Aries POV
Tak terasa, hari silih berganti dengan cepat. Kini, gue tengah berkutat dengan chaos-nya fase kelas dua belas, yang mana fase ini menentukan apakah setelah lulus dari sini, gue layak lolos masuk kuliah perguruan tinggi negeri bergengsi atau sebaliknya.
Gue menghela nafas dengan berat. Buku-buku tebal yang merangkum materi untuk ujian masuk perguruan tinggi berada tepat di hadapan gue sebanyak tiga buku. Dua diantaranya adalah merupakan pemberian nyokap gue, sementara lainnya, merupakan pemberian orang yang gue taksir.
Rasyela Aldriana, namanya.
Sudah hampir tiga bulan ia tidak mampir ke rumah gue. Bahkan, buku ini saja diberikan ke nyokap gue dengan small notes bertuliskan, "hwaiting, kak aries!" Karena pas nyokap gue cerita, ketika cewek itu melihat rumah gue dari kejauhan saja, sudah membuatnya ingin menangis karena mengingat kepergian almarhum adik gue, apalagi sampai mengunjungi rumah ini? Bisa-bisa sedih yang mendalam itu kembali ia rasakan.
Gue melihat kedua tangan gue dengan tatapan kosong. Sore itu, adalah terakhir kali gue memeluknya dengan erat. Kami seakan-akan menumpahkan kesedihan yang sama. Dan disitu, gue merasa satu langkah lebih dekat dengannya, namun nyatanya, justru jarak mengambil andil lebih kuat sekarang. Walaupun gue tahu letak rumah Rasyela, namun sangat tak logis dengan tiba-tiba gue pergi ke rumahnya dan memeluknya sambil berbisik, "gue kangen lo banget, Syel."
"Aries?"
Mamah gue memanggil dari bawah. Sekarang, gue tengah berada di ruang tengah lantai dua. Bisa gue tebak, kalau bukan diperintah untuk mengangkat jemuran di lantai tiga, pasti gue diperintah untuk membeli sayuran yang berada di ruko depan perumahan.
"Ini loh ada Rasyela kesini!"
Gue melotot. Ini beneran?! Semesta seakan sedang berbaik hati dengan gue rupanya.
Tetapi, walaupun gue rindu setengah mampus, amat sangat tidak mungkin gue langsung memeluk cewek itu dengan erat. Memang gue siapanya? Paling dianggap hanya sebagai teman. Nothing special.
Gue berdeham, mengecek penampilan gue di kaca yang gue bisa bilang, ganteng seperti biasanya. Lalu ketika langkah gue mengantarkan pada gadis itu, betapa sudah tercium harum khas parfum strawberry miliknya. Jujur, gue jadi pengen meluk banget!
"Halo Kak Aries."
Rasyela tersenyum kaku. Ia datang dengan mamahnya, namun karena pastinya mamahnya sudah mengobrol ria dengan nyokap gue, kini kami berdua saling berhadapan satu sama lain.
Gue tersenyum. "Hai, udah lama nggak liat lo."
Ia meringis. "Eumm... Gue lagi disibukin sama ekskul akhir-akhir ini, Kak."
"Ohh, wow, lo ikut ekskul apa by the way?"
"Ekskul debat."
Gue mengangguk-angguk. Debat adalah salah satu kesukaan Isabella. Andai ia masih di sini, gue yakin ia bisa menekuni kesukaannya dengan sohibnya satu ini.
"Kabar lo gimana, Kak?"
"I'm fine, surely. Oh ya, btw thank you for the books, ya. Lo cukup perhatian sama gue ternyata." Gue menatapnya yang kini tengah tersipu malu. "Tapi kenapa lo nggak kasih ke gue secara langsung? Padahal gue ada terus loh di rumah."
"Oh, soal itu..." Dia terlihat memikirkan sebuah alasan. "Pengen sih, ngasih ke lo secara langsung, tapi gue selalu sibuk. Maaf ya, Kak."
"Nggak apa-apa, wajar kok itu. Tapi sekali lagi terimakasih, ya. Means a lot to me."
"My pleasure."
"Mau ngobrol di lain tempat nggak? Agak boring kalau ngobrol di sini." Gue langsung mengambil kunci mobil yang sudah siap sedia di saku celana jeans gue. "Wanna hang out with me?"
::—::
Author POV
"Gue anter lo ke rumah. Dan mulai sekarang, gue bakal nemenin lo. Kapanpun lo butuh."
Kata-kata Aries saat memeluk Rasyela kembali terngiang di benaknya kala mereka berdua telah sampai di sebuah kafe dekat rumah cowok itu. Kafe ini direkomendasikan oleh Alfathar, sohib Aries.
"Gimana kabar lo?" Aries membuka percakapan dengan canggung. Diam-diam, ia sangat ingin untuk mengobrol panjang dengan Rasyela.
"So far, sedikit membaik. Kalau lo sendiri gimana, Kak? Pasti berat ya, buat ngikhlasin yang udah terjadi."
Aries sedikit kaget, karena walaupun mereka sudah tidak bertemu selama tiga bulan, Rasyela masih memberikan simpati kepadanya.
"Gue udah cukup mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Walaupun masih sedih tentunya, tapi ya, life must go on, 'kan? Apapun yang terjadi, gue bakal tetap tegar kedepannya. Semoga."
Rasyela mengangguk-angguk. "Gue setuju sama lo, Kak. Mau nggak mau, kita harus mengikhlaskan supaya mereka yang meninggalkan kita merasa tenang. Tapi nggak bisa dipungkiri, ada hari dimana semesta terasa nggak berpihak sama kita, dan terkadang gue merasakan hal itu. Jadi, ketika lo lagi nggak baik-baik aja, I'm all ears, Kak, kapanpun lo butuh temen cerita." Ia tersenyum manis. "Karena gue merasa kita lagi berada luka yang sama, jadi gue rasa bisa paham sama perasaan-perasaan sedih yang lo rasakan."
Aries terdiam sejenak. Tak bisa ia singkirkan perasaan hangat yang merambat di hatinya. Seperti ia merasa bahwa Rasyela ingin terkoneksi lebih dekat dengannya, yang membuat diam-diam dirinya sangat amat senang.
"Kapanpun gue boleh telfon lo berarti?"
"Iyap! Nggak apa-apa. Asal elo yang telfon, Mamah ngebolehin kok, Kak."
Aries mengerutkan dahi. "Memangnya cowok selain gue nggak boleh telfon lo?"
"Kata Mamah, kalo intens atau kayak dengan tujuan PDKT sama gue, nggak boleh. Kecuali elo, katanya."
Tunggu sebentar, ini maksudnya Mamahnya ngasih lampu hijau ke gue buat macarin anaknya apa gimana? Batin Aries dengan pikiran yang sudah tak karuan.
"Berarti..."
Mamah lo ngebolehin pacaran sama gue nggak sih?
"Maksudnya bolehnya telfon sama gue doang?"
::—::
author notes:
pdhl gw ga sibuk2 amat tapi knp late update bgt ya perasaan😭tapi thank you so much yang udah ngevote dan baca cerita iniiii, wuf you💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak Tanpa Arah
Romanceaphroditelouvre proudly present; Jarak Tanpa Arah ࿐ྀུ ❛❛Mengenalmu secara tidak sengaja, menyayangimu tanpa kecewa, namun mencintaimu dengan lara.❜❜ Dengan masa lalunya yang seringkali diputus secara sepihak oleh mantan-mantannya, Alfathar sudah tid...