WARNING!! CERITA INI FULL DIBUAT DENGAN AI.
•DON'T LIKE? DON'T READ•
Di dunia yang berbeda dari lautan luas dan petualangan penuh bahaya, Luffy dan Nami adalah siswa di SMA Grand Line, sebuah sekolah yang terkenal karena keunikan murid-muridnya yang memiliki berbagai kemampuan luar biasa. Hari itu, langit cerah dan mentari bersinar hangat, menandai awal dari tahun ajaran baru. Luffy, dengan sifat cerianya yang tak pernah berubah, berlari di koridor sekolah sambil menggigit roti tawar di mulutnya, terlambat untuk kelas seperti biasa.
"Aduh, aku terlambat lagi!" teriaknya sambil berlari, mengabaikan pandangan heran dari teman-temannya.
Di kelas, Nami duduk dengan tenang di bangkunya, jari-jarinya sibuk mencatat materi yang baru saja dijelaskan oleh guru. Meskipun pintar dan selalu tampil serius di sekolah, Nami sebenarnya diam-diam memperhatikan Luffy, anak laki-laki yang selalu membuatnya kesal tapi juga mengundang rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Luffy mungkin bodoh dalam hal pelajaran, tetapi ada sesuatu yang menarik dalam sikapnya yang ceria dan tanpa beban.
Pintu kelas tiba-tiba terbuka dengan suara keras, mengalihkan perhatian semua orang. Luffy berdiri di sana, tersenyum lebar seolah tidak ada yang salah. “Maaf, aku terlambat!” katanya sambil berjalan masuk dengan santai.
Guru mereka, Dr. Kureha, yang dikenal sebagai wanita tegas namun bijak, hanya menggelengkan kepala. “Luffy, kamu tahu ini sudah berulang kali. Duduklah dan jangan ganggu kelas,” ucapnya dengan nada tegas tapi hangat.
Luffy mengangguk dengan cepat dan berjalan ke bangkunya di belakang kelas. Saat ia melewati Nami, gadis itu melemparkan pandangan tajam padanya. “Kamu tidak pernah berubah, ya, Luffy,” gumamnya, cukup pelan untuk tidak terdengar oleh guru.
Luffy hanya terkekeh. “Yah, aku tidak bisa membantu. Selalu ada sesuatu yang menarik di pagi hari!” jawabnya sambil duduk. Dia tidak tahu mengapa, tapi berbicara dengan Nami selalu membuatnya merasa lebih semangat.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Luffy sering membuat ulah dan terlambat, Nami menyadari bahwa dia selalu ada di sisinya dalam keadaan apa pun. Saat mereka mendapat tugas kelompok untuk menyusun proyek bersama, Nami awalnya merasa kesal harus bekerja dengan Luffy yang dianggapnya malas. Namun, lama-kelamaan, dia mulai melihat sisi lain dari Luffy—ketulusan dan semangat pantang menyerah yang membuat Nami tersentuh.
Suatu sore, setelah sekolah selesai, Nami memutuskan untuk tinggal di perpustakaan untuk menyelesaikan proyek mereka. Dia tahu Luffy mungkin tidak akan datang, tapi dia tetap menunggu. Satu jam berlalu, dan Luffy masih belum muncul. Nami mendesah dan kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Namun, tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka dengan pelan, dan Luffy masuk dengan napas terengah-engah. “Maaf, aku terlambat lagi, Nami,” katanya dengan senyum bersalah.
Nami menatapnya dengan sedikit marah, tapi di dalam hatinya ada kelegaan yang tak bisa ia jelaskan. “Kamu selalu terlambat. Apa yang kamu lakukan kali ini?” tanyanya dengan nada menyelidik.
Luffy menggaruk kepalanya dengan canggung. “Aku tadi membantu Chopper di klinik sekolah. Ada anak kelas bawah yang terluka saat latihan olahraga, jadi aku membantunya.”
Mendengar itu, kemarahan Nami sedikit mereda. “Kamu seharusnya memberitahuku dulu,” katanya, suaranya lebih lembut sekarang. “Aku bisa membantumu kalau ada sesuatu yang penting.”
Luffy tersenyum lebar. “Tapi kamu sudah punya banyak pekerjaan. Aku tidak mau menambah bebanmu, Nami.”
Hati Nami berdesir mendengar kata-kata Luffy. Meskipun dia seringkali ceroboh, Luffy selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri. “Baiklah, ayo selesaikan proyek ini bersama,” katanya, mencoba menutupi perasaan hangat yang mulai muncul dalam hatinya.
Mereka berdua mulai bekerja sama, dan untuk pertama kalinya, Nami melihat Luffy benar-benar serius. Dia mungkin tidak terlalu pintar dalam hal akademis, tetapi semangatnya tidak bisa diragukan. Dia bekerja keras, bahkan jika itu berarti harus mempelajari hal-hal yang sulit baginya. Dan perlahan, Nami mulai merasa senang menghabiskan waktu bersamanya.
Hari demi hari berlalu, dan proyek mereka hampir selesai. Suatu sore, mereka memutuskan untuk bertemu di taman sekolah untuk menyempurnakan presentasi mereka. Matahari sudah mulai terbenam, memancarkan cahaya keemasan yang membuat segala sesuatu terlihat lebih hangat dan romantis. Mereka duduk di bawah pohon besar, dikelilingi oleh suara-suara alam yang menenangkan.
“Nami, kenapa kamu selalu begitu serius?” tanya Luffy tiba-tiba, memecah keheningan.
Nami terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Karena aku harus. Kalau aku tidak serius, siapa yang akan memastikan semuanya berjalan lancar? Aku tidak bisa membiarkan segalanya berantakan.”
Luffy menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. “Tapi kamu tidak harus melakukannya sendirian, Nami. Kami semua di sini untukmu. Aku di sini untukmu.”
Nami merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Luffy…” katanya, suaranya nyaris berbisik. Dia menoleh untuk menatap Luffy, dan dalam cahaya senja, matanya yang biasanya ceria sekarang terlihat lebih dalam, lebih hangat.
“Jadi, kalau kamu merasa berat, kamu bisa mengandalkanku. Aku tahu aku bukan yang paling pintar atau paling kuat, tapi aku akan selalu ada untukmu, Nami,” lanjut Luffy dengan tulus.
Nami merasakan air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia menahannya. Dia tidak ingin Luffy melihatnya menangis. “Terima kasih, Luffy,” katanya dengan suara bergetar. “Kamu selalu membuatku merasa lebih baik, bahkan saat aku merasa semuanya terlalu sulit.”
Luffy tersenyum, dan tanpa berpikir panjang, dia menggenggam tangan Nami dengan lembut. Sentuhan itu membuat Nami terkejut, tapi dia tidak menarik tangannya. Sebaliknya, dia merasa nyaman dengan kehangatan yang mengalir dari genggaman Luffy.
“Tidak masalah, Nami,” katanya pelan. “Aku senang bisa ada di sini bersamamu.”
Mereka berdua duduk di sana, di bawah langit yang mulai gelap, saling berbagi kehangatan yang sederhana namun penuh makna. Di tengah kehidupan sekolah yang sibuk, di antara tawa dan keributan, Nami menyadari bahwa dia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar teman dalam diri Luffy.
Dan Luffy, dengan caranya yang sederhana namun tulus, telah mengungkapkan perasaannya tanpa perlu banyak kata. Mereka mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi di saat itu, mereka tahu bahwa kebersamaan mereka adalah sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan mereka jaga dengan sepenuh hati.
Di taman itu, di bawah cahaya bintang yang mulai bermunculan, Luffy dan Nami menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Mereka telah menemukan cinta yang tumbuh dalam kebersamaan dan kehangatan, cinta yang mereka jaga di tengah segala tantangan yang ada di hadapan mereka.
•FIN•
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's make LuNa With AI
Fiksi PenggemarFull Short Story About Luffy x Nami, made with AI.