Bab 4

25 1 0
                                    

"Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara.

"Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya!

"Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya.

"Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal.

"Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh."

"Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas.

Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...."

"Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Jadi perempuan kok gatel banget," lanjutnya mencibirku.

Alih-alih tersinggung, aku malah kegirangan. "Biarkan! Gatel sama suami sendiri mah nggak apa-apa. Asal jangan gatel sama suami orang aja."

Mas Abri terdiam sejenak sambil menatapku penuh arti. Jangan-jangan dia mulai tergoda. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Gegas aku lepas jedai yang menahan rambutku hingga terurai. Kukibas-kibas sebentar, upaya memberikan aura lebih menggoda.

Terakhir, mulai kudekati dia dengan tatapan yang kubuat sebisa mungkin terlihat meminta. "Mas, kamu nggak-aw, Mas Abri!"

Astaga naga!

Bukannya menyambutku, dia malah menyemprotku dengan shower tanpa rasa bersalah. "Mas, udah ... Mas!" Aku nyaris gelagapan karenanya.

"Keluar nggak?" ancamnya.

"Ihh, apaan sih?" Aku terus menahan air dengan kedua tanganku.

"Keluar, Airin! Kamu mau basah kuyup? Mau mandi lagi emang?"

Ck!

Tak tahan lagi, aku terpaksa keluar dan menjauh darinya. Keadaanku sudah hampir basah kuyup. Belum juga keluar dengan sempurna, Mas Abri sudah menutup pintu hingga aku terdorong kecil keluar dari sana.

"Mas Abri! Awas ya! Liat aja nanti!" pekikku, emosi.

Laki-laki itu memang keterlaluan. Lihatlah aku? Tadi aku sudah cantik, sudah wangi, sudah memakai skincare pula, tapi malah disemprot habis-habisan.

Awas saja! Aku tidak akan tinggal diam. Kalau Mas Abri bisa melakukan ini padaku, aku bisa bisa melakukan lebih. Mari kita lihat, siapa yang lebih tahan?

***

Sekitar setengah jam aku sudah menunggu di meja makan, siap menyambut dua orang terkasih dalam hidupku. Siapa lagi kalau bukan Mas Abri dan putriku, Aila.

Anakku baru saja masuk TK. Sebelum Mas Abri pulang, tadinya Aila sekolah di sekolah negeri. Tapi berbeda setelah suamiku kembali. Anaknya segera dipindahkan ke sekolah elite yang fasilitas serta gaya pembelajaran berbeda.

Tak lama, suara mesin mobil pun terdengar. Itu pasti Mas Abri dan Aila. Buru-buru aku berlari ke luar, siap menyambut kepulangan keduanya.

Dari ambang pintu, aku bisa melihat dengan jelas interaksi antara ayah dan anak itu. Benar-benar hangat. Terlihat bahagia sekali putriku yang terus mendapatkan kecupan dari ayahnya.

Lama-lama aku jadi cemburu. Putriku dapat begitu banyak cinta, tapi aku malah seperti pengemis cinta pada suami sendiri. Ck!

"Assalamualaikum, Mama," ucap Aila tak lupa menyalim tanganku.

"Wa'alaikumsalam," sahutku sembari mengecup puncak kepalanya. "Gimana sekolahnya? Lancar? Enak nggak?"

"Enak, Ma. Teman-temannya baik-baik semua," jawab putriku lantas gegas masuk ke dalam rumah.

Sementara itu, kulihat Mas Abri masih ada di dalam mobilnya. Dari kaca yang terbuka, aku bisa melihat kalau dia sedang menghubungi seseorang. Kalau aku tidak salah juga, mungkin dia sedang gusar. Berulang kali dia memukul setir mobilnya, benar-benar persis orang yang murka.

Tapi kenapa? Apa dia ada masalah?

Mungkin dia sadar aku yang terus menatapnya setelah dia menoleh tiba-tiba ke arahku. Kenapa aku jadinya gugup? Seolah mendapati diri akan dihakimi?

Memilih tak ingin ikut campur, aku lantas berjalan lebih dulu setelah terlihat dia turun dari mobil. Kala jarak kami sudah tak terlalu jauh, aku lantas memberanikan diri bertanya padanya, "Ada apa, Mas? Apa ada masalah?"

Dia langsung menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Makan yuk? Aku laper."

Dia melengos begitu saja padahal tanganku sudah siap untuk menyambut tangannya agar disalim.

Aku jadi terdiam sejenak, merasa bingung dengan sikap Mas Abri ini. Entah kenapa instingku mengatakan kalau dia sedang punya banyak masalah. Aku jadi mendadak khawatir. Aku takut terjadi apa-apa padanya setelah pulang dari tanah rantau. Mendadak perasaanku jadi kalut sendiri.

Sebenarnya, aku masih belum tahu persis, apa yang dikerjakannya di tanah orang sana? Seberapa berat itu? Dan berkecimpung di dunia yang seperti apa? Sedikit pun aku tidak pernah diberitahu tentang pekerjaannya.

Apa jangan-jangan selama ini Mas Abri sudah melakukan pekerjaan yang tidak baik? Atau mungkin juga dia jadi bos mafia?

Astaga! Sudah sejauh apa aku berpikir?

Dari pada mati penasaran, lebih baik aku bertanya saja. "Mas, sebenarnya di mana Mas kerja? Dan bagian apa?" tanyaku setelah aku duduk di kursi meja makan seperti mereka.

"E ... itu. Aku kerja di luar negeri," jawabnya, seketika saja membuatku tercengang.

"Hah? Di luar negeri? Bukannya kemarin Mas bilang mau ke luar kota aja ya? Kok malah keluar negeri? Terus, kok bisa? Bukannya Mas nggak jago ya bahasa asing?" Jelas aku kaget mendengar jawabannya.

Tiba-tiba dia tersedak yang langsung menenggak air putih. Setelah itu, dia langsung menjelaskan, "Iya emang. Tapi rencananya berubah setelah aku datang ke kota itu. Makanya aku jarang kasih kamu kabar, selain karna sibuk, itu juga karena kita cukup jauh. Belum lagi aku nggak hapal nomor hp kamu waktu aku kena musibah. Aku kecopetan waktu itu."

"Astaghfirullah, Mas. Kok bisa sampai kecopetan? Tapi Mas nggak apa-apa, kan?" Aku mendadak risau.

Lagi-lagi dia diam sejenak hanya untuk menatapku. Lantas dia menggeleng pelan, mungkin mengatakan kalau semuanya baik-baik saja.

Refleks aku langsung berdiri dari kursi, lantas berjalan ke arahnya yang duduk di depanku. Sudah tidak asing bagiku wajah takut-takutnya itu. Sekarang sudah tidak ada alasan dia tidak mau memelukku. Dia sudah bersih, bahkan sudah sangat rapi.

"Pelukkk," ucapku, manja. Tak lupa aku melebarkan kedua tangan siap menyambut tubuh gagahnya.

"Hei, ada Aila. Nggak baik," ucapnya, pintar sekali cari alasan.

Tak tahan lagi, dengan cepat aku lantas melayangkan kecupan pada pipinya, tak peduli jika dia kesurupan sekali pun! "Sehat-sehat ya, Suamiku. Sekarang kamu udah pulang kok."

Suamiku Sudah Wafat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang