"Papah lo pulang, Chin."
Chindy tersentak, mulutnya terdiam, dadanya terasa sesak, seperti di hantam beribu-ribu jarum, persis mengenai titik vitalnya. Jemari tangannya nan mulus itu bergetar, sedetik kemudian, tangannya di genggam Kala. Terlihat sang gadis mencoba menguatkan Chindy.
Tatapan Chindy kosong, ia bingung harus bagaimana. Mendengar kabar papahnya ada disini, terkesan aneh dan mengerikan dalam satu waktu. Apa maunya papah Chindy? Apa mau mereka?
Air mata keluar secara tiba-tiba, membasahi wajah tampan Andre, ia menghampiri Chindy, memberikan ponselnya.
"P-papah lo mau bunuh diri."
Tubuh Chindy gemetar, menatap pesan yang di kirim Dilan ke Andre terlihat jelas foto papahnya sedang berdiri di atas gedung tinggi. Chindy tak tau, kenapa papahnya hendak melakukan itu, yang pasti di chat ini, Dilan berkata kalau semuanya sudah selesai. Mulai dari teror, saudara tiri, hingga papahnya yang menghilang pun sudah di bawa ke kediaman rumah Dilan.
Chindy menatap getir, sekilas bayangan tentang ia dan papahnya terlintas. Banyak kenangan yang terlihat.
"Ayo pulang, Chin. Jangan bawa temen lo, apalagi Kala. Ini urusan keluarga kita."
Mulut Chindy benar-benar kelu untuk bicara, ia menatap Kala dengan dalam. Tanpa ucapan apapun, hanya terlihat senyuman tipis, tiba-tiba saja Chindy mencium dahi Kala.
Kala tentu terkejut, ia melihat Chindy berjalan ke mobil milik Andre yang terparkir di depan pekarangan rumah Kinar. Punggung belakang kekasihnya sudah tak ada, seiringnya Chindy yang masuk ke dalam mobil, di ikuti Andre menuju ke kursi pengemudi. Mobil mereka kian melaju meninggalkan pekarangan rumah Kinar.
Kinar menepuk bahu Kala, "Udah, jangan terlalu di pikirin. Chindy aman kok sama Andre."
"Iya, kak, bener. Kamu balik aja, istirahat. Motornya biar besok aja kita benerin sama-sama."
Kala hanya diam, responnya sama seperti Chindy. Mulutnya kelu untuk bicara. Pikiran Kala mengarah ke pacarnya, ia takut gadis itu kenapa-napa karena ia tau, Chindy memiliki hati yang rapuh.
***
Di dalam mobil, terisi keheningan yang melanda. Chindy terus diam menatap jendela mobil, pikirannya terlalu adu perang. Andre makin melaju kencang dengan mobilnya.
"Jangan ngebut, njing! Gue ngga mau mati muda."
Perlahan, Andre melambatkan laju gas mobilnya. Mobil melaju pelan, jalanan ini semakin mendukung suasana tegang di dalam mobil yang hening.
Pikiran Chindy berkelana. Belum habis teror yang ia dapati, sekarang papahnya ada disini, entah apa maksud dan tujuannya pria itu berani menginjak kaki disini.
"Gue ngga paham, Chin. Kenapa papah lo kesini."
"Gue juga ngga paham, Ndre."
"Gue takut.."
Kepala Chindy menoleh ke kanan, menatap Andre yang fokus berkendara, "Takut kenapa?"
"Ngga tau. Perasaan gue ngga enak," Tangan Andre menarik persneling, ia memegang setir kemudi, membelokkan mobilnya ke kiri, "Kayaknya papah lo kesini ada hubungannya sama yang neror lo."
"Pasti. Ngga mungkin ngga ada hubungannya."
Tubuh Chindy tersentak. Tak tau mengapa, nafasnya tersengal-sengal, ia susah payah menghirup udara. Atensi Andre terganggu, wajahnya kebingungan melihat Chindy yang tiba-tiba seperti ini.
"Chin? Lo kenapa?"
Tak ada respon dari Chindy, ia sedari tadi menarik nafas secara dalam. Wajahnya berkeringat, padahal AC mobil sudah dingin. Tangan Chindy gemetar, seluruh tubuhnya ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
11 MIPA 3
Teen Fiction[Cerita di deskripsi nyambung ke chapter 1] Pernah gak sih kamu naksir sama kakak kelas yang ngambil jurusan MIPA dan ternyata ada pelajaran matematika lanjut? Otomatis dia pinter matematika dong? Jelas. Ini tentang Kala yang naksir sama kakak kelas...