Bagaimana Jika Aku Mati?

67 22 41
                                    

Angin malam menyusup ke celah-celah jendela, membawa bisikan yang entah dari mana asalnya. Dalam sunyi kamar yang dipenuhi bayangan gelap. Pertanyaan itu tiba-tiba melayang di benakmu, menghantui setiap sudut pikiran. "Bagaimana jika aku mati? Jika aku mati, apa yang akan terjadi?"

Kamu terbaring di sana. Di ranjang yang  dingin, seakan-akan setiap serat kain menuntunmu pada kenangan-kenangan yang pernah terlewat. Wajah-wajah yang kamu kenal, suara-suara yang pernah mengisi hidupmu, semua berkelebat selayak bayang-bayang di balik mata tertutup. Di tengah hening itu, kamu bertanya. Apakah mereka akan menangis, ataukah hanya akan melanjutkan hidup seakan tak ada yang terjadi?

Di luar, dunia tampak sama. Bintang-bintang berkelap-kelip di angkasa, sebagaimana mata-mata yang mengawasi, tanpa emosi. Apakah mereka tahu apa yang kamu rasakan? Bahwa di dalam hati yang sunyi ini, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apa pun. Seolah-olah hidup ini hanya persinggahan yang tak bermakna?

Kamu membayangkan tubuhmu, terbaring tanpa jiwa. Wajahmu yang pucat, seolah memanggil kepergian, sementara angin berbisik lirih, "Apakah dunia akan berhenti jika kamu tiada?" Namun, di balik setiap desiran angin, jawaban tak pernah menampakki dirinya. Semua hanya bayangan tanpa wujud; semua ... hanya teka-teki yang tak terselesaikan.

Lalu, kamu teringat pada mereka yang pernah kamu cintai, pada tawa dan tangis yang pernah kalian bagi. Apakah mereka akan merasa kehilangan? Ataukah kepergianmu hanyalah satu helaian daun yang gugur di antara jutaan daun lainnya? Tak meninggalkan jejak. Tak meninggalkan ingatan.

Air mata yang tak kamu sadari menetes, jatuh membasahi bantal yang sudah usang. Kamu mencoba mengingat apa yang telah kamu lakukan, apa yang telah kamu capai. Namun, setiap kenangan yang muncul justru semakin memperdalam luka yang tak terlihat. Mungkinkah hidup ini hanyalah rentetan peristiwa yang terurai, yang pada akhirnya hanya meninggalkan kekosongan?

Di ujung malam yang semakin gelap, kamu menyadari satu hal yang tak pernah kamu akui sebelumnya. Bahwa ketakutan terbesarmu bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa hidupmu mungkin tak berarti apa-apa.

Bahwa ketika kamu pergi, dunia akan tetap berputar. Matahari akan tetap terbit, dan angin akan tetap berembus, seolah-olah kamu tak pernah ada.
Namun, di tengah renungan itu, ada seberkas sinar yang samar. Seakan ... langit ingin memberitahumu sesuatu.

Mungkin, bukan tentang apa yang terjadi setelah kamu mati yang seharusnya kau pikirkan, tetapi apa yang kamu tinggalkan selama kamu hidup. Setiap tawa yang kamu bagi, tiap pelukan yang kamu berikan, setiap kata-kata yang kamu ucapkan—mungkin itu semua yang akan tetap ada, meski kamu telah tiada.

Mungkin, dalam kematian, kamu tak benar-benar pergi. Kamu tetap ada, dalam setiap kenangan yang kau ciptakan, dalam hati mereka yang pernah kamu sentuh. Namun, apakah itu cukup? Apakah itu membuat semua ini berarti? Kamu tidak tahu.

Lantas di ujung malam yang pekat, kamu terbaring dalam kebingungan yang semakin dalam, pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Apa yang akan terjadi jika aku mati? Jika aku mati, apakah aku akan dilupakan, ataukah aku akan hidup dalam hati mereka yang pernah mengenalku?

Kamu tak pernah tahu, dan mungkin, kamu tak akan pernah mengetahuinya.
Namun, satu hal yang pasti. Malam ini kamu tersadar bahwa hidupmu—meski penuh kebingungan dan kekosongan—adalah milikmu sendiri untuk diisi dengan makna. Lalu, meski kamu tak tahu apa yang akan terjadi setelah itu, kamu hanya bisa berharap, bahwa pada akhirnya, hidup ini bukanlah sia-sia.

Dengan pertanyaan yang terus mengendap, kamu menutup matamu, mencoba mencari kedamaian di tengah kekacauan batin. Namun, pertanyaan itu tetap ada. Mengintai, menghantui, dan kamu bertanya-tanya. Apakah ada jawaban yang akan datang, ataukah ini hanya awal dari perjalanan yang lebih gelap?

Selesai.

***

Aku tidak punya alasan khusus untuk mempublikasikan cerita ini. Mungkin, jika ada, hanya sebagai tempat untuk pulang

How Did It End? Tersedia 8 bab untuk kalian baca, selamat menikmati, semoga kebahagiaan menyertai kalian.

— Aka

evermore Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang