Brak!
"Cherly." peringat Argio ke cewek yang menutup keras pintu mobilnya.
Cherly berlalu begitu saja mengikuti sang Oma menuju gundukan tanah yang memilik nama di nisan.
"Selamat siang Papah, Crisya, Kenzo, dan Dariel."
Cherly bukan lagi kegundukan tanah milik Opah, mamahnya, papahnya. Melainkan sosok yang seharusnya ada buat menjaganya dari manusia jahat.
"Abang, kangen. Cherly mau sama Abang aja," gumamnya.
Retta dan Argio duduk di sisi makam bertulisan Adrian.
"Cherly mulai berdoa, sayang."
Cherly memeluk nisan Dariel selayaknya memeluk tubuhnya.
Beda 3 tahun tidak membuat Cherly dan Dariel bermusuhan layaknya adik kakak pada umumnya. Mereka lebih saling menyayangi dan menjaga satu sama lain menggunakan cara lembut.
"Abang, jemput Cherly dong."
Cherly tersenyum getir setiap mengingat momen masa kecil bersama Dariel.
Papah, mamah, dan Daniel terlalu baik sehingga Tuhan mengambil mereka lebih cepat dari dugaan Cherly.
"Abang," panggil Cherly terisak.
Wajahnya dibiarkan mengenai nisan Dariel. Air matanya mengalir mengikuti ukiran nama Darielio.
Retta yang tidak kuasa melihat cucunya bersedih, ikut bergabung dan memeluk tubuh Cherly. Mengelus rambut dan mengusap punggungnya.
"Udah ya sayang. Abangnya nangis liat kamu sedih kayak gitu."
Cherly menggeleng kuat.
Sedangkan Argio berdiri memayungi dua perempuan berbeda generasi agar tidak kepanasan.
"Mah, ke mobil duluan aja. Biar Gio yang seret dia."
Retta menggeleng. Tidak akan mengizinkan siapapun menorehkan luka lebih dalam ke Cherly, sekalipun Argio.
"Kamu ke mobil duluan aja. Payungnya biar sama Mamah."
Argio setia berdiri memayungi Retta dan Cherly yang belum memberhentikan tangisannya.
Huft!
Akhirnya Argio berjongkok di sisi Cherly yang menyembunyikan wajah di bahu Retta.
Karena tidak betah melihat rambut panjang Cherly lepek akibat keringat dan sinar matahari. Argio dengan suka hati mengikatkan rambut panjang itu menggunakan karet gelang hitam yang melingkar dipergelangan nya.
"Udah nangisnya?"
Cherly menunduk mengusap air matanya.
"Ma-"
"Kenapa nangisnya gak sampai malam aja?"
Maksudnya bicara gitu apa ya? Pria itu mau berjongkok menemani Cherly sampai malam gitu?
"Maksud Om apa sih? Kayaknya dimata Om tuh, aku serba salah ya. Aku ada salah? Aku minta maaf. Tapi bisa gak berhenti salahin aku?"
Cherly lagi sedih loh. Bisa-bisanya Argio sarkas ke dirinya tanpa ada rasa kasihan melihat mata sembabnya.
"Kamu selalu salah dimata saya."
Boom!
Satu kalimat yang membawa Cherly sadar ke dunia nyata bahwasanya cewek itu hanya sendiri di dunia ini tanpa ada yang menyayanginya sebesar rasa sayang papah, mamah, dan abangnya.
"Gio," peringat Retta.
"Cherly sudah besar, Mah. Jangan dimanja terus. Nanti mendarah daging."
Cherly mengusap air matanya cepat. Tidak ada gunanya menangisi perkataan Argio. Tapi maaf, ternyata air matanya jatuh juga.
"Terima kasih udah jujur ke aku. Tapi Om harus tau kalo aku gak pernah merengek manja minta ini-itu ke Om sama Oma. Aku sadar kok sama posisi aku sebagai cucu dan ponakan. Aku sadar, Om."
Cherly menunduk menetralkan nafasnya.
"Hidup di antara kalian aku bersyukur banget. Karena masih ada yang sayang dan mau membiayai pendidikan aku dari SD sampai kuliah. Tapi mungkin mulai sekarang aku ma-"
"Gak usah. Jangan bicara seperti itu, Cherly. Oma lakuin semuanya buat kamu. Oma gak merasa terpaksa dan terbebani merawat kamu. Oma sayang kamu melebihi kamu sayang ke Oma. Hadirnya kamu anugrah buat Oma. Gak usah dengerin omongan Gio," potong Retta. Tidak ingin mendengarkan lebih jauh ucapan aneh cucunya.
Retta memeluk erat tubuh lemah Cherly di depan Argio.
Wanita itu membisikan kata-kata penenang ke Cherly.
Lain hal Argio yang merasa tenggorokannya butuh sebotol air dingin.
"Ayo ke mobil. Di sini panas."
Retta menuntun Cherly bangkit. Berjalan pelan ke mobil diiringi payung di atas kepalanya oleh Argio.
"Cherly mau duduk sama Oma."
Belum masuk ke kursi tengah, pedasnya perkataan lebih dulu memasuki telinga Cherly.
"Saya bukan supir. Duduk di samping saya."
Retta menggeleng kecil ke Argio yang suka sekali menimbulkan peperangan, "Biar Mamah aja."
Argio menggeleng. Kekeuh. Pria itu tidak bisa dibantah.
"Cherly, duduk di samping saya. Apa kurang jelas perkataan saya?"
Fine.
Cherly membuka kasar pintu mobil. Lalu duduk seraya menyandarkan kepala ke jendela mobil. Memijit pelipisnya yang pusing efek samping bersebelahan Argio.
"Pakai sabuk pengamannya."
Tidak kunjung dilakukan Cherly.
"Say-"
"Susah. Seret." Bohongnya. Terlalu lemah menarik sabuk pengamannya. Tenaganya habis dibuat menangis.
Argio mendekatkan tubuhnya ke Cherly yang membuang muka darinya.
Kemudian meraba mencari pengait safe belt di sisi kursi Cherly. Tapi tidak menemukannya.
"Safe belt nya mana?"
Cherly terpaksa ikut menunduk dan mencari pengaitnya sedangkan tatapan Argio tetap lurus ke Cherly.
"Ini?"
Kali ini Argio menunduk dan mengambil alih pengaitnya dari Cherly.
Klik!
Cherly bisa bernafas lega, sedangkan Argio langsung mengambil botol air lalu meminumnya cepat.
Disisi lain ada Retta yang memperhatikan gerak-gerik putra bungsunya. Bibir tidak berbicara, tetapi mata mengetahui semuanya.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
Teen Fiction"Perhatiannya dia itu gak lebih dari seorang Om ke ponakan. Apalagi ibu lo, kakaknya dia. Jadi, apa yang lo dapatin dari dia itu gak jauh dari rasa sayang seorang adik ke anak kakaknya." ... "Aku rela jadi simpenan Om Gio." © narrberry_ , 2024