8

147 39 4
                                    

Bibir itu begitu lembut dan begitu kenyal. Nuwan jadi menatap bibir Raza yang sedang asik memakan kue yang diberikan Nuwan. Apakah bibir itu memang selembut itu. Saat Raza menatapnya, Nuwan segera mengalihkan pandangannya ke arah teh. Meraih satu cangkir dan segera meneguknya. Mengabaikan panas teh yang membakar lidahnya. Untung panasnya tidak sampai membuat dia malu.

Raza yang tahu reaksi gadis itu tidak biasa segera menyembunyikan senyumannya. Dia memang sengaja melakukannya. Membuat Nuwan kelabakan seperti dirinya. Tidak boleh hanya dia yang terusik. Si pengusik juga harus terusik sepertinya.

"Kakak, minum tehnya." Nuwan meletakkan cangkir teh ke depan Raza. Dia tidak memegangnya lagi dan segera menarik tangannya. Takut Raza memegang tangannya lagi dan membuat dada Nuwan berdebar.

Raza mencicipi tehnya. Dia mengangguk kemudian menyatakan kebenaran dari perkataan Nuwan.

Mereka berkendara dalam diam. Sibuk dengan urusan masing-masing. Nuwan sibuk memandang keluar dengan menyingkap kain jendela. Menatap dunia yang begitu indah dan memberikan kenyamanan pada matanya.

Raza sendiri sibuk dengan bukunya. Dia membaca meski tidak terlalu fokus karena harus mengawasi Nuwan. Jangan sampai ada senjata yang menyasar ke keretanya dan mengenai Nuwan.

Yang bijak dilakukan adalah tidak membuat Nuwan duduk di dekat jendela. Untuk melindunginya. Tapi dengan kebahagiaan yang muncul di wajah Nuwan hanya karena angin segar menerpa wajahnya, sudah membuat Raza nyaman melihatnya dan tidak tega merenggut kebahagiaan itu.

Seperti dugaan Raza, bahwa Nuwan tidak pernah dibiarkan melihat dunia luar. Itu makanya kecantikannya cukup tersembunyi dengan rapat.

"Apa Harmis memperlakukanmu dengan buruk?" tanya Raza beberapa saat kemudian.

Nuwan menatap Raza lewat bahunya. "Ayah? Tidak. Dia baik pada Nuwan. Dia selalu membelikan hadiah. Tapi jarang ada di rumah. Ayah harus menjaga perbatasan. Ibu pikir ayah seperti itu karena Nuwan. Nuwan bintang bencana jadi bahkan ayah tidak pernah bisa ditugaskan di pusat kota. Hadiah yang dibeli ayah selalu diambil Mora. Nuwan tidak memiliki banyak barang tersisa dari ayah."

"Jadi pelakunya wanita itu?"

"Ibu? Pelaku apa?"

"Bukan apa-apa. Bintang bencana sepertimu cukup menarik."

Nuwan yang mendengarnya tidak tertarik lagi menatap keluar. Dia menyingkirkan meja kecil itu dan segera berlutut di depan Raza yang sedang duduk dengan paha terbuka. Gadis itu menyelipkan tubuhnya di sana dan menatap mendongak pada Raza yang menelan ludah dengan susah payah. "Di mana Nuwan menarik?"

"Tentu saja karena kau bisa membuat mereka semua takut padamu. Bukankah bintang bencana biasanya tidak mau didekati orang lain?"

"Kalau bintang bencananya disiksa maka tidak akan ada bencana. Itu makanya Nuwan banyak luka."

Wajah Raza gelap. Dia menyentuh pipi lembut Nuwan. "Jadi itu membuat wanita itu selalu menumpahkan kesalahan padamu? Karena dengan menyiksamu maka bintang bencana yang ada di dirimu tidak akan sekuat biasanya?"

Nuwan mengangguk. Dia mendengar itu langsung dari dukunnya dua tahun yang lalu. Dukun mengatakan kalau ibunya sudah melakukan hal yang tepat dengan tidak memberikan kasih sayang dan menyiksa Nuwan. Dengan begitu bintang bencana itu melemah dan sekarang kekuataannya mengecil. Maka dari itu tidak ada tragedi lagi di keluarga Harmis.

"Kurasa bintang bencananya akan mulai memiliki kekuatan sekarang," ucap Raza.

"Kekuatan?"

"Ya. Karena kau keluar dan menyerap kesialan dari banyak orang maka bintang bencana itu akan segera mengumpulkan kekuatannya. Kau harus bersiap-siap."

Nuwan memiringkan kepalanya tidak mengerti. Tapi gadis itu harus menahan pertanyaannya saat kereta tiba-tiba saja berhenti dengan wajah Nuwan yang jatuh ke paha Raza. Membuat pria itu melotot sebab kepala Nuwan membentur sesuatu yang harusnya tidak pernah diusik. Sesuai dugaan Raza, benda miliknya mulai bangkit dan segera Raza menarik Nuwan ke sisinya untuk duduk. Raza menenangkan diri dari pikiran kotor yang memenuhi kepalanya. Berusaha mengabaikan segala bisikan-bisikan erotis yang seperti siluman menggoda.

"Vargas, berikan alasan yang cukup masuk akal agar kau tidak kehilangan kepala orangg-orangmu. Kenapa kau berhenti!?" seru Raza dengan emosi memuncak.

Nuwan menatap Raza dengan bingung. Air wajah pria itu sudah berubah. Apa hanya karena berhenti Raza akan semarah ini?

Vargas menyibak kain jendela kereta. "Yang Mulia, anda harus melihat sendiri."

Wajah Raza dialiri hitam pekat. Dia mengibaskan jubah kebesarannya dan meninggalkan Nuwan tanpa mengatakan apa pun.

Tidak mau ditinggalkan dalam kegelapan, Nuwan bergerak ikut keluar dari kereta. Menemukan banyak sekali orang berkumpul di depan sana sampai kereta tidak memiliki jalan lewat. Ada pasar di depan tapi jika pasar biasa, tidak akan sampai menghalangi jalan.

Yang membuat Nuwan tertegun adalah beberapa saat kemudian dia melihat semua orang berlutut ke tanah. Nuwan mendekat dan berdiri di sisi Raza.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya gadis itu dengan penasaran.

"Ada keluarga kerajaan yang datang. Entah itu pangeran kedua atau malah kaisar sendiri," ucap Raza menjelaskan.

Nuwan yang mendengar segera hendak berlutut. Tapi Raza menahannya. Meraih lengannya dan membawanya kembali berdiri. "Kakak, kalau pangeran kedua atau kaisar melihat aku masih berdiri, maka aku bisa dipenggal. Kakak mau aku mati?"

"Kau tidak akan mati selama aku masih hidup. Dan Ryuu mau pun Race tidak pernah mengatakan akan datang ke tempat ini. Jelas bukan mereka."

Wajah Nuwan kebingungan akhirnya.

Vargas yang sudah selesai mencuri dengar datang ke arah Raza. Dia tampak pucat.

"Ada apa? Sungguh kakak-kakakku?"

"Bukan. Pangeran Ketiga."

"Hah?" Nuwan menatap Vargas dengan bingung. "Ada pangeran ketiga selain kakak?"

"Tentu tidak. Tapi ada yang mengaku," jelas Vargas.

"Siapa yang berani sekali mengaku sebagai kakak?" Nuwan rasa siapa pun itu tidak sedang ingin membuat lehernya utuh.

Raza tidak mengatakan apa pun, dia hanya melangkah dan mulai menyibak orang-orang yang berlutut. Bahkan ada yang diinjak tangannya yang membuat beberapa teriakan terdengar. Lautan manusia itu segera habis diijak oleh Raza demi memenuhi langkahnya tanpa hambatan. Kemudian mereka tiba di depan seorang pria dengan jubah kebesaran yang hampir sama dengan Raza. Hanya saja jalinan emas pada jubah itu agak memudar. Jelas itu hanya mirip tapi jauh dari kata sama.

Pria yang mengaku sebagai pangeran ketiga dengan dua pengawalnya itu segera menunjuk ke arah Raza tanpa mengenal wajah pangeran sama sekali.

"Siapa kau berani menyakiti rakyatku?" tanya pria dengan wajah biasa saja itu. Tidak ada darah kerajaan di wajahnya dan tidak ada wibawa sama sekali yang harusnya dimiliki para bangsawan. Hanya kalangan rendah yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah yang akan percaya dia pangeran ketiga.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa ya
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang