Part 15

174 43 17
                                    

"Maaf." Emir menghapus air matanya, menatapku, lalu kembali tertawa terbahak ketika kami sampai di pedestrian di depan gedung Bank darah.

Aku menghentakkan kaki jengkel, "Berhenti ketawa."

"Maaf. Iya. Aku berhenti. Tapi yang tadi itu..."

"APA?" Aku menyipitkan mata. Menantang  Emir lewat tatapan mataku.

"Lucu." Jawab Emir. Ia nyengir. Seakan kemarahanku tidak ada harga dirinya.

Aku tercengang. Tingkah Emir sering membuatku bingung. Entah Emir benar-benar paham kalau aku benar-benar bisa mati kalau tidak minum darah atau ia sebenarnya meremehkan kebutuhanku. Kesulitanku.

Mulutku sesaat terbuka, banyak yang ingin kukatakan. Tapi aku berhenti. Aku tidak mau mengobrol dengan Emir. Aku tidak mau membawa diriku dalam sadar terjebak bersama Emir. Aku tidak boleh terhubung secara emosi dengan nya. Seperti kata keluargaku, jangan terlalu terhubung dengan manusia,-mangsaku.

Tapi kalau aku tidak bicara dengan Emir bagaimana aku tau jalan pikirannya? Alasannya. Karena manusia waras mana yang mau mengumpankan diri pada vampir dan dengan sengaja mengikutiku. Padahal tau bahwa aku berbahaya.

"Emir?"

Emir masih tersenyum. Tepatnya gemetaran menahan tawa, "Ya?"

Aku melipat tanganku di depan dada. Mengerutkan kening mendongak menatap Emir, harus ku apakan dia? 

Sebelum aku sempat bicara Emir duluan yang berkata, "Kuantar kamu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Rencana pertamamu gagal total, Rona." Emir ikut melipat tangannya di depan dada, dengan ekspresi nyebelin ia melanjutkan berkata, "Ada rencana kedua?"

Wajahku mengernyit. Aku nggak suka pilihan kata Emir. Aku tau aku memang tidak berhasil tapi tidak perluh di tegaskan dengan kata gagal total.

"Ada." Jawabku. Buru-buru berjalan pergi. Tapi lagi-lagi langkah Emir dua kali langkahku, padahal wajahnya masih pucat, tapi kenapa energinya sebaik saat aku sehat, "Yang punya darah itu, bukan cuma manusia, Emir."

Sebenarnya aku cuma asal bicara. Cuma untuk membuatku tidak kelihatan lemah di mata Emir. Tapi lenganku tiba-tiba ditarik kuat. Aku menoleh kaget, lenganku di cengkram erat Emir. Di belakangku, senyum Emir menghilang. Wajahnya tegang dan anehnya,-khawatir. Aku belum pernah melihat siapapun, kecuali ayah dan ibuku, melihatku se khawatir Emir.

Jantungku berdetak cepat. Aku berhenti berjalan. Membalik tubuhku mendongak menatap Emir. Mulutku sudah terbuka, siap meluncurkan serentetan kalimat perang. Panjang lebar. Menumpahkan segala marah dan frustasiku pada Emir, tapi lagi-lagi Emir duluan yang berbicara, mengalihkan duniaku.

"Apa ada aku dalam rencanamu yang lain?" Tanyanya.

"Hah?" Aku mengerjapkan mata. Memastikan aku tidak salah dengar.

"Apa aku ada dalam pilihan?" Tanya Emir, entah dengan nada datar atau bego.

Aku ternganga.

"Aku sudah pernah bilang, Emir. Aku nggak akan gigit Emir lagi." Seruku.

" Jangan bicara terlalu keras, Rona." Emir menundukkan tubuhnya, hingga badannya yang lebih tinggi tiga puluh sentimeter itu sejajar denganku, selalu begitu caranya mengobrol denganku sejak dulu, seperti mengajak bicara anak kecil, "Cuma aku yang boleh dengar." Ucapnya pelan.

Tubuhku mengejang kaku, "Aku bilang, aku nggak akan minum darah Emir lagi." Gertakku kini ikut dalam bisikan. Mata Emir menatapku tajam. Sesaat aku bertahan diam. Membalas tatapan mata Emir. Setengah menahan nafas, "Nggak ada manusia yang bisa tahan dihisap darahnya selalu setiap waktu. Cepat atau lambat. Emir bisa sakit. Lebih sakit dari sekarang."

"Aku nggak pernah bilang untuk selamanya." Ucap Emir, "Tapi secukupnya."

"Secukupnya?"

"Secukupnya sampai kamu menguasai kemampuanmu yang seharusnya."

"Tapi aku nggak bisa di beri cuma-cuma."

"Ya." Bibir Emir tersenyum, senyum anak bandel, sangat bukan senyum Emir,-senyum anak teladan, kesayangan guru, "Nggak akan cuma-cuma."

Aku mematung curiga. Sebenarnya disini siapa yang diumpan ke siapa. Sampai aku berpikir, darah hewan mungkin nggak akan buruk-buruk amat.

"Apa yang Emir mau?" Tanyaku hati-hati.

"Nanti ku beritau saat kuantar kamu pulang"

"Aku nggak mau pulang dengan Emir."

"Jadi kita tetap berdiri disini? Di pinggir jalan. Sampai kita selesai bicara?"

"Iya dan kalau yang Emir mau terlalu aneh, aku bakal lebih milih minum darah ayam hidup daripada Emir." Ancamku.

"Kamu anak perempuan yang nyaris pingsan waktu praktek bedah katak di laboratorium Biologi." Ucap Emir, bibirnya menyeringai sementara tangan menepuk-nepuk puncak kepalaku dengan sabar,  "Jadi coba saja."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang