Part 16

135 39 6
                                    

Aku kenal beberapa vampir. Teman-teman orangtuaku, teman-teman kakakku.

Kuperhatikan, selain tanda matahari kecil di punggung, kebanyakan vampir hampir punya karakteristik sifat yang sama. Komunal,-hanya berkelompok dengan sesamanya, individualistis, hard to please, moody dan ambisius. Bukan cuma sifat, karakter wajah kami hampir sama. Menarik untuk manusia,-mangsa kami.

Aku tidak pernah melihat kakakku kesulitan untuk menarik mangsanya mendekat. Aku juga tidak pernah mendengar orangtuaku kesulitan mencari mangsa dan seharusnya, aku juga sama.

Aku mengetuk-ngetuk kaki ke lantai tidak sabar. Aku sudah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berdiri di pinggir pedestrian yang super panas, "Jadi yang Emir mau apa?"

Emir menghela nafas, mau tidak mau mengalah, "Sebagai ganti darahku yang kemarin dan darahku untuk yang kedepan?"

"Untuk ganti yang kemarin dan yang terakhir." Aku memasang wajah serius di saat yang sama Emir berhenti tersenyum, "Setelah itu aku nggak akan mau lagi."

Tatapan mata Emir seketika berubah tajam. Garis rahangnya mengeras, "Aku cuma minta, setelah semua ini, kamu jangan merasa canggung atau merasa bersalah denganku, Rona."

Kalimat Emir seperti mengirim kejutan listrik untukku. Menghentikan waktuku. Duniaku. Aku terdiam. Mataku menatap Emir tanpa berkedip. Begitu pula dengan Emir. Ia juga terdiam. Menungguku membalas kalimatnya.

"Begini." Aku mengalihkan wajah setelah lama terdiam. Aku tidak punya nyali untuk menatap mata Emir lagi saat berkata, "Emir pasti tau lebah tertarik dengan bunga. Lalat tertarik dengan bau sampah. Laron tertarik dengan lampu." Suaraku semakin pelan semakin gugup, "Dan ada venus trap, Emir."

"Ya?"

"Aku venus trap." Aku menelan ludah, aku hampir saja menoleh menunjuk diriku sendiri dari atas kebawah sambil berkata 'Emir naksir aku ya?!' untungnya aku bisa mengerem reaksi spotan ku di detik terakhir dengan berkata ,"Dan Emir serangganya."

Seketika Emir mengangkat satu alisnya.

"Aku bener-bener berbahaya Emir."

Bukannya takut Emir justru mendengus, "Oh ya?"

Kegugupanku langsung hilang di gantikan rasa sebal. Aku sebal harus merasa seperti vampir payah yang sama sekali tidak seram. Aku sebal karena Emir tidak menganggap serius kalimatku. Ancamanku. Karena itu, aku berbalik badan kecewa. Lalu secepatnya terbirit-birit lari kabur meninggalkan Emir sambil berteriak, aku tau Emir mikir apa!!

Soalnya sepertinya aku memang tau Emir berpikir apa. Belajar dari apa yang kulihat selama ini dari keluargaku. Keluargaku memang serumpun venus trap, predator alami. Fisik kami memang di ciptakan untuk menarik mangsa manusia.

Emir kan manusia, secara naluri, ia sama seperti manusia lain. Walau emir memang dasarnya baik. Suka menolong. Tapi mempertaruhkan nyawanya untukku dalam keadaan sadar menawarkan diri, kurang lebih, sama saja cuma-cuma itu seharusnya tidak boleh.

Untungnya Emir pintar. Pada akhirnya ia pasti sungguh-sungguh mempertimbangkan kalimatku, karena selama seminggu kemudian, Emir benar-benar sama sekali tidak mengajakku bicara.

Itu bagus. Bagus untukku dan bagus untuk Emir. Dan selama aku masih kenyang. Mengabaikan Emir itu mudah. Semudah mengabaikan aroma darah teman-temanku.

Sayangnya waktu berlalu dan lagi-lagi rasa haus di tenggorokanku mulai menggerogoti. Perutku melilit terbakar. Aku haus setengah mati sampai rona pipi ku mulai memudar. Tubuhku mulai kalah padahal aku belum menemukan solusi.

Pagi ke sepuluh, Ayah ibuku terang-terangan khawatir. Bertanya-tanya kenapa aku selalu menunggu sampai wajahku pucat dulu baru memutuskan untuk berburu.

Itu yang mereka tau, aku menunggu detik-detik terakhir untuk berburu. Yang mereka tidak tau, aku masih anak mereka yang dulu, vampir payah yang tidak bisa apa-apa yang sebenarnya juga tidak tau cara berburu sampai diam-diam nyaris mati kelaparan.

"Jangan sampai ada orang yang melihatmu saat menggigit manusia Rona." Kata papaku, pagi ini beliau dengan sengaja mengantarku dengan mobil ke sekolah, "Apalagi sekarang kamu terlalu lapar kan? Jangan sampai lepas kendali. Jangan sampai darahnya berceceran. Jangan terlalu banyak dan harusnya kamu jangan sampai selapar ini."

Aku menatap wajah papaku. Papa dan mamaku bukan vampir jahat. Mereka kelihatan dingin, tegas, galak, jarang bicara seperti vampir pada umumnya.  Tapi aku tau, mereka peduli padaku.

Cara papaku bicara, cukup untuk membuatku mogok bicara. Hanya diam mengangguk padahal dalam hati aku berteriak, aku ingin minum kantung darah lagi. Aku tidak mau darah manusia. Aku tidak bisa menghilangkan ingatan mereka. Aku tidak tau harus bagaimana. Tapi aku takut sampai kehilangan senyum keluargaku.

"Kalau memang kamu tidak enak untuk meminum darah teman-temanmu di sekolah. Mau papa bawakan teman kantor papa ke rumah?"

Aku terperangah kaget, "Nggak. Nggak perluh. Jangan."

"Teman mama mu?"

"Nggak perluh papa."

"Atau papa minta kak Dante untuk mengajak kamu pergi berburu?"

Aku menggeleng keras-keras.

"Atau teman-teman adikmu?"

Anak kecil. Aku meringis ngeri. Darah yang paling tidak membangkitkan nafsu makanku, "Nggak perluh papa. Aku mau pilih sendiri yang aku mau."

"Bagus." Papaku menepuk pundakku, "Vampir kebanggaan papa..."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang