Bab 2 - Mertua Judes

90 7 1
                                    

Reyna bergegas mengenakan lagi pakaiannya, dan meminta Aufar untuk segera mandi. Awalnya sang suami merajuk, wajahnya memelas sambil memeluk dan mengelus lembut bagian dada dan punggung Reyna.

“Mas, nggak enak sama Mama. Beliau udah bela-belain ke sini pagi-pagi banget, itu artinya memang ada sesuatu yang penting yang mau dibicarakan dengan kita,” ujar Reyna memberikan pengertian pada sang suami. Tak lupa, dia juga mengecup lembut kening suaminya. Telapak tangan halus juga membelai lembut pipi Aufar, berharap hal itu dapat sedikit menenangkan hasrat yang tertunda.

Reyna hendak melangkah keluar dari kamar, tetapi Aufar menahannya. “Sebentar aja, Yang. Mas mohon. Bentar lagi keluar loh itu,” bujuknya dengan mata yang masih berbinar penuh hasrat.

“Kita punya banyak waktu untuk menuntaskan semuanya, Sayang. Weekend ini, kalau Mas nggak sibuk, gimana kalau kita staycation di Batu atau tempat lain yang romantis? Aku pengen second honeymoon,” ungkap Reyna dengan jujur.

Satu tahun terakhir, Aufar begitu sibuk dengan perusahaan karena baru saja dilantik sebagai CEO di PT Dua Merak Jaya Tbk, perusahaan keluarga yang bergerak dibidang produksi makanan ringan dan minuman kemasan yang cukup terkenal. Hal itu juga yang akhirnya mengurangi jatah waktu untuk sang istri, hingga tak pernah lagi berlibur untuk sekadar “pacaran lagi”.

Aufar menghela napas dan mengendurkan pelukannya di tubuh Reyna. Apa yang dikatakan memang benar. Bahkan untuk meeting ke luar kota pun tak lagi bisa menikmati kebersamaan dengan sang istri karena jadwal yang begitu padat. Permintaan itu sepertinya usul yang bagus.

“Ya udah, week end ini, kita staycation ke mana pun yang kamu mau. Kamu pilih aja lokasi dan hotelnya. Jumat sore, setelah Mas pulang kerja, kita berangkat. Okey,” ucap Aufar mengalah dan memutuskan memendam gairahnya. Hari ini hanya ada satu meeting dengan beberapa staf, harusnya tak begitu menguras waktu hingga malam.

Reyna keluar kamar setelah memastikan Aufar masuk ke kamar mandi. Langkahnya sedikit cepat menuju dapur, di mana ibu mertuanya sudah berada di sana seperti yang sudah dikatakan setelah mengetuk kamar dan membuat mereka menunda hasrat.

Benar saja, di dapur, dengan dibantu seorang pembantu yang ditugaskan keluarga Aufar untuk membantu Reyna, Rossa, mama Aufar, sedang sibuk memindahkan makanan dari sebuah rantang ke dalam beberapa piring. Tak ada obrolan di antara mereka, hanya sesekali sang ibu mertua terdengar meminta Bik Muna mengambilkan sendok atau mangkuk.

“Ma,” sapa Reyna menghampiri sang mertua dan hendak mencium tangannya. Namun, uluran tangan itu tak segera disambut baik oleh Rossa. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu hanya memperhatikan penampilan menantunya dari ujung rambut hingga kaki dan kembali lagi ke atas dengan mata memicing. Bahkan, sorot mata itu terhenti tepat di bawah wajah Reyna, ada sebuah tanda merah keunguan di leher wanita itu.

“Kalau kamu berhijab, sebaiknya meskipun di rumah juga berhijab. Apa kamu nggak malu, kalau sampai ada orang lain yang tau apa aja yang sudah kalian lakukan?” sindir Rossa yang kemudian mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Reyna.

“I-iya, maaf Ma. Tadi buru-buru. Biasanya juga pakai hijab, kok,” sanggah Reyna setelah menyalimi mertuanya.

Reyna hendak membantu Rossa, memindahkan lauk terakhir yang ada di rantang ke piring, tetapi dengan cepat Rossa menahan tangan sang menantu. Dia melayangkan sorot mata penuh tanya, debaran jantung juga terasa kencang seiring dengan otaknya yang berpikir dengan cepat, kesalahan apa yang sudah dia perbuat.

“Jangan biasakan menyentuh makanan saat kamu belum membersihkan diri. Apalagi sampai makan setelah bercinta dengan suamimu. Bikin rezeki suamimu seret. Mandi dulu, dan ajak suamimu untuk sarapan bareng Mama sekarang,” pinta Rossa dengan nada dingin, dan raut wajah yang serius. Tak tampak sedikit pun senyum di wajahnya.

“Ba-baik, Ma,” ucap Reyna yang kemudian hendak melangkah ke kamarnya yang berada di lantai dua.

“Reyna, tunggu dulu,” panggil mertuanya ketika wanita itu terlihat sedikit berlari menaiki tangga yang memang berada di seberang dapur.

Reyna kembali menoleh kepada Rossa. “Jangan lari-lari kalau di tangga. Kalau jatuh gimana? Kamu harus bisa menjaga tubuhmu sendiri. Siapa tau, kan, saat ini calon cucu Mama sudah mulai tumbuh di rahim kamu? Pelan-pelanlah dikit.”

Senyum yang awalnya mengembang, kian memudar berganti air mata yang kembali memenuhi pelupuk mata. Sesak juga begitu terasa di dalam dada. Tak hanya dirinya, sang mertua juga sangat menginginkan hadirnya buah hati di tengah keluarga kecilnya. Namun, apa yang bisa dia katakan saat ini? Apakah Reyna harus mengatakan kalau dirinya belum juga hamil, dan kembali melihat kekecewaan di wajah Rossa seperti beberapa bulan sebelumnya?

Sambil menguatkan hati, Reyna mengangguk, dan menjadikan ucapan Rossa adalah doa untuknya. Kata orang, hasil tespek bisa saja salah, bukan? Atau memang saat ini kadar hormon kehamilannya belum bisa terdeteksi. Berbagai kemungkinan terus dipikirkan, untuk mengalihkan pikiran buruknya.

Perlahan dia menaiki tangga dan melangkah hingga ke kamarnya. Di sana rupanya Aufar baru selesai mandi. Aroma lemon dan tea tree oil menguar seketika memenuhi seisi kamar pribadi mereka.

Aufar yang masih berbalut handuk untuk menutupi area bawah perutnya melihat Reyna dengan wajah yang tertunduk lesu duduk di pinggir ranjang. Dengan cepat dia menyelesaikan segala aktivitasnya; menyisir rambut dan menggunakan deodoran. Kemudian menghampiri Reyna dan berlutut di hadapan sang istri.

“Ada apa?” tanya Aufar dengan suara yang begitu rendah dan lembut. Tak lupa, dia juga menggenggam tangan sang istri untuk meyakinkan, bahwa apa pun yang terjadi, dia akan selalu ada untuk Reyna.

Reyna hanya menggelengkan kepala, tetapi mata lembabnya tak bisa berbohong. Sorot kesedihan terpancar jelas di sana.

“Apa Mama mengatakan sesuatu yang menyakitkan?” tanya Aufar khawatir. Dia tahu betul bagaimana karakter sang mama yang kadang bisa berkata apa pun tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya. Sebagai suami, tentu saja dia tidak akan membiarkan perkataan buruk siapa pun sampai di telinga sang istri, karena hal itu sama saja akan menyinggung dirinya.

“Nggak, mama nggak ngomong hal yang buat aku tersinggung, Mas. Tapi, apa yang mama harapkan, itu juga sama sepertiku. Aku ingin bisa segera memberikan kamu seorang anak, dan mama juga mengharapkan cucu dari kita. Aku sedih, karena pada kenyataannya, aku belum mampu memberikan itu untuk kalian.” Lagi-lagi air mata Reyna tumpah. Tubuhnya bergetar hebat karena tak mampu lagi membendung kesedihan yang sangat dalam. “Apa aku ini mandul ya, Mas?”

Segera Aufar menutup mulut Reyna dengan telunjuknya. “Nggak boleh ngomong gitu. Kita harus percaya kalau hal ini bagian dari ujian untuk rumah tangga kita, Sayang. Soal anak, bukan cuma kamu yang punya andil, tapi Mas juga. Kalau ternyata Mas yang mandul, gimana?”

Dua MakmumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang