"Anda tidak bisa melakukan itu, Tuan Albert!"
Carel baru sadar jika sekarang, sosok jangkung itu sudah berdiri tegap di belakang tubuhnya. Dari lirikan ekor matanya, sosok jangkung itu nampak dengan wajah datar dan tenang. Tapi Carel jelas masih bisa menyadari tatapan menantang dari manik kelam itu.
Carel sedikit menyingkir, memberikan ruang untuk Jiken yang dengan berani melangkah maju. Bahkan, tak ada raut ketakutan di mata segelap malam itu. Seolah, tatapan penuh intimidasi dari Albert—sang Kakek hanyalah tatapan biasa yang tidak berarti. Diam-diam, Carel berdecak kagum atas apa yang ia lihat sekarang ini.
Albert tersenyum miring. "Kau, anak dari jalang itu?" Bibirnya terkekeh dengan mata mengkilat tajam. "Aku pikir, kau akan sama menjijikkannya dengan jalang itu. Tapi, jika aku melihatmu, aku justru melihat diri Ardani di wajahmu sekarang."
Albert mendekat. "Jadi, apa yang membuat anak dari seorang jalang rendahan sampai berani bicara di depanku?"
Kedua tangan di sisi tubuh terkepal kuat, tapi wajah Jiken masih tetap tenang dan datar. Tak ada yang tahu apa yang sekarang ada dalam pikiran pemuda tinggi itu. Carel hanya bisa menyadari rahang cowok itu yang mulai mengeras.
Carel menarik napas pelan, sebelum memegang lengan sang Kakek. "Grandpa, kau jangan mengejeknya. Jiken jelas sangat berbeda dengan wanita jalang itu."
Albert mengangkat alis. "Apa yang membuatmu yakin, Prince? Apa yang membuatmu mau membelanya, hm?"
"Saya tidak akan membiarkan Anda membawa Carel pergi."
Suara Jiken kembali keluar. Bernada datar, tenang, tapi jelas ada sedikit aura menekan di setiap suara yang dia kekuarkan. Sayangnya, hal itu masih tak mampu meluluhkan hati Albert yang hanya bisa luluh dengan cucu kesayangannya tentu saja, yaitu Carel Buana.
Albert terkekeh. "Siapa kau? Dengan berani menantangku? Sepertinya, kau sudah tak sayang nyawa."
Aura yang ada pada tatapan Jiken kian menggelap. Bola mata segelap malam itu mulai menunjukkan kilatan amarah yang memuncak. Carel yang sedari tadi melirik mulai bergerak, menggenggam sebelah tangan si jangkung. Dan hanya dengan perlakuan Carel, kilatan amarah itu mulai meredup, seiring pandangan Jiken yang mengarah padanya. Menatap lembut dan penuh kasih sayang.
Jiken membalas genggaman Carel, lebih erat dan posesif. "Gue nggak akan biarin dia bawa lo pergi!"
Carel menarik napas pelan. "Lo nggak bisa apa-apa, Ji. Udah. Mending diem aja."
Jiken berdecih dan tanpa aba-aba langsung menarik tangan Carel yang masih ada di genggaman. Tentu saja cowok mungil itu terkejut begitu tubuhnya sudah berada di belakang punggung tegap si jangkung. Ingin memprotes, tapi ia mulai sadar akan kemarahan Jiken.
"Ji, lo nggak bisa lakuin apa-apa. Grandpa nggak akan sebaik itu sama lo. Seharusnya lo pergi. Nggak perlu lakuin hal merepotkan kayak gini."
"Merepotkan? Jadi, lo mau ninggalin gue gitu aja? Lo ...." Pandangan Jiken turun, menatap lantai granit dengan wajah rumit. "Nggak sayang sama gue? Gue juga saudara lo, dan gue berhak buat nentang keputusan sepihak ini!"
Carel diam. Jiken sebenarnya ingin bicara lagi, apalagi saat menyadari tatapan kosong dari manik hazel saudaranya. Hanya saja, suara berat Albert lebih dulu menginterupsi. Dan terpaksa, Jiken harus kembali berhadapan dengannya. Kembali lagi dengan wajah datar dan dinginnya.
"Kau cukup berani juga. Dan aku suka dengan orang seperti itu. Hanya saja, aku tetap tidak akan berubah pikiran. Lagi pula, kenapa kau sangat bersikeras? Apa kau lupa, jika Carel bukan saudara kandungmu? Apa kau lupa, jika dia terlibat atas apa yang sudah menimpa ibumu? Ataukah, kau tak mengetahuinya?"
Jiken menarik napas pelan. "Saya sudah tahu. Semuanya. Dan saya akan tetap pada pendirian saya untuk tidak membiarkan Anda membawa Carel."
Jiken diam sebentar, sebelum kembali bersuara. "Jika Anda khawatir dengan keadaannya, jangan khawatir. Saya yang akan menjaga Carel, tak akan membiarkan dia terluka barang seinci pun. Anda bisa mempercayai saya."
Tak ada keraguan dari suara tegas yang keluar dari bibir Jiken. Albert sampai tertawa dibuatnya. Baru kali ini menemukan seseorang yang ... mungkin akan sama dengannya. Begitu posesif dengan Carel, dan bahkan terobsesi? Ah, jika seperti ini, Albert rasanya ingin membuktikan ucapan pemuda berani itu.
"Apa kau yakin dengan apa yang baru saja keluar dari mulutmu? Apa aku bisa mempercayakan keamanan cucuku padamu?"
Jiken mengangguk dengan tegas. Carel sampai terkejut dibuatnya. Tidak menyangka jika cowok yang begitu menyebalkan ini akan benar-benar berbuat sampai sejauh ini. Maksudnya, kenapa Jiken sampai melawan Albert hanya untuk dirinya?
"Saya bahkan akan mengorbankan nyawa jika itu menyangkut Carel!"
Albert lagi-lagi dibuat tertawa. Pria tua itu bahkan sampai memberikan tepukan bertubi di bahu Jiken. Sungguh, baru kali ini menemukan sosok lain yang hampir sama seperti dirinya. Dari keluarga Mahendra lain yang juga sama posesifnya pada Carel, hanya Albert yang sampai berada di tingkat seperti ini.
Bahkan, jika Carel melakukan kesalahan besar. Seperti membunuh seseorang atau lebih, maka Albert akan tetap ada di sisi sang cucu kesayangan. Pria tua ini benar-benar begitu posesif jika sudah menyangkut tentang si cucu kesayangan. Dan sekarang, ada lagi yang sama gilanya dengan Albert. Dan bahkan tak ada darah Mahendra mengalir di tubuh anak itu.
"Kau begitu percaya diri. Apa kau tidak takut jika tiba-tiba aku akan membunuhmu, hm?"
Jiken tersenyum miring. "Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Jika bisa memilih, jika aku mati, aku ingin mati di tangan cucu kesayanganmu ini. Bukan orang lain. Hanya dia!"
Albert tersenyum lebar setelah sekian lama. Senyum yang amat sangat mengerikan, sampai Carel dibuat merinding dan spontan mengusap bagian tengkuk yang tak nyaman. Sungguh, Carel sangat tak ingin melihat senyum ini lagi dari sang Kakek.
"Sepertinya, aku harus menbuktikannya sendiri."
Suara Albert begitu dingin dan berat. Jiken untuk sesaat dibuat menegang, tapi dengan cepat kembali seperti semula. Berwajah datar dan tenang, seolah suara menantang itu tak berarti apa-apa.
"Apa pun akan saya lakukan demi Carel! Jika itu bisa membuatnya selalu berada di sisi saya, maka tugas apa pun yang Anda berikan akan saya lakukan!"
Senyuman Albert kian lebar. "Benarkah? Jika itu berbahaya sekalipun yang bisa saja merenggut nyawamu?"
Jiken berdecih. "Saya sudah katakan, jika hanya cucu kesayanganmu saja yang bisa membunuh saya!"
Albert bertepuk tangan. "Baiklah, baiklah. Kau berhasil membuatku kagum. Tapi, tentu saja apa yang aku katakan tadi tetap berjalan. Aku akan melihat, apakah kau bisa melindungi cucu kesayanganku. Ataukah, kau akan benar-benar berakhir mati?"
Jiken mengepal kuat kedua tangan. "Saya hanya akan mati di tangan Carel!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...