Part 14

175 44 12
                                    

"Aku bisa beliin obat yang lain kalau Emir mau." Aku menyela tawa Emir. Jemariku menutupi kedua pipi. Berusaha untuk tidak membalas senyum Emir. Berusaha tidak merona. Aku tidak boleh kelihatan lemah. Aku harus setangguh keluargaku. Garis keturunanku.

"Aku nggak butuh obat, Rona." Jawab Emir singkat.

"Kalau gitu aku juga bisa beliin semua makanan yang Emir mau."

Senyum Emir perlahan menghilang. Tatapan matanya datar tapi nada suaranya tajam, "Lalu bedanya aku nanti dengan ayam yang di kasih makan sebelum di potong apa?"

Aku tersentak. Kalimat Emir menohok ku, kembali menyilet perasaanku dengan rasa bersalah, "Siapa bilang aku bakal gigit Emir lagi?!"

Alis Emir terangkat satu, tiba-tiba kulihat matanya sekilas melirik seseorang di belakangku. Reflek aku menoleh kebelakang. Melihat Rosa dan teman-teman sekelasku yang sibuk mengobrol di deretan meja depan.

"Aku nggak akan gigit Rosa. Aku nggak mau teman-temanku kenapa-napa. Aku juga nggak akan gigit siapapun."

"Jadi untuk sepuluh hari lagi, untuk hari-hari selanjutnya. Kamu sudah punya solusi?"

Aku menggeleng, "Belum."

"Hati-hati Rona..."

Hati-hati.

Aku terlalu sering mendengar Emir bilang hati-hati padaku. Daridulu bahkan dari sebelum aku menggigit lehernya. Aku tidak pernah terlalu dekat dengan Emir. Seperti yang kubilang. Hubunganku dan Emir hanya sebatas teman sekelas. Emir juga baik dengan semua orang, tapi ada kalimat favorit Emir yang seakan ia  khususkan padaku sejak dulu, hati-hati itu, hati-hati ini. Selalu Emir bilang. Setiap aku naik tangga. Saat praktikum kimia, saat jam pelajaran, jam olahraga. Padahal aku tidak pernah punya riwayat glundung di tangga, meledakkan laboratorium, atau jatuh di lorong.

Sekarang aku tercengang. Membatu. Tidak bisa menjawab Emir. Padahal biasanya, sebelum semua ini. Aku akan menjawab iyaa sambil nyengir seperti bayi.

Aku yang dulu bisa menjawab iya. Karena aku yakin untuk hal-hal kayak begitu aku masih bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak apa-apa. Aku masih akan baik-baik aja. Tapi untuk kali ini, sepuluh hari lagi. Saat insting binatang menguasaiku. Saat aku kelaparan dan tidak bisa berpikir jernih, apa kata iya ku ada artinya?

"Jangan sampai kamu mati." Lanjut Emir semanis madu tapi pahit untukku.

Kamu harus bisa atau kamu yang mati.

Dibawah tatapan Emir aku menggigit bibir, meringis seperti bayi. Cara Emir memandang, meruntuhkan tembok pertahananku. Mengulang kembali bayangan keluargaku yang merayakan keberhasilanku. Wajah bahagia mereka. Suara gembira ibuku. Mata berbinar ayahku.

Seperti pengecut. Aku berbalik badan. Membuang wajah. Menjauh dari Emir.

Perkara darah bagiku itu hidup dan mati. Bukan bahan bercanda. Tidak bisa kusepelekan.

Sepanjang pelajaran selanjutnya, aku tidak bisa konsentrasi. Pikiranku jatuh ke tempat lain. Menyusun rencana yang teraman untuk diriku, keluargaku dan teman-temanku.

Tapi aku hampir tidak punya solusi.

Kenyataan itu membuatku lebih marah. Sampai-sampai saat jam pelajaran terakhir sesaat setelah bel berbunyi, aku nyaris mendelik pada Rosa yang berbisik, "Rona, kamu sadar nggak? Kayaknya daritadi Emir ngeliat ke arah kamu."

Bibirku mendesis, "Emir takut aku gigit kamu."

"Huh!?" Rosa melongo.

Aku menggertakkan gigi. Bangkit berdiri dari kursi. Berjalan ke luar dari dalam kelas. Mengabaikan teman-temanku. Bergegas ke tujuan pertama ku; bank darah terdekat dari sekolah.

Sebelum ini aku pernah mendengar ayahku bilang ke ibu, kantung darah kadaluwarsa itu sebenarnya bisa dengan mudah di beli. Oke. Kalau memang begitu. Bisa di coba. Aku bisa beli sendiri.

Sekolahku letaknya tepat di pusat kota. Di tengah lingkungan pemerintahan. Di dekat kantor dinas dan bank darah. Aku bisa mencapai bank darah hanya dengan berjalan kaki selama sepuluh menit. Kedengaran gampang. Tapi ada di Emir yang berjalan di belakangku dari sejak aku keluar dari pintu kelas, gerbang sekolah sampai di pinggir jalan pedestrian. Tanpa sama sekali berusaha bersembunyi. Terang-terangan mengikutiku di siang bolong.

Aku menoleh kebelakang. Aku ingin menyuruh Emir pergi. Tapi wajah pucat Emir mengalahkan egoku. Aku balik badan lagi. Pura-pura tidak lihat.

Tekadku setinggi langit sedalam bumi sampai aku tetap bertahan diam sewaktu Emir walau dengan wajah kuyu nya itu berhasil menyamai langkahku. Berjalan di sebelahku, mengikuti permainan sunyi ku, sampai ke depan meja counter pengambilan darah.

Membeli darah kelihatannya mudah. Aku berharap membeli darah kadaluwarsa semudah membeli beras di supermarket. Aku punya uang. Uang nggak pernah jadi masalah untukku. Uang saku ku jauh lebih cukup dari rata-rata uang saku anak seumuranku.

Lagian logikanya buat apa darah kadaluwarsa hanya di simpan atau sekedar di buang. Lebih baik kan buat aku.

Aku langsung menyampaikan maksudku, dengan wajah setengah mati kubuat biasa saja seperti belanja susu di Indomaret ke petugas jaga bank donor.

Petugas itu serta merta menatapku dari atas ke bawah. Pandangan nya menilai. Bukan pandangan membangun tapi yang meruntuhkan mental.

"Hmm... Adik, kamu kesini di suruh siapa? Buat apa beli darah kadaluwarsa? Apa di suruh ayahmu? Setau saya bulan suro masih lama... Untuk apa? Nyuci keris ya?"

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang