"Tetap dilingkaran Bapak, An."
Anna memandangi pantulan dirinya dalam cermin. Memandangi dirinya yang sedang memegangi kalung yang melingkar dileher. Kalung yang merupakan hadiah dari pujaan hati nya.
Anna mengeraskan rahangnya. Ucapan Theo bagai radio rusak yang terus berputar ditelinga nya. Memastikan Anna tidak akan pernah lupa tiap kata.
Anna menarik napas pendek, tangan nya berpindah meraih meja, tatapan Anna pun beralih ke lantai. Dia benar-benar merasa gundah.
Apa yang menjadi prioritasnya sekarang?
Perasaan nya?
Politik?
Akreditas Anna sedang dipertanyakan. Apa dia akan mengorbankan semua apa yang dia punya demi bersama seorang Perwira yang takkan pernah bisa selalu ada untuknya atau Nurani dan ketekadan nya akan dia gunakan untuk bermain di Politik saat ini.
Ada banyak orang yang bergantung dengan Anna tapi Anna,
Menggantungankan semua harapan nya pada Theo.
Bersama Bapak artinya Anna melawan prinsipnya, walau itu membuat Anna tetap bersama Theo. Tapi jika bersama Om Candra, artinya Anna bersama ribuan rakyat untuk melawan Bapak dan meninggalkan Theo sendirian.
Apa Anna akan sanggup melihat Theo dari sisi seorang lawan?
Tapi pertanyaan yang lebih penting, Apa Anna akan sanggup melihat orang-orang yang berharap padanya menatapnya kecewa?
Ponselnya sejak tadi terus berbunyi,
Panggilan demi Panggilan datang. Entah siapa saja, dari partai mana dan koalisi siapa. Semua menyerbu Anna, menjanjikan banyak hal, menjamin banyak hal, menawarkan banyak hal agar Anna mau menunjukkan dukungan nya pada pihak mereka. Dan, darimana mereka mendapatkan nomornya.
Anna bukan anggota partai manapun tapi entah kenapa semua politikus berharap pada nya seolah-olah kemenangan ditentukan oleh dukungan nya.
Citra baik yang tak sengaja ia ciptakan di hadapan Masyarakat membawanya pada pinggir jurang saat ini. Ditambah semua tindakan nya dianggap sebuah ketulusan murni dari anak pejabat dan keengganan Anna terlibat acara politik sang Ayah menambah nilai plus. Membuat sugesti para pemilih bahwa akan memilih siapapun yang akan ia dukung.
Lalu tatapan Anna beralih pada map biru yang tergeletak hambar di atas nakas.
Tertera jelas, staff negara dilarang menunjukkan dukungan nya, staff negara harus bersifat netral. Jika Anna memilih untuk pergi dengan status Diplomatnya, rasanya Anna seperti pengecut yang lari dari Medan Perang. Semua citra baiknya di mata Masyarakat pasti langsung hilang dan Anna tak ubah seperti pecundang kelas kakap.
Semua mendesak Anna,
Anna harus berhati-hati,
Satu langkah saja, Anna bisa kehilangan segalanya.
Anna menarik napas panjang lalu mengusap wajah nya gusar. Siapa sebenarnya yang harus dia bela, perasaan nya atau ribuan rakyat itu. Anna benar-benar bimbang. Dia berharap ada sebuah peluru datang dan langsung menghantam kepalanya, itu lebih baik daripada harus memikirkan ini berkali-kali sampai rasanya kepala ingin pecah.
"Tetap dilingkaran Bapak, An."
Anna menggertakkan giginya. Dari banyaknya permintaan, kenapa Theo meminta nya bertahan. Tindakan nya yang tidak pernah ia ingin lakukan. Tindakan yang ingin ia lakukan adalah sebaliknya.
Meninggalkan Bapak.
Tapi Tuhan meletakkan Theo disekitaran pria itu, agar Anna terus-terusan merasa bimbang, seakan memang ingin membuat Anna tersesat dalam permainan nya.
"Neng,"
Pintu terketuk mengalihkan Anna dari dunia riuh yang ada dikepala nya.
"Di panggil Bapak." Lanjut Aldo.
Anna mengeraskan rahangnya. Beberapa hari yang lalu, Papa meminta untuk mengobrol berdua. Sesuatu yang tidak pernah Anna sangka. Walau ini sudah dekat dengan Pilkada dan Papa sudah resmi diusung, entah kenapa Anna tidak bisa menebak topik yang akan dibicarakan. Sikap Papa kemarin membuat tanda tanya besar.
Anna mengulum bibirnya lalu menghela napas panjang, kembali menatap cermin, meyakinkan dirinya bahwa dia baik-baik saja. Dia akan melewati keresahan ini dengan mudah.
Anna lantas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Saat terbuka, yang pertama kali lihat adalah Aldo. Walau baru sebentar, tapi Aldo lah yang menemani keseharian nya. Takkan Anna lupa kebaikan Aldo yang membuatkan pesta ulang tahun nya di Panti. Anna merasa Aldo seperti adik kecilnya.
Aldo berjalan beriringan, mengantar gadis itu ke ruangan kerja atasan nya.
"Kamu udah makan, Do?" Anna menoleh bertepatan Aldo juga, mereka saling tatap. "Nanti kita makan diluar ya. Aku traktir—"
"Neng," Aldo memotong, tatapan nya kosong ke bawah. Ia tampak berpikir keras. Sama seperti Anna, wajahnya terlihat gundah. Anna mengerutkan keningnya, ia menatap Aldo heran hingga akhirnya mereka berdiri di depan pintu kerja Papa. Anna masih menunggu Aldo untuk berbicara. Sampai akhirnya Aldo kembali menatap Anna dengan berani. "Tetap di pihak Bapak, ya?"
DEG !
Anna mengeraskan rahangnya. Jantungnya tak lagi berdetak normal, semua tak terkendali. Anna menatap Aldo kebingungan sekaligus tajam.
Aldo menelan ludahnya kasar, "Aku tahu, Neng punya perasaan dengan Mas Theo."
Hah.
"Aku tahu, semua masalah kalian. Aku tahu, pertentangan antara Neng dan Mas Theo. Dan aku tahu," Aldo diam sejenak, "Kalian berdua sama-sama mau bersama."
"Aldo—"
Aldo mundur satu langkah saat Anna ingin meraih nya. Laki-laki itu mengulum bibirnya sejenak. "Dari cara Neng menatap Mas Theo dan cara Mas Theo memperintahkan ku untuk melapor apapun. Aku tahu."
"Aku cuman Perwira tingkat rendah, Neng. Aku cuman menjalankan tugas ku sebagai ajudan tapi," Aldo menatap Anna. "Neng udah ku anggap sebagai Kakak dan Mas Theo sebagai panutan. Aku juga mau melihat kalian bersama."
"Karena itu," Aldo menatap Anna dengan yakin. "Tetap dipihak Bapak, Neng."
"Aldo," Anna merasakan kepalanya pusing. Ia meraih keningnya yang terasa berdenyut dan memejamkan matanya berharap bisa menetralisir sakit dikepala nya. "Berada dipihak Bapak ga akan ngubah apapun tentang aku dan Om Theo—"
"Bisa." Aldo memotong. "Kalian bisa bersama kalau Neng tetap dipihak Bapak."
Aldo menunduk sambil menghela napas. Ia kembali menatap Anna dalam diam untuk beberapa saat. "Bapak pasti udah nunggu didalam." Setelah mengatakan hal itu, Aldo menunduk sebentar lalu melangkah cepat pergi meninggalkan Anna yang masih terdiam ditempat nya.
Anna berdecak, ia melemparkan tinjuan nya ke dinding samping pintu untuk melampiaskan semua kekesalan nya hari ini. Tak peduli tangan nya akan biru tapi setidaknya itu berhasil membuat Anna sedikit tenang.
Anna mengusap wajahnya lalu menarik napas panjang.
C'mon Anna, you got this.
Anna membuka pintu kecoklatan dihadapan nya,
Udah part menuju ending sih sebenernya
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS SECRET SIN
RomanceKamu dan Ajudan Ayah mu, terjebak dalam perasaan terlarang.