Air shower meluncur keluar, mengguyur dengan cukup deras. Cukup dingin, tapi tak membuat tubuh seputih susu itu beranjak dari tempatnya berdiri. Tiap aliran air yang mengguyur membelai lembut wajah putih, rahang tegas dan turun melewati leher mulus, juga perut sixpack miliknya.
Tanpa mematikan shower yang masih menyala, Carel beranjak mendekati wastafel. Kedua tangannya yang putih bersih dengan santai memegang ujung wastafel, sementara manik hazel indah itu fokus pada bayangan wajahnya di cermin.
Carel menarik napas pelan. "Udah selesai. Drama ini akhirnya selesai. Dan gue ... bisa hidup tenang sekarang."
Jemari putihnya dengan kasar menyugar rambut hitam legam yang basah itu ke belakang. Kening putih mulus itu nampak terlihat dengan jelas. Begitu pula mata hazel yang menyorot bayangannya dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi.
Carel kemudian mematikan shower. Tangannya meraih dua handuk. Yang satu untuk melilit pinggang, sementara satunya untuk mengusap sisa buliran air di tiap helai rambut juga bagian leher yang mulus dan putih itu.
"Wow. Nggak nyangka gue lo bakal sebahaya itu."
Suara seseorang menggema begitu Carel keluar dari kamar mandi. Matanya hanya melirik sebentar, tidak minat juga untuk menanggapi. Sementara Jiken dibuat terkejut. Ternyata, dibalik wajah tampan baby face itu, Carel menyembunyikan perut sixpack yang terpampang nyata. Definisi 'kecil-kecil cabe rawit' tentu saja.
"Seharusnya ketuk pintu dulu, jangan main nyelonong aja."
Jiken mengangkat bahu. Carel tak lagi bicara dan mulai sibuk kembali. Mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Buliran air di sekitar area belakang rambut masih menetes, dan itu turun melewati punggung mungil yang sialnya sedikit berotot. Jiken memperhatikan dengan wajah menegang.
Cowok tinggi itu berdehem sebelum mendekat. "Gimana sama dia? Udah mati?"
Carel melempar handuknya asal. Tubuh yang semula menghadap balkon kini ada tepat di hadapan Jiken. "Gue belum cek. Setelah ini gue ke sana."
Perut sixpack itu lagi-lagi membuat tubuh Jiken menegang. Apalagi, kulit milik Carel yang benar-benar putih. Jiken hanya bisa berusaha untuk tidak terlalu lama menatap perut itu. Bahkan, jakunnya saja sudah bergerak naik turun, berusaha membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
Carel yang paham akan arah mata Jiken pun tersenyum miring. "Gue emang ganteng, tapi jangan perut gue doang yang lu liat. Nih muka gue juga."
Cowok mungil itu mendekatkan wajahnya. Jiken langsung membuang muka. Telinganya sudah bisa dipastikan memerah, dan Carel menyadari itu. Cowok mungil itu hanya mengangkat bahu dan pergi untuk berganti pakaian.
"Lo mau ikut nggak?"
Suara Carel entah kenapa hanya seperti sebuah embusan angin yang hanya lewat untuk sekedar menerpa telinga kirinya. Jiken masih sibuk dengan dunianya, masih sibuk menahan diri untuk tidak menyentuh perut sixpack itu. Sial! Obsesinya mulai menambah sekarang, bahkan mungkin Jiken akan mulai kesulitan menahan diri.
"Budeg ya, lo!"
Suara Carel mulai naik satu oktaf. Hanya saja, Jiken tetap tidak beranjak ataupun menanggapi. Carel yang mulai geram pun langsung memegang telinga Jiken dan menariknya cukup kuat.
Spontan, Jiken langsung menoleh sambil meringis. "Apa, sih? Sakit anjir!"
"Ya lo kenapa diem aja? Gue nanya. Lo mau ikut nggak?"
Jiken mengerjapkan mata. "Ke mana?"
Carel memutar bola mata. "Berak!"
Jiken kembali mengerjapkan mata. Carel sedari beberapa detik yang lalu sudah keluar entah pergi ke mana. Otomatis, Jiken langsung berlari menyusul.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...