Cahaya redup

135 14 1
                                    

Zhan mengerjap, cahaya redup lampu operasi menyilaukan matanya. Dinding putih rumah sakit mengelilinginya, namun yang paling membuatnya terkejut adalah sosok yang berdiri di ujung ranjangnya. Itu Mamanya, wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca.

"Ma... Ma?" lirih Zhan, suaranya serak.

Mamanya tersenyum sedih, "Nak, ikut Mama."
Zhan berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa lemas. Ingatan tentang operasi yang baru saja ia jalani masih samar-samar. Ia mengikuti tatapan Mamanya yang terarah ke jendela besar. Di luar, malam gelap membentang luas.

"Ke mana, Ma?" tanya Zhan, suaranya bergetar.
"Ke tempat yang lebih tenang," jawab Mamanya lembut.

Tanpa ragu, Mamanya berjalan menuju jendela dan membuka daun jendela lebar-lebar. Angin malam menerpa wajah Zhan, dingin menusuk tulang. Mamanya berdiri di ambang jendela, siluetnya terlihat samar-samar dalam kegelapan.

"Ikut Mama, Nak," ajaknya sekali lagi.

Zhan merasa ditarik ke dalam pusaran emosi yang kuat. Kehilangan, kesepian, dan keputusasaan bercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin sekali memeluk Mamanya, namun ia tahu itu tidak mungkin.

"Jangan, Ma!" teriaknya, suaranya pecah. "Aku tidak mau!"

Namun, Mamanya terus membujuknya. "Ini saatnya kita bersatu kembali, Nak."
Zhan menggelengkan kepala dengan putus asa. Ia masih ingin hidup, masih ingin merasakan hangatnya sinar matahari. Penuh rasa bimbang di lubuk hatinya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras. Jim, sekretaris pribadinya, berlari masuk dengan wajah panik. "Zhan!" teriaknya.
Zhan menoleh, matanya memerah. "Jim..." lirihnya.

Jim langsung menghampiri Zhan dan menariknya menjauh dari jendela. "Jangan lakukan ini, Zhan!" teriaknya, suaranya bergetar.

Zhan meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari genggaman Jim. "Lepaskan aku! Aku ingin bersama Mama!" teriaknya histeris. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya.
Jim memeluk Zhan erat, berusaha menenangkannya. "Kamu tidak sendiri, Zhan. Aku ada di sini untukmu."

Zhan terisak dalam pelukan Jim. Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Kehidupan terasa begitu berat baginya. Ia ingin sekali mengakhiri semuanya, agar ia bisa bersatu kembali dengan Mamanya.

Wang Yibo datang memecah keadaan melihat kejadian Wang Yibo, Zhan mengisap seluruh air matanya agar tak tersisa dia tersenyum lembut menggiring tiang infus untuk mendekati Wang Yibo di ujung pintu. Zhan menatap bangga, dari ujung kaki sampai ujung rambut Zhan menatap kekaguman dengan sisa air mata.

"Ah, kamu masih ingat sekolah, syukurlah."

Yibo menepis tangan Zhan dari pundaknya, dia menghampiri Jim untuk menyerahkan tabloid yang tadi dia pakai untuk mencari beberapa tutor menyelesaikan soal.
"Pekerjaan rumah sudah selesai, aku masih ingat pelajarannya."

Zhan merasa sifat dingin itu kepadanya, Yibo tak menghiraukan kehadirannya, dengan nalurinya sebagai seseorang yang merasa memiliki jasa dia ingin Yibo setidaknya mengingat tentang dirinya.
"Yibo, Yibo, lihat!" Zhan menunjukkan sebuah jam tangan namun Yibo meliriknya dengan tak minat.

"Kita punya sepasang yang sama, aku menyimpannya, setelah ini akan aku kembalikan."

Yibo melihat ke arah Jim, namun Jim memalingkan wajahnya, Yibo mengangguk saja lantas pergi mengambil makan malamnya di meja tanpa menghiraukan Zhan yang terus menatapnya tanpa henti.

.
.
.
Setelah kondisi Zhan cukup membaik dia mulai bekerja lagi, bahkan aturan Yibo diubah sedemikian rupa setelah pulang sekolah dirinya harus datang ke kantor dan pulang bersama Zhan nanti malam. Awalnya Xiao Yan sangat tak berkompromi, walau dia hanya anak perusahaan namun dia membuka kartu Zhan jika putra bungsu keluarga Xiao memang seorang pria gay. Tuan besar keluarga Xiao juga sangat marah namun dia belum memiliki tekad untuk melabrak, selama Minggu pertama semua berjalan lancar seolah tak peduli akan rumor di kantor.

Harga Sebuah Cinta ( Zhanyi Yizhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang