, paling di kontrakan." Meita memang tidak ada acara.
"Aku mau ke rumah sepupuku mau lamaran," ucap Ira. "Sebenernya malas. Tau sendirikan pasti aku di tanya kapan nyusul?" keluhnya.
"Sabar, sabar. Lagian umur kamu masih muda ah," ucap Meita.
"Umur udah dua puluh lima tahun gini. Banyak yang bilang tua apa lagi belum nikah." Ira mendelik. Meski keduanya beda usia empat tahun. Mereka tidak membedakan dari cara bicara atau panggilan. Meita tidak merasa terganggu. Ia lebih suka seperti itu.
"Namanya hidup ada aja ya cobaannya."
"Ya mereka kadang nggak ngaca diri. Seenaknya aja kalau ngomong. Tanpa mikirin perasaan orang. Kadang aku suka langsung ultimatum sih. Ngomong yang pedes juga." Ira tertawa puas. Ia memang orang yang suka blak-blakan meski malas untuk menganggapinya. Meita ikut tertawa. Ingin rasanya seperti Ira. Namun, dirinya orang yang tidak enakkan. Apa pun yang keluar dari bibirnya harus di pikiran berulang-ulang. Agar tidak menyakiti perasaan orang lain. "Mudah-mudahan kita di ketemuin sama jodoh yang baik, kaya, baik dan ganteng ya."
"Aamiin," sahut Meita.
"Mei," panggil Ira pada Meita yang sedang menyeruput es teh miliknya. "Apa kamu nggak ngerasa kalau di tempat kerja ada yang suka merhatiin kamu?" tanyanya.
Meita menengguk es tehnya sambil berpikir. Matanya membulat pikiran horor begitu saja terlintas. "Emangnya ada?" tanya dengan wajah terkejut. "Suka ganggu gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MEITA (GOOGLE PLAY BOOK)
רומנטיקהSudah tersedia di GOOGLE PLAY BOOK. Dalam keluarga, Meita menjadi sandwich generation, mengesampingkan ego demi keluarga. Hingga menginjak usia 29 tahun, dirinya belum menikah. Bukannya tidak ingin, hanya saja banyak pertimbangan. Seperti, bagaimana...