Safaya
Aku terlahir menjadi seorang bungsu dari dua saudara, ya, perkenalkan namaku Safaya. Anak perempuan yang beranjak dewasa, ah, apa bisa di bilang anak saat kehadiran diriku tidak pernah dianggap.
Entah ini salahku atau tidak, tapi aku merasa kehadiran diriku tidak pernah dianggap di keluarga ini. Dimana posisiku digantikan oleh anak perempuan lain dari adik Papa, namanya Syanara.
Mungkin karena aku tidak begitu pintar, atau aku tidak begitu cantik, aku juga tidak tahu. Yang ada di benakku dulu adalah aku tidak begitu pintar seperti Syanara dan kakakku, Syaputra.
Terlahir dengan memiliki satu saudara kandung seharusnya membuat diriku dekat dengan Kakakku namun sebaliknya terjadi kepadaku.
Aku ingat saat kakakku mengajak beberapa temannya datang dimana untuk kesekian kalinya aku tidak diperkenalkan kepada mereka, hanya Syanara yang diperkenalkan sebagai adik. Sedangkanku? Memilih diam dan berjalan masuk menuju area kebun yang ditanam Mbok Dar.
Setiap ada perayaan kenaikan kelas pasti Mama dan Papa mengajak semuanya untuk makan di restoran ternama karena keduanya memiliki pencapaian yang membanggakan sedangkanku bisa naik kelas saja sudah beruntung.
Terkadang aku juga bingung dari mana otakku ini? Karena yang aku tahu Mama dan Papa orang yang pintar tapi kenapa aku begitu bodoh. Hingga Mbok Dar yang sadar jika aku tidak diajak menguatkan gadis kecil ini.
"Tidak semua orang harus tercipta pintar, terkadang ada hal yang direncanakan Tuhan untuk kamu."
"Tapi Mbok, aku selalu ditinggal saat ada perayaan begini. Bahkan beberapa kali aku tidak diajak ke luar negeri gara-gara aku tidak naik kelas."
"Berdoa ya semoga Papa dan Mama Nona muda terketuk." Ya, saking malunya mereka memiliki diriku. Bahkan saat beranjak remaja aku mulai berpikir mungkin aku bukan dari anak Mama dan Papa.
"Hus, ngawur kamu. Kamu anak Papa Mama, Mbok sendiri yang melihat kamu pertama kali saat dilahirkan." Tapi kenapa semuanya berbeda?
Hingga aku beranjak dewasa dan mengabaikan semuanya, mencoba mencari kehidupanku sendiri tanpa mengindahkan ucapan mereka. Ya, aku memutuskan untuk berkuliah di salah satu universitas yang terfokus ke seni.
Papa jelas marah, tapi dia tidak berhak mengatur apa yang sudah aku pilih.
"Kamu mau apa? Kenapa kamu pilih jurusan ini?" Aku menatap pria yang tidak pernah menatapku ini. "Karena aku memiliki bakat itu Pa."
"Memang seni bisa membuat kamu hidup? Kamu harusnya kaya Kakak kamu pilih kedokteran biar bisa hidup kelak." Aku sadar diri untuk tidak memilih jurusan itu.
"Kaya Nara, dia juga pilih kedokteran."
"Maaf Pa, otak Faya tidak sepintar mereka." Jawabku dengan nada suara tenang.
Papa menatapku sebelum menghela napas. "Terserah kamu, tapi Papa tidak akan membiayai perkuliahan kamu. Silakan cari sendiri uangnya."
Ya, sebegitunya mereka membenci diriku. Membuat aku semakin sadar akan nilai diriku di hadapan mereka.
Anak orang lain mereka sekolahkan tinggi-tinggi sedangkanku? Ah sudahlah. Kan semua ini sudah aku rasakan sejak kecil kan?
Bahkan saat aku memilih keluar dari rumah tidak seorangpun yang mencegah, hanya ada tangisan Mbok Dar yang mengiringi langkah kakiku.
"Biar dia belajar hidup. Bukan seenaknya hidup." Ucap Mama dengan raut wajah tak bersahabatnya. "Tapi Ma... "
"Adikmu harus diperlakukan keras biar nurut. Jadi ini pilihannya yaudah." Membuat semua orang yang melihat aku keluar dari rumah itu merasa iba.
Meskipun aku harus terlunta-lunta beberapa hari, tapi kenyataannya aku bisa survive bahkan anak perempuan yang bodoh ini bisa hidup dari kakinya sendiri.
Sudah delapan tahun aku hidup tanpa keluarga membuat aku berjuang untuk sekadar makan. Tapi itu semua membuat diriku bisa melakukan apapun tanpa izin mereka. Bahkan selama ini juga aku mengelola sebuah studio foto yang namanya semakin melejit karena kualitas yang kami tawarkan.
Membuat hidupku mulai tertata, bahkan rumah yang sekarang aku huni juga dari keuntungan studio itu. Aku bahagia sangat, ternyata di balik kesulitan yang harus aku lalui nyatanya Tuhan memberikan kemudahan.
"Mba, minggu depan bisa isi seminar mengenai fotografi?"
"Dimana?"
"Di Bandung."
"Sama siapa?"
"Kalau gak salah sama dosen Mba yang dulu pernah kesini." Aku menatap Moana dengan tatapan terkejut. "Pak Rendra?"
"Iya Mba."
Sungguh sangat menyebalkan jika harus bertemu dengan pria itu. Menolak tidak bisa, dan sepertinya aku harus mengambil peluang ini.
Hingga tiba waktunya membuat aku harus bertemu dengan Pak Rendra, pria yang memiliki perawakan hitam manis itu sudah tersenyum menyapa diriku. Ya, pria yang menjadi duda karatan itu selalu saja melakukan hal itu jika bersangkutan dengaku.
"Gak usah senyum-senyum?" Rutuk aku yang membuat Pak Rendra mendekat. "Lama tidak berjumpa, kamu tambah cantik."
"Idih yang sudah jadi duda karatan." Makiku yang membuat pria itu terbahak-bahak. Pria itu mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam mobilnya. Mobil yang nampak berbeda dari terakhir bertemu.
"Mobil baru Pak?"
"Iya buat calon istri." Jawabnya dengan menatap ke depan melihat jalanan yang mulai ramai.
"Oh selamat ya Pak."
"Iya. Eh kamu mau kenalan sama dia gak?" Tawarnya yang membuat aku mengerutkan kening, memang ada hubungannya denganku?
"Emang siapa Pak?"
"Kamu." Membuat diriku memaki dalam hati. "Maunya Bapak ya." Meskipun Pak Rendra dosenku dulu tapi selisih usia kami tidak terlalu jauh. Bahkan Pak Rendra mengakui jika menyukai diriku sejak semester tujuh.
"Memang Bapak gak capek apa?"
"Gak akan capek jika itu tentang kamu." Membuat isi perutku sakit.
Hingga kami sampai di lokasi seminar, dimana kali ini Pak Rendra menjadi pembicara pertama dan jelas aku penutup.
Acara ini cukup asyik karena beberapa panitia membuat game yang tidak melulu membahas teori. Dan satu hal lagi, seminar ini membuat aku bertemu kembali dengan mereka.
Orang yang menorehkan luka disaat anak kecil itu tidak tahu apa-apa.
"Faya bisa bicara sebentar?" Ucap Kak Putra saat dirinya mencegah diriku untuk masuk ke dalam mobil. Saat itu Pak Rendra tengah izin untuk ke toilet.
Aku menatap Kak Putra dan tersenyum tipis. "Ada apa Kak? Apa kabar?" Sapaku ramah.
"Baik, kamu bagaimana?"
"Baik, sudah lama kita tidak berjumpa." Ya, kalau dihitung memang sudah lama bahkan usiaku sudah dua puluh delapan tahun. "Ya."
"Kapan kamu mau pulang?" Ucapnya tiba-tiba yang membuat aku terdiam. "Papa dan Mama merindukan kamu." Lanjutnya yang membuat aku menatap wajah Kak Putra.
"Maaf kalau itu aku tidak bisa." Hatiku masih sakit jika mengingat semua yang telah mereka lakukan. Dan entah sampai kapan ini terjadi. "Mereka merindukan kamu Faya."
"Tapi aku gak bisa." Tekanku dengan nada suara yang sedikit meninggi membuat Pak Rendra mendekat dan menepuk pundakku. "Ada apa? Siapa dia?"
"Lebih baik kita pulang Pak." Ajakku yang langsung masuk ke dalam mobil mengabaikan wajah Kak Putra. Entahlah jika bersinggungan dengan orang dari masa lalu hatiku belum siap.
"Kamu hutang cerita sama saya lo Faya." Tekan Pak Rendra yang membuat aku menatap wajahnya. Pria dewasa yang menemaniku disaat hidup begitu hancur dan mengulurkan tangannya tanpa aku minta. Pria yang selalu aku tolak saat dirinya mengungkapkan isi hatinya tetapi dia orang yang pertama ada disaat aku membutuhkan sandaran.
Tbc
Kelanjutan ada di karyakarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story II (Karyakarsa)
Short StorySemua cerita lengkapnya bisa di baca di Karyakarsa