PROLOG

780 159 505
                                    

Malam itu begitu sepi, terlalu sepi. Bintang-bintang enggan bersinar, tenggelam dalam pekatnya langit malam. Angin dingin seharusnya bertiup melewati jendela-jendela tua perpustakaan, tetapi malam ini, udara terasa mati. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan.

Di dalam perpustakaan yang remang-remang, rak-rak buku berdiri kaku, membisu dalam gelap. Cahaya lampu berkedip samar, menebarkan bayangan yang bergerak seolah memiliki nyawa sendiri. Aroma kertas tua dan debu memenuhi ruangan, menyelinap masuk ke dalam paru-paru.

Di tengah keheningan itu, sebuah buku tua tergelincir dari rak. Tidak ada yang menyentuhnya. Tidak ada angin yang meniupnya. Namun, buku itu jatuh—mendarat dengan suara berat di lantai kayu yang berdebu.

Seorang anak laki-laki berdiri di sana. Nafasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tangannya gemetar saat meraih buku itu, debu berhamburan saat jari-jarinya menyentuh sampulnya yang usang. Kulit buku itu terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.

Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama. Huruf-huruf tua tertulis di atas kertas yang mulai menguning. Nama-nama alumni sekolah, berjajar rapi dalam barisan panjang.

Ia mulai membaca.

Satu nama. Dua nama. Tiga nama.

Sampai matanya terhenti pada sesuatu yang aneh.

Sepuluh nama berturut-turut.

Semua berasal dari tahun yang sama.

Semua menghilang tanpa jejak.

Tidak ada catatan kelulusan. Tidak ada keterangan. Hanya kekosongan yang tidak bisa dijelaskan.

Dan saat ia hendak membalik ke halaman berikutnya...

Halaman 55—hilang.

Jantungnya berdegup kencang. Ia menelan ludah, tiba-tiba udara di sekitar terasa lebih berat.

Kemudian, sesuatu berubah.

Rak-rak buku tidak lagi terasa diam. Ada sesuatu di dalam bayangan, sesuatu yang bergerak tanpa suara. Ruangan yang tadi terasa luas, kini terasa sempit—seolah dinding-dindingnya semakin mendekat.

Dan kemudian... suara itu terdengar.

Pelan. Samar.

Di belakangnya.

"Kau tidak seharusnya mengetahuinya."

Seketika, tubuhnya membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jari-jarinya yang masih menggenggam buku itu terasa membeku.

Dengan napas tertahan, ia menoleh perlahan.

Rak-rak tua masih berdiri kaku dalam gelap. Tidak ada siapa pun.

Namun, sesuatu menyentuh bahunya.

Dingin.

Keras.

Mencengkeramnya dengan erat.

Ia ingin berteriak, tapi tidak bisa. Suaranya terjebak di tenggorokan, tenggelam dalam teror yang kini menelannya.

Buku itu terlepas dari tangannya. Terjatuh ke lantai dengan suara gedebuk yang menggema di seluruh ruangan.

Lalu, semuanya menjadi gelap.

Hening.

Ketika pagi tiba, tidak ada jejak anak laki-laki itu di perpustakaan.

Yang tersisa hanyalah buku tua yang tergeletak di lantai, terbuka di halaman kosong yang seharusnya tidak pernah ditemukan—halaman 55.

Mystro Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang