PROLOG

0 0 0
                                    

Azura bilang ia tak menyukai hujan. Tapi, ini lucu. Mengingat kini dirinya tengah duduk di smoking area Jatinagor seraya menatap lurus langit di atasnya yang kian abu. Diiringi suara gemercik hujan yang perlahan mulai mengguyur sang Pasundan.

Azura bukan pecinta hujan. Tapi sejatinya, dirinya pun tak pernah membenci tiap rintikan yang jatuh basahi buminya. Ia teguk lagi teh panas yang rasa panasnya kini tinggal nama. Meluap kalah oleh atmosfir dingin yang dibawa si hujan sore itu. Ia sesap isinya hingga kandas lalu detik setelahnya tangannya meraih payung yang disandarkan pada salah satu tiang di sana. Siap beranjak keluar menembus hujan.

"Punten, Teh?"
" aduh, maaf tapi anu-err itu kayaknya yang Tetehnya bawa payung saya, bukan?"
" tadi saya baru aja taro payungnya disenderan situ terus saya tinggal mesen ke dalem bentaran,"
" err- gini deh. Sok si Tetehnya coba cek di gagangnya ada inisal A nya, gak? Kalau ternyata gak ada betul atuh punya si Teteh."

Azura linglung. Tapi tak urung untuk menunduk mengecek adanya inisial A pada gagang payung tersebut.
Maniknya sibuk menilik dan kini temukan adanya goresan huruf A yang hampir hilang di sana. Tak begitu jelas memang, tapi cukup jadi bukti kalau payung yang ada dalam genggamannya kini memang bukan miliknya.
Seolah mengerti, sosok di depannya kini kembali berujar. Mungkin merasa tak enak lantaran Azura sendiri sudah hampir beranjak keluar tapi terhalang perkara salah payung.

" mau dibantu cari payungnya?" Namun yang reaksi yang diterima laki-laki itu malah berupa gelengan. " Gak usah deh, A. Gapapa. Kayaknya kalaupun dicari malah susah. Toh, rumah saya gak jauh dari sini. Mumpung hujannya belum deres mah bisa lah lari sedikit."

" Saya anter aja ya kalau gitu?"
" gak modus demi Allah-" seolah tidak diberi kesempatan bicara laki-laki itu kembali melanjutkan. Membuatnya tanpa sadar tengah mengizinkan Azura untuk memberi atensi lebih pada dirinya. "Cuma Sayanya aja gak enak sama Tetehnya. Atau kalau Tetehnya mau bawa aja deh payung Saya. Saya entaran aja gampang, gimana?"

" Kamu gak apa-apa emangnya kalau harus anter Saya?"
" nanti kamu harus jalan dua kali yang ada."
Laki-laki dengan balutan seragam SMA itu turut menggeleng. " gapapa, kan Saya yang minta."
" jadi, ayo!"

Sore itu Azura temui hal baru dalam empat belas tahun hidupnya. Pertama bermain hujan, dan kedua Astakala. Anak laki-laki yang mengenakan seragam khas anak SMA yang kini tubuhnya tuntas diguyur hujan. Kedua iris matanya melengkung layaknya bulan sabit, membentuk senyuman. Seolah tak terusik dengan pakaian dan tasnya yang serba basah sementara payungnya ia gunakan untuk menghadang rintikan hujan yang bisa saja jatuh basahi Azura.

Sore itu juga di tengah rundungan hujan pada Bumi Pasundan. Azura rasakan genggaman halus pada jemari tangannya. Tak menuntut, namun hangat hingga rasanya Azura tak perlu takut laki-laki itu berbuat macam-macam.

Hari itu di Bandung tahun 2015 cerita mereka dimulai.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dialog MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang