28. Perselisihan

179 31 8
                                    

Bella bersandar ke belakang kursi dan  menghela napas panjang.

"Bukan masalah sederhananya, Na. Masalahnya adalah, dia gak punya apa-apa! Kamu udah kerja keras bertahun-tahun, dapat gelar dokter, tapi sekarang kamu mau buang semuanya cuma karena seorang tukang ojek?"

Nggak punya apa-apa? Cuma seorang tukang ojek? Darah Aina rasanya mendidih karena kritik dari kakaknya itu. Berusaha tetap tenang, Aina pun mulai menjawab.

"Kamu gak kenal dia! Dia baik, perhatian, dan lebih peduli sama aku dibanding orang-orang 'berkelas' yang kamu bilang selevel sama aku. Uang atau pekerjaan dia gak ada hubungannya dengan siapa dia sebagai pribadi!"

Bella memicing mata kemudian tertawa mengejek. "Kamu pikir hidup cuma soal cinta dan perhatian? Kamu harus realistis, Na! Orang seperti dia gak akan pernah bisa masuk ke dunia kita. Kamu akan menyesal nanti kalau kamu harus hidup susah."

Aina menatap tajam pada Bella. Kedua tangannya mengepal kuat. "Hidup susah? Aku dokter. Aku bisa mandiri. Aku gak perlu laki-laki kaya untuk membuat hidupku lebih baik. Aku hanya butuh seseorang yang tulus, yang mendukung aku tanpa melihat status atau uang."

"Kamu gak tahu apa yang kamu hadapi! Dunia kita berbeda dari dunia dia. Apa kamu siap menghadapi komentar orang? Apa kamu siap menghadapi keluarga yang bakal kecewa?"

Aina bangkit. Suaranya mulai gemetar.
"Aku gak peduli dengan komentar orang. Hidup ini milikku, bukan milik orang lain. Dan kalau keluarga kecewa karena aku memilih cinta sejati daripada status sosial, maka itu masalah mereka, bukan masalahku!"

Bella terdiam sejenak. Dia menatap Aina dengan tatapan kecewa. "Na, Kamu tahu aku sayang sama kamu. Aku cuma nggak mau kamu nyesel nanti," lirihnya.

Aina yang mendengar itu sedikit terkejut. Bella biasanya selalu congkak dan ingin menang sendiri. Dia tidak menyangka Bella juga bisa menunjukkan ekspresi yang penuh perhatian seperti itu. Yah, walau bagaimanapun mereka adalah keluarga. Aina jadi sedikit merasa bersalah karena telah meninggikan nada suara tadi.

"Aku tahu kamu sayang aku, Kak. Tapi aku juga tahu apa yang terbaik buat aku. Biarkan aku memilih jalanku sendiri."

Aina melangkah pergi. Dia tidak ingin melanjutkan perdebatan ini lagi karena air matanya mulai keluar. Sementara itu Bella menatap kosong pada pintu dapur yang ditutup. Suara langkah kaki Aina yang kasat terdengar semakin menjauh.

Bella bersedekap. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa sebaiknya dia menemui tukang gejek sialan itu dan menghajarnya agar cowok itu menjauhi adiknya seperti di film-film? Kenapa rasanya seperti dia yang jahat di sini? Ibunya saja sepertinya malah santai dan mendukung hubungan adiknya dengan lelaki mokondo itu. Yah, ibunya memang orang yang seperti itu. Karena ibu sendiri bukan berasal dari keluarga berada, jadi ibu tidak pernah membeda-bedakan status sosial seseorang. Namun bagi Bella, ini adalah masalah serius yang tidak bisa dia biarkan begitu saja.

Bella menopang dagu. Mungkin dia hanya perlu diam dan menunggu saja. Mungkin waktu akan memisahkan mereka dengan sendirinya. Ada kakek juga yang masih harus dihadapi Aina dan pacar barunya itu. Perjalanan mereka masih sangat jauh. Bella menghirup kopi dan meneguknya sedikit. Rasa pahit yang menjalar di lidah, membuat matanya malah semakin terbuka. Hidup ini memang pahit. Bahkan lebih pahit daripada kopi yang dia minum.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Menikahi Dokter 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang