"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat."
Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami.
"Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri.
Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan Mas buat kamu, Airin."
***
Tiga tahun kemudian
"Tatap aja terus! Nanti juga di Abri bakalan keluar dari hp itu. Itukan yang kamu harapin, Airin?"
Suara teguran ibu membuatku terperanjat dari lamunan panjangku. Aku lantas meletakkan ponsel yang disindir ibu tadi yang terus kutatap layarnya.
"Nggak kok, Buk. Cuma mau lihat ada pesanan aja. Nggak niat apa-apa," kilahku. Padahal tebakan ibuku tadi benar. Saking gilanya aku, aku malah berharap mas Abri keluar dari ponselku dan memelukku.
"Halah! Alesan kamu," cebik ibu. Dia sudah mulai mengaduk adonan kue. "Sudah berapa kali sih Ibuk bilang Airin? Jangan lagi harapin laki-laki kurang ajar itu! Yakin sama Ibuk! Bila perlu, potong telinga Ibuk ini kalau sampai si Abri itu nggak nikah lagi di tanah rantau sana!" omelnya, yang selalu saja menjadi makanan sehari-hariku.
Aku meneguk ludah, agak sedih sebenarnya. Tapi mau menangis pun seperti sudah tidak mungkin lagi. Karena sedikit banyaknya aku sudah mulai tersugeati dengan tudingan ibu tentang Mas Abri. Tiga tahun lalu dia pamit merantau, tapi sampai sekarang tiada kabar lagi.
Apa memang benar ya, kalau suamiku itu sudah menikah lagi? Kalau memang itulah faktanya, jujur saja aku tidak ridho! Aku tidak ikhlas. Anggaplah saja aku wanita jahat yang tidak mencerminkan wanita Soleha yang menekan baik segala takdir yang ada. Karena pada dasarnya, aku masih mencintai suamiku dan tidak rela dia dimiliki oleh orang lain, apalagi harus secara diam-diam dibelakangku.
"Tuh, kan! Kamu lama-lama dibiarin bisa gila kayaknya, Airin," tegur ibu lagi. Aku terkesiap kembali, entah untuk kesekian kalinya. "Cepat angkat itu kuenya! Mau kamu gosongin lagi? Kalau udah hidup kayak gini, lebih baik banyak-banyak tahu diri aja. Jangan malah makin nyusahin!"
Gegas aku menuruti perintah ibu untuk mengangkat kue dari panggangan. Memang terdengar sangat menyakitkan setiap perkataannya, tapi apa boleh buat? Fakta mengatakan kalau aku tinggal dirumah ibu dan bergantung padanya.
Makanya setiap dia mengomel, aku tak visa berkutik. Aku belum sanggup membiayai hidupku juga putriku. Dari pada jadi gembel diluar sana, lebih baik terima saja cacian ibu walau sakit rasanya.
Dalam keheningan, tiba-tiba Amy datang ke dapur. Dia menenteng dua plastik berisikan buah-buahan serta banyak makanan ringan.
"Tada!" ujarnya sambil menunjukkan tentengannya pada ibu. "Ini jajan buat Ibu. Dari Mas Raka. Tadi dia barusan antar Amy, tapi karena dia sibuk jadi nggak sempat mampir," adunya pada ibu. Dia menyinggung tentang pacarnya bernama Raka Abraham.
Tidak akan asing lagi respon ibu yang tampak antusias dan tentunya penuh kebahagiaan. "Ya Allah, kenapa nggak manggil Ibuk sih? Kan tadi bisa dilihat aja bentar. Kasihan, kan Raka pergi gitu aja. Kayak nggak dianggap gitu jadinya," ucap ibu.
"Nggak apa-apalah, Buk. Lagian besok Mas Raka libur dan berencana ngajak Amy jalan-jalan. Tentunya sama Ibu juga," lanjut Amy bercerita.
Dalam diam aku hanya mendengarkan kebahagiaan adikku itu. Akuemamg ikut senang, tapi di dalam hatiku tersimpan sedikit kecemburuan. Kenapa Amy rasanya lebih beruntung dariku?
"Gini kalau cari pasangan! Yang royal dan tentunya nggak melarat! Kan enak tiap hari dibelanjain, bukannya ditinggal gitu aja," ketus ibu lagi, kusadari dengan jelas kalau itu sindiran buatku.
"Airin tahu, Buk. Namanya juga musibah. Nggak akan ada yang bisa mencegahnya," sahutku, sebenarnya agak malas. Tapi biarkanlah, dari pada cuma diam saja kayak patung.
"Eh, Mbak. Ngomong-ngomong tentang cowok, katanya cowok yang kemarin setuju tahu buat kenalan dulu sama, Mbak. Sana gih, hubungin dia. Bilang kalau Mbak juga mau ketemu. Biar kenalan gitu. Siapa tahu jodoh," ungkap Amy yang membuatku seketika menatapnya.
"Apaan sih, My. Nggak-nggak! Mbak nggak mau. Mentang-mentang Mbak ditinggal suami, Mbak mau aja gitu kenalan sama duda? Nggak dulu deh," tolakkku mentah-mentah.
Lagi pula, lucu sekali mereka. Masa menjodohkan aku dengan laki-laki yang sudah duda punya tiga anak pula. Mau jadi apa kau dibuatnya? Pembantu gratisan? Enak saja!
"Kamu ya, Airin! Dibilangin kapan sih sadarnya? Cowok yang kau kenal sama kamu itu kerjanya bagus lho. Berpenghasilan lumayan lagi. Bisa biayain kamu biar nggak terus-terusan jadi beban buat Ibuk!" tukas ibu dengan bibir menipis. Tampak sekali dia geram padaku.
"Iya, Bu. Airin ngeri Ibu capek. Tapi nggak nyuruh Airin buat nikah juga. Airin masih punya suami, Bu. Gimana kalau tiba-tiba Mas Abri pulang? Airin nggak akan sanggup terima itu, Bu!" tegasku, tetap saja menolak.
"Abri lagi, Abri lagi! Kapan kamu sadarnya sih? Abri itu udah punya yang lain di sana! Lupakan dia. Lanjutkan hidupmu, Airin! Ini sudah tugas tahun. Mau sampai kapan lagi kamu nungguin dia? Sampai kamu tua? Sampai kamu mati?"
Aku membuang napas lelah, sebenarnya muak jika sudah berada di percakapan ini. Semakin aku mencoba diam, pasti ibu semakin menjadi-jadi menceramahiku tentunya dengan kata-kata pedasnya.
"Gini aja deh. Dalam dua minggu ini kalau kamu belum juga dapatin kabar dari Abri, kamu bakal Ibuk nikahkan sama orang yang dibilang Amy. Udah cukup kuat Ibuk nahan semua ini, Airin. Gosip-gosip tetangga makin menjadi-jadi. Pusing Ibuk mikirinya."
Aku terkesiap seketika. "Tapi, Buk–"
"Nggak ada tapi-tapian! Jangan menolak lagi atau Ibuk usir kamu dari rumah ini! Bikin beban aja kamu yang tahunya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Sudah Wafat
RomanceNiat hati ingin mencari tahu tentang kematian saudara kembarnya, Libra justru terjebak pesona adik iparnya yang terlanjur menganggapnya suaminya yang telah tiada.