Janufal berlebihan?

26 5 0
                                    

Temu kangen yang singkat dengan sang ayah memang belum cukup memuaskan Julian. Namun, dia perlu menyisihkan beberapa saat untuk tubuhnya beristirahat. Dia melangkah ke kamar, menyusul Janufal menyeret kopernya di belakang. Adiknya juga tentu tak ingin ketinggalan momen pelepasan rindu hanya berdua bersama dia.

Julian membuka pintu wardrobe, memperhatikan barisan kaus serta jejeran kemeja yang memenuhi ruang di dalamnya. Dia mengambil kaus serta celana katun panjang dan menaruhnya di atas kasur. Janufal sendiri sudah merebahkan badannya di situ.

"Kamu ngapain?Abang mau mandi, Fal."

"Ya udah mandi aja sana. Gue 'kan gak ganggu."

"Ada yang mau kamu omongin ke Abang?"

"Banyak. Tapi, nanti setelah Lo selesai mandi."

"Yakin mau tetap di situ? Abang bakal lama, loh."

"Mau ngapain coba? Mau yang macem-macem?!"

"Apaan, sih? Melantur kata-kata kamu." Julian mengerut tajam, risi akan tuduhan adiknya.

"Buruan mandi, Yan!" Tahu-tahu sebuah bantal dilempar ke muka Julian, meski tak mengenainya sama sekali. Bantal itu ditepis hingga berakhir tergeletak di lantai.

"Ya udah. Tunggu di situ, jangan kepo dan jangan sembrono." Janufal berdecak malas, membalik posisinya memunggungi Julian. Dalam hati dia menahan kekesalan oleh pernyataan terkesan memberi jarak padanya.

"Gue adek Lo 'kan, Yan? Beneran Adek kandung Lo 'kan? Kenapa gue terintimidasi? Sama Tama Lo gak pernah larang ini dan itu. Tama juga tau lebih banyak tentang apa yang Lo lakuin, gue enggak. Sumpah, gue benci banget ngerasain ini! Sakit." Isi hatinya tumpah ruah dalam keheningan. Janufal sedikit berbisik usai pintu kamar mandi ditutup pelan, Julian jelas tidak akan mendengar keluhannya.

Adilkah buat dia? Janufal berprasangka seperti terasingkan, dia menyimpan luka tersebut seorang diri. Berpura-pura gembira di depan Julian. Dia hanya ingin validasi dari saudara laki-lakinya, dia ingin dipandang satu-satunya tanpa embel-embel kesetaraan kasih dengan Tamaro. Sial, Julian barangkali tidak akan pernah bisa memahami ini. Kepribadian Julian dengan empati tingginya itu tidak menguntungkan untuk Janufal. Dan sesungguhnya Janufal membenci situasi di mana dia tak mampu membenarkan/memperjuangkan opini berikut asanya.

Lebih seperempat jam lamanya Julian menghabiskan waktu di kamar mandi. Dia keluar menggiring raut dan tubuh yang lebih segar. Rambut memanjang merupakan sekeping kebiasaannya, mustahil dipangkas jika bukan ujung-ujungnya sekadar untuk dirapikan. Begitu atensi singgah ke ranjang, dia menemukan adiknya terlelap di sana. Seketika pula rongga dada berdenyut. Entah apa gerangan, dia kerap merasakan gulana di setiap kebersamaannya dengan si adik. Julian bahkan siap dan rela memberikan segala hidupnya bagi Janufal, asalkan pemuda itu tak kehilangan kebahagiaan/kebebasan terhadap dirinya sendiri. Harapan kecil hendak dipelihara andaikan takdir bersedia mengizinkan, Julian mau kelak senyuman tulus tanpa sandiwara datang kepada orang-orang terkasihnya.

Tungkai diayun ke pinggir ranjang, mengamati lamat-lamat bekas kering kesedihan di sudut mata Janufal. Julian mengusapnya amat hati-hati, enggan mengusik peraduan sang adik. Jemari diangkat menuju puncak kepala, berulang-ulang menyapu lembut helai legam Janufal. Sejemang sudut-sudut bibirnya merenggang tipis, "Abang minta maaf ya, Fal. Ada saatnya kamu akan tau segalanya. Cuma ini yang bisa Abang perbuat untuk keselamatan kamu. Jadilah seseorang yang bebas, berdiri di atas mimpimu, bergerak sesuai rencanamu, Abang percaya Afal bisa." Tak ayal segelintir kenangan silam mengundang haru Julian, setitik turun ke pipinya untuk diseka segera. Dia mengingat saat-saat Janufal masih segitu manja dan lucu, acap merengek walau hanya untuk menyebutkan namanya. Bukan salah Afal. Tama yang mulai duluan, kenapa Abang selalu bela Tama?!

-----

"Bu, ada pesta apa? Banyak banget makanannya. Julian mau mampir. Dia telepon Ibu tadi sewaktu kamu mengurung diri di kamar."

"Ah, Ibu mah! Tama bukan sengaja ngumpet, kok—Tama ada tugas kelompok. Jadi, tadi itu tiba-tiba temen sekelompok Tama minta gmeet sebentar. Ya namanya ngebahas tugas mana bisa sekejap mata 'kan, Bu. Belum lagi cuap-cuap nyelenehnya." Kemala menyeringai mafhum, tentu mengerti kesibukan putranya selaku mahasiswa. "Bu, Tama gagal bantuin Ibu masak. Ibu marah gak?"

"Kenapa harus marah? Kamu memang benar mengerjakan tugas 'kan?"

"Iya, Ibu. Gak ada gunanya Tama bohong. Biasanya juga Tama seneng-seneng aja bantu Ibu di dapur."

"Ibu tahu, Nak. Maka dari itu Ibu tidak mempermasalahkannya. Kuliah Tama jauh lebih penting."

"Makasih Ibuku tersayang." Tamaro bergeser ke balik punggung Ibunya, mendekap sambil melabuhkan kepala di situ. "Jam berapa Julian kemari, Bu?"

"Sebelum sore katanya, kira-kira jam tiga."

"Ini udah mau jam tiga," celetuk Tamaro jangka pandangnya melirik ke dinding sebelah kiri. Sejemang berselang bunyi bel secara konstan menyapa. "Seneng ya Bu anaknya pulang?" Kejahilan Tamaro praktis kambuh untuk menggoda ibunya. Ada perubahan kentara di rona Kemala, kelopak matanya berbinar-binar seiring kaki antusias ingin membukakan pintu, menyambut presensi yang dinantikan.

"Ibu—" Kemala mendorong dirinya, memberi pelukan hangat yang sekian bulan lalu menghilang. "Ian senang Ibu kelihatan sehat."

"Tapi, Ibu marah karena kamu malah pulang dalam keadaan kurus begini. Kamu tidak makan teratur di sana? Tidurnya tidak nyenya, iya?"

"Ian ceritakan di dalam aja ya, Bu. Udahan dulu nangisnya." Ian merangkul pundak Kemala, tidak melunturkan seringainya yang pula dibalas sama oleh Tamaro.

"Ibu masak banyak buat Lo, Yan. Lo wajib makan semuanya sih ini."

"Ibu ... " Julian hendak menuangkan nalarnya, kendati itu tertahan di tenggorokan. Dia sontak memperhatikan piring-piring berikut mangkuk yang menyajikan bermacam lauk pauk.

"Kalau di dekat Ibu, Ian mesti makan teratur. Ibu gak suka kamu jadi kurus seperti ini."

"Ian makan tepat waktu, Ibu. Cuma porsinya aja yang memang berkurang. Di sana nafsu makan Ian mengendur. Gak seperti di sini yang bawaannya mau makan melulu—dimasakin terus sama Ibu. Ian gak akan nolak." Kursi pertama ditarik untuk mempersilakan Kemala, yang ke dua dia duduki. Sedang, Tamaro di seberang keduanya.

"Afal ke mana, Yan?"

"Nyenyak sekali tidurnya, Tam. Mau dibangunkan gue gak enak. Lelah kayaknya dia."

"Uring-uringan selama gak ada Lo, Yan. Udah mirip anak ayam kesasar. Kerjanya mondar mandir gak jelas. Push rank, latihan futsal, kongkow sama anak-anak di kafetaria ... untung mentalnya masih aman, Yan."

"Hussst, Tama! Afal itu saudara kamu. Ibu gak suka ya Tama sembarangan bicara."

"Hehe. Bercanda doang, Bu." Cengar-cengir merasa tak enak akan perkataannya barusan. Namun, Tamaro hanya ingin menyampaikan informasi yang sekira dibutuhkan Julian. Bagaimanapun situasinya, Julian patut mengetahui perilaku sang adik selagi dia berpijak di rantau.

"Yan, nasinya Ibu ambilkan, ya." Kemudian, Tamaro yang semula menggebu-gebu turut meredam semangatnya sebelum acara makan besar itu  rampung. Kegembiraan sang ibu layak diutamakan.

UPHEAVALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang