22

6 2 6
                                    

"Kalau gue yang sakit, apa lo akan se-khawatir ini?"

- Arsenio Daniel Mahendra




“Woy, Sen!” teriak Keyla, menarik perhatian Arsen yang tampak termenung dalam lamunan.

“Akh, sorry. Gue melamun, gak sadar kalau lo manggil,” celetuk Arsen, menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. Ia tampak sedikit cemas, takut jika Keyla akan marah padanya lagi.

“Yehh, karena gue udah janji, jadi gak bisa marah, kan?” sewot Keyla, memukul pelan dada bidang Arsen.

“Lo boleh marah sama gue, tapi tolong jangan benci gue.”

“Gak akan, gue udah gak benci lo semenjak kita udah janji,” jawab Keyla dengan keyakinan, sementara Arsen menghembuskan napas lega.

“T-tapi kalau lo tau hal ini, lo b-bakal benci gue, Key,” ucap Arsen, merasa hari ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama dipendam.

“Hal apa? Kenapa lo jadi aneh gini sih?!” Keyla bingung, melihat perubahan sikap Arsen yang tampak ingin mengungkapkan sesuatu tetapi terhalang oleh rasa takut.

“Karena gue—”

***

"GAWAT, TUAN!!" Jeck tiba dengan raut muka panik, napasnya tak beraturan ketika ia berdiri di hadapan Aryo.

Aryo, yang sedang menikmati rokok dengan santai, merasa ketenangan yang baru saja dinikmatinya pecah akibat kedatangan Jeck. Suasana menjadi tegang seketika.

“Apa sih kamu, dateng-dateng ribut! Gak liat saya lagi nyantai?” Aryo berkata dengan nada kesal, merasa Jeck bisa saja berbicara pelan tanpa harus berteriak dan menarik perhatian seluruh orang di sekitarnya.

“I-itu, tuan, anu…” Jeck tampak masih syok, mulutnya susah sekali untuk berbicara, napasnya masih terengah-engah.

“Ngomong yang jelas, saya gak ngerti kamu ngomong apa!” Aryo, yang mulai kehilangan kesabaran, melemparkan rokoknya sembarangan. Ia paling benci harus bertanya-tanya dan merasa semakin marah.

“A-anu, tadi…”

“D-dompet saya kecopetan, bos.” Jeck, yang masih gugup, menunduk sambil berbohong. Ia memilih untuk tidak memberitahu apa yang baru saja dilihatnya, karena belum tentu pria yang ia lihat adalah Arsen, bisa jadi itu hanya seseorang yang mirip.

“Ck, dasar bedebah! Lupakan dompet jelek kamu itu. Saya bisa menggantinya dengan yang jauh lebih baik.” Nadanya terdengar angkuh, padahal dompet asli Jeck masih ada di saku celananya—ini semua hanya alihan belaka.

“S-sungguh? Kyaa, bos emang baik tapi sayang banyak marahnya.” Jeck menggerutu dan mencoba memeluk Aryo, tapi langsung dicegah oleh Aryo. Tingkahnya yang kekanak-kanakan membuat Aryo merasa risih.

“Lepasin! Singkirkan tanganmu atau saya patahkan!” ancam Aryo, membuat Jeck langsung menarik tangannya dengan cepat.

“Jangan gitu dong, bos. Kalau tangan saya patah nanti gak bisa peluk istri di masa depan,” Jeck mencoba memelas.

“Istri masa depan, istri masa depan. Calon aja belum ada, jangan banyak halu!” Aryo tak habis pikir dengan ucapan Jeck. Di usia 35 tahun, tak ada gadis yang mendekatinya, padahal wajahnya tidak buruk-buruk amat.

“Daripada bos mikirin nyonya terus, padahal dia udah bahagia sama yang lain,” sindir Jeck pelan, namun masih terdengar oleh Aryo. Akibatnya, gajinya terkena potongan 25 persen. Jeck merasa sangat malang.

CARAPHERNELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang