Suasana di rumah sakit terasa suram, dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh langkah-langkah kaki perawat. Valdi duduk di kursi ruang tunggu, menatap kosong ke depan, sementara di sebelahnya Mayang menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam.
"Ibu... kenapa harus sekarang?" suara Mayang pecah, nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.
Valdi menatapnya dengan penuh simpati, hatinya terasa berat.
"Mayang... om turut berduka," katanya lembut, mencoba menghibur gadis yang kini menjadi yatim piatu.
"Kenapa harus seperti ini, Om Valdi?" Mayang meratap, wajahnya basah oleh air mata.
"Kenapa Ibu harus pergi? Aku... aku sekarang sendirian..." Tangisnya semakin keras, dan Valdi merasakan dorongan kuat untuk menenangkannya.
"Om tahu ini berat, Mayang. Ini nggak adil, tapi kamu nggak sendirian. Ibumu... dia sudah berjuang sekuat tenaga," ujar Valdi sambil menghela napas panjang.
Mayang menggeleng pelan, air mata terus mengalir di pipinya.
"Kenapa harus seperti ini? Mereka bilang... karena COVID, pemakamannya tanpa keluarga... aku nggak bisa ada di sana..."
Valdi merasakan simpati yang mendalam. Dia tahu bahwa situasi ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang kesepian yang tiba-tiba menghantam gadis muda ini.
"Mayang, om benar-benar minta maaf. Kalau saja ada cara lain..."
Kerabat Ibu Retno, seorang wanita tua yang terlihat lelah, mencoba menenangkan Mayang, tapi air mata juga membasahi pipinya.
"Mayang... kita nggak bisa berbuat banyak. Ibumu dimakamkan sesuai aturan. Itu yang terbaik yang bisa kita lakukan." katanya, suaranya gemetar.
Mayang hanya bisa mengangguk, meski jelas rasa sakit itu terlalu besar untuk ditahan.
Kerabat Ibu Retno, mengalihkan perhatiannya kepada Valdi.
"Pak Valdi," katanya lembut, "Mayang dibesarkan di desa terpencil bersama neneknya. Sejak kecil, Mayang telah bertanggung jawab merawat neneknya yang sudah tua dan sakit."
Valdi menatap penuh perhatian, terus mendengarkan kisah yang mengungkap lebih dari sekadar kehilangan.
"Hingga usianya yang sekarang, Mayang bahkan belum pernah mengenal internet," ujar wanita tua itu dengan nada prihatin, menatap Valdi seolah berharap ia bisa memahami betapa terisolasinya kehidupan Mayang.
"Hidupnya dipenuhi oleh alam dan kebiasaan desa, dan dia tak begitu mengerti pergaulan seperti di kota-kota besar. Dia jarang sekali berinteraksi dengan teman sebaya, karena setiap hari habis untuk merawat neneknya."
Wanita itu menarik napas dalam, suaranya bergetar saat melanjutkan, "Kami sangat prihatin, bagaimana dia akan menghadapi semua ini sendirian." Matanya yang lembut menatap Valdi, memohon pengertian dan mungkin sedikit bantuan untuk gadis yang polos itu.
Valdi terdiam sejenak, berpikir keras. Dia tahu bahwa kehidupan Mayang akan menjadi lebih sulit tanpa Ibu Retno.
"Mayang," katanya akhirnya, "Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di rumah om. Kamu bisa kerja di sana, gantiin posisi Ibumu. Om tahu ini nggak mudah, tapi kamu perlu tempat tinggal dan pekerjaan."
"Mayang, ini kesempatan baik. Kamu tahu, aku tidak bisa menanggungmu, dan nenekmu juga tidak." kata kerabat Bu Retno sambil menepuk bahu Mayang dengan lembut.
"Aku nggak mau merepotkan Om Valdi." ujar Mayang sambil mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.
"Kamu nggak merepotkan," jawab Valdi dengan lembut. "Kamu butuh tempat tinggal dan om butuh bantuan. Lagipula, ini cara paling sedikit yang bisa om lakukan buat Ibumu." kata Valdi dengan tegas namun penuh empati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Liar Pembantu Lugu 🔞
Romance🔞🔞🔞🔞 !!WARNING!! 🔞🔞🔞🔞 Setiap chapternya mengandung konten yang eksplisit dan dewasa, termasuk tema manipulasi, hubungan yang kompleks, serta adegan seksual yang intens. "Gairah Liar Pembantu Lugu" ditujukan untuk pembaca berusia 18 tahun ke...