"Oma mau ke mana?"
Cherly menuruni undakan tangga dan memeluk tubuh Retta.
"Oma mau keluar dulu sama Bibi. Kamu gak papa kan di rumah sendiri?" tanya Retta sambil mengusap punggung Cherly.
Cherly mengangguk seraya melepaskan pelukannya.
"Hati-hati Oma."
Tinggallah Cherly sendiri di rumah besar Retta.
Cewek itu berdiri memperhatikan sekitar yang sudah bersih dan rapih.
Huft.
Bokongnya didudukan di sofa panjang mengarah ke televisi besar. Lalu menghidupkannya dan mencari saluran tv yang akan menemani kebosanannya. Tapi dicari-cari, Cherly tidak menampak tayangan seru di jam kerja. Akhirnya tv pun dimatikan dan Cherly rebahan terlentang di sofa.
Membosankan.
Cherly tersenyum kecil ke langit ruang tengah yang menunjukkan aksen elegannya.
Cklek!
Sontak Cherly terduduk dan menoleh ke asal suara.
Masuklah pria berkemeja putih sambil memijit pelipisnya. Belum menyadari kehadiran sosok mungil berdiri di dekat sofa memperhatikan penampilannya terlihat berantakan di siang hari.
"Om Gio sakit?"
Argio langsung menyandarkan punggungnya ke sofa. Memejamkan matanya sejenak. Menetralisirkan rasa pusing kepalanya di siang bolong.
Sialan.
Cherly segera menyiapkan segelas air hangat setelah mengecek suhu badan Argio yang jauh dari suhu normal.
"Airnya diminum dulu Om."
Tatapan Argio tertuju ke Cherly yang memasang wajah khawatir melihat kondisinya.
Argio menerima dan meminumnya sambil memperhatikan Cherly.
"Om mau makan gak?"
Argio tidak nafsu makan ketika pusing. Tetapi keberadaan cewek di depannya mengharuskan kepalanya menerima tawarannya.
Cherly pergi ke dapur mengambil sepiring berisi lauk pauk yang telah dimasak asisten rumah tangga.
"Om bisa makan sendiri?"
Jika di depannya sang Mamah, Argio akan memaksakan dirinya makan sendiri. Beda di depan Cherly, Argio semakin memperlihatkan ketidakberdayaan nya.
"Menurut kamu bagaimana? Apa saya masih bisa makan sendiri setelah melihat kondisi saya hampir pingsan?"
Rupanya sifat menyebalkan Argio tidak akan pernah hilang meskipun sedang sakit.
"Di sini."
Cherly menggeleng kuat ditawarkan duduk di antara kedua kaki Argio.
Oh, tidak.
Bukannya lancar menyuapi Argio, Cherly menumpahkan seisi piring dan menjadikannya berantakan di depan pria itu.
"Saya ingin kamu di sini."
"Aku nggak mau."
Argio menggeram rendah sembari mengusap wajah tampannya.
"Okay aku duduk di sana."
Sebelum melihat singa marah, Cherly lebih dulu meredakannya dengan cara mengalah.
Bibirnya menggerutu pelan dengan bokongnya duduk di antara kedua kaki Argio.
"Sebenarnya kamu ingin menyuapi siapa?"
Sambil berdecak Cherly memiringkan posisinya hingga kakinya dinaikan ke sofa.
"Sakit gak sakit, Om bawel."
Argio menaiki alisnya kemudian membuka mulutnya bersiap sendok berisi nasi dimasukan oleh perempuan yang merungut kesal.
"Kalo tidak ikh–"
"Aku ikhlas. Om diam aja."
Argio menurut untuk diam selagi disuapkan Cherly.
Lama kelamaan Cherly merasakan pegal pada posisinya saat ini.
Terpaksa cewek itu memposisikan kedua kakinya di antara tubuh Argio supaya pinggangnya tidak bermasalah.
Gluk.
Argio bisa melihat jelas kaki jenjang Cherly dari mata kaki hingga paha luar.
Gosh.
Mata Argio sangat jelalatan mengeksplorasi kaki mulus Cherly.
Tangannya saling mengepal kuat menahan untuk tidak merasakan tekstur halus kulit Cherly.
Damn.
"Om makannya lama banget."
Argio tersadar dari bayangan tak seharusnya.
"Saya sudah kenyang."
Cherly bangkit dari duduknya dengan berbantalan bahu kekar Argio.
"Om mau ke mana? Kan belum minum obat."
Argio menggeleng sembari melangkah ke kamar.
Sedangkan Cherly merapihkan bekas makan Argio. Lalu duduk sambil memakan kue bersuhu dingin di kursi makan.
Kepalanya bergoyang menunjukan ekspresi menikmati kue buatan Retta.
Setelah menghabiskannya Cherly masuk ke kamar dan rebahan.
Sedang asik bersantai memainkan hp, pintunya diketuk dari luar oleh sesosok pria tinggi besar yang kepalanya menyembul dari celah pintu.
"Ada apa, Om?" tanyanya langsung terduduk.
"Om mandi? Kok mandi sih? Kan masih siang. Om juga lagi sakit."
Argio menyandarkan rambut setengah basahnya ke ambang pintu.
"Saya berkeringat. Saya gak suka."
Cherly mendekati Argio, memperhatikan penampilan santai pria matang rupawan itu.
"Om istirahat ya, mata–"
"Temani saya. Kepala saya pusing. Kamu pijat pelipis saya biar tidur."
"Aku gak bis–"
"Itu perintah, Cherly. Saya mau kamu lakuin itu," tegas Argio.
"Sama yang lain sih, Om." Cherly suka kontak fisik. Tapi tidak dalam keadaan berdua tanpa siapapun di rumah. Cherly takut ada setan yang merubah pikiran manusia ke hal negatif.
Argio menghela, "Siapa? Di rumah hanya ada saya dan kamu. Kalo pun ada istri saya, saya bakal nyuruh dia, Cherly."
Cherly meremas pinggir dress nya. Telinganya menjadi sensitif setiap ada kata istri keluar dari bibir pria di depannya, "Kok jadi bahas yang lain sih? Kan ak–"
"Kenapa? Kamu cemburu saya bahas cewek lain?"
What the nah.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate
Teen Fiction"Perhatiannya dia itu gak lebih dari seorang Om ke ponakan. Apalagi ibu lo, kakaknya dia. Jadi, apa yang lo dapatin dari dia itu gak jauh dari rasa sayang seorang adik ke anak kakaknya." ... "Aku rela jadi simpenan Om Gio." © narrberry_ , 2024