Part 17

158 39 6
                                    

Langkah kakiku sempoyongan. Nafasku terengah-engah. Aku ikan yang menggelepar dalam air. Lupa cara berenang.

Setiap sepuluh langkah. Aku berusaha untuk bertahan tidak menarik nafas dan ketika nafasku habis aku menarik nafas lagi sedalam-dalamnya. Secepat kilat. Kembali berjalan menyusuri lorong. Setengah mati mengabaikan siswa-siswa lain yang berjalan bersamaan denganku di lorong.

Sebenarnya, aku ingin langsung kabur ke ruang UKS. Tapi pagi ini ruang UKS diisi beberapa guru BK yang tidak tau sedang sibuk apa. Guru BK tidak masuk dalam menu makanku dan mereka, -guru adalah sejenis menu terakhir yang baru akan kumakan kalau semua manusia sudah berubah jadi zombie.

Aku sudah mencoba berbalik arah. Ingin kembali melewati gerbang sekolah. Tapi gerbang sekolahku sudah di tutup. Bel masuk sudah berbunyi dan aku bingung harus bagaimana selain masuk ke dalam kelas.

Lagi-lagi aku merasakan siksaan ini. Siksaan yang paling kubenci. Suka tidak suka aku memasuki kelasku yang berbau sangat harum. Wajah teman-temanku berubah samar. Aku tidak fokus lagi dengan penampilan mereka tapi fokus pada apa yang jauh ada mengalir pada mereka, darah.

Aku menelan ludah. Mau menangis. Saat lapar, teman-temanku lagi-lagi seperti menu restauran berjalan dan aku benci pada diriku sendiri karena tanpa sadar aku mulai me rating aroma darah teman-temanku dari yang tampaknya terenak sampai yang paling tidak enak.

Tapi dari mereka semua ada satu orang yang menarik minatku lebih dari yang lain. Keinan. Teman laki-laki sekelasku yang duduk di pojok kiri dekat pintu belakang kelas. Ia bukan menu paling enak. Aroma darahnya standar nasional. Biasa aja. Tapi darahnya yang sepertinya paling affordable untukku. Seperti menu kaki lima yang terjangkau, semua menu rasanya hampir mirip. Dengan moto yang penting kenyang, kebersihan soal terakhir. Yang penting perut harus kuat tahan banting.

Keinan satu-satunya anak laki-laki yang tinggi badannya sama denganku. Seratus enam puluh senti. Disaat semua teman sekelasku yang lain terutama laki-laki tinggi badan rata-rata nya lebih dari seratus tujuh puluh. Keinan juga paling rajin tidur di kelas, kurus, jarang bicara dan sepertinya ia punya masalah gagal fokus di kelas.

Aku tidak punya bayangan bagaimana caranya menggigit Keinan tanpa masalah tapi seenggaknya aku sudah berencana. Rencana fiktif untuk mengelabui pikiranku. Membuatku tetap sibuk menyusun rencana-rencana konyol yang semuanya sebetulnya, aku sadar, tidak masuk akal, dan bahkan lebih masuk akal aku menculik kucing penjaga sekolah daripada menggigit Keinan.

Aku berhasil melewati tiga jam pelajaran hingga memasuki jam istirahat pertama. Aku bangga pada diriku sendiri. Langkah kecil ini berarti besar. Sebesar tekadku tidak menggigit Rosa yang terus  menggelendotiku dengan wajah khawatir dan berkali-kali mengajakku makan di kantin.

Akhirnya aku mengangguk mengiyakan, setelah berkali-kali menolak. Karena sebenarnya tidak ada bedanya juga tetap duduk di kursiku menunggu jam istirahat selesai atau duduk di kantin. Toh sama-sama melihat manusia seperti deretan menu prasmanan.

Aku bangkit berdiri dari kursi. Tapi langkahku tidak tegap. Aku terhuyung. Mundur dua langkah kebelakang. Menabrak panggung salah satu teman sekelasku yang berlari melewati lorong meja kelas.

"Rona!?" Suara teman sekelasku, Daffa bergumam. Ia menahan punggungku. Aku reflek menoleh kebelakang. Ingin mengucapkan terimakasih. Tapi aroma tubuh Daffa mendadak menyeruak. Mataku langsung terfokus, lelehan keringat di lehernya. Rambutnya yang basah keringat dan urat nadinya yang berdetak pelan. Daffa kurang lebih seperti Rosa. Gurih Memikat. Menggoda. Lebih tepatnya manusia manapun sekarang kelihatan enak di mataku.

Jemariku terangkat. Mataku berubah kosong. Aku nyaris saja menggapai kerah kemeja Daffa, menariknya mendekat kalau bukan karena seseorang mendadak menarik pipi kananku.

Aku tersentak. Kesadaranku kembali. Aku menelan ludah shock. Jantungku berdetak sangat keras sampai aku mau muntah.

"Rona?" Disampingku satu tangan Emir mengangkat buku pelajaran sementara satu tangannya yang lain berhenti menarik pipiku untuk menarik pergelangan tanganku, "Bisa bantu aku ajarkan soal ini sebentar?"

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang