Dua - Manusia kekar

30 2 0
                                    

    Kala gelap saat ku pandang senyummu terang, tajam tak berperangai, terpaku diam tak berkutik.

Riuh kudengar suara dalam kepalaku memanggil sumber dari senyuman itu. Dimanakah dia? gelapku kembali merekah, aku butuh terangku dan itu hanya terdapat pada karya indah itu.

Bagaimana bisa sang surya menghancurkan kehidupan dalam bumi? di kala napas kehidupan hampir menipis? bukankah sang surya tersebut merupakan sumber dari kebahagiaan makhluk-makhluk yang bernapas? lantas kemana perginya bahagia itu jika sang surya berkhianat?

Oh sang surya

Sakitku hangus oleh terangmu, harus cari seberapa jauh dan seberapa dalam kegelapan ini agar bisa kutemukan puing-puing dirimu yang hilang dimakan olehmu sendiri?

Darahku sudah hampir membeku, membiru lebur dalam kegelapan.
Jika aku bisa berteriak, aku akan terjun dan berteriak memanggil namamu bersahutan dengan elemen lain.

Api, angin, air, tanah, yang juga ikut serta memanggil namamu.

Saat kutatap mata hitamku, lubuk jiwaku berkata bahwa aku tidak seburuk itu untuk membuka mataku dalam gelap.

Bukankah diriku juga gelap? seharusnya aku dapat lebih mudah bersatu dengan gelap dibandingkan kau wahai sang surya.

Terlintas dalam benak hatiku, gelisah yang tak pernah ku rasakan sebelum nya entah apa rasa ini, darimana datangnya? ini menghunjam seperti pisau yang tertusuk pada salah satu bagian organ tubuhku.

Gelisah, gundah, sakit...

Ayolah pergi, aku membenci rasa ini.

- - - -

    Suara gaduh terdengar dari luar bus yang sedang ku tumpangi saat ini membuat diriku bertanya sendiri, apa yang terjadi?
Tak hanya aku yang ingin tahu darimana sumber suara itu, tetapi seluruh penumpang dari dalam bus saling bersahutan tanya jawab, baiklah rasa penasaran ku lebih tinggi dari rasa acuhku.

Aku membelah lautan manusia dari dalam bus, berjalan menuju ke tempat dimana supir bus mengemudi, aku harus berkelahi dengan para manusia yang memiliki tinggi lebih dari aku. Sebenarnya aku ingin bertanya pada salah satu wanita paruh baya yang tampak tenang di tempat duduk nya, sementara sisanya sangat ingin mengetahui apa yang terjadi.
Tetapi... Ah! aku sangat malu untuk bertanya, payah sekali sih Ana.

Sampai dimana manusia memiliki rasa penasaran ini sudah mulai mereda, satu persatu dari mereka kembali pada tempat duduknya dan saat inilah aku melangkahkan diri untuk maju dan melihat nya.

Ternyata ada seorang pemuda yang ingin mencoba bunuh diri. Para warga sedang berusaha membujuk pemuda itu agar dapat diraihnya tangan pemuda tersebut, namun nyatanya para warga terlalu sulit untuk meraih tangan korban atau bahkan membujuknya agar tidak terjun dari jembatan paralayang ini, ditambah hujan pada siang ini sangat lebat membuat jalan raya menjadi macet, langit pun benar-benar gelap.

Aku menghampiri supir segera meminta izin untuk membantu para warga membujuk pemuda itu.

"Pak, boleh tolong buka kan pintu bus nya? Saya turun disini"

"Para penumpang harus turun ketika ada halte, bukankah kamu tahu bagaimana peraturan yang berlaku pada bus ini?"

Aku menghela napas panjang, berharap bisa menyampaikan kata-kata ku dengan baik pada supir yang sangat mematuhi peraturan itu.

ARNALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang