Bersikap Biasa Saja

814 103 25
                                    

Udara malam yang dingin di Singapura tak mampu membuyarkan lamunan Pradipta yang masih berdiri dibalkon ruang tengah hotel yang ia tempati. Ia mungkin menatap kearah depan, tetapi sorot matanya kosong. Pikirannya berkecamuk, tidak sekali dua kali ia mendengar Trisna memintanya untuk menjaga jarak. Tidak sekali dua kali ia mendengar istrinya merasa membebaninya. Terkadang Pradipta berpikir, apakah Trisna tak cukup percaya pada dirinya sehingga Trisna selalu merasa bersalah dan membebaninya.

Bagi Pradipta dirinya tidak punya waktu untuk memikirkan omongan orang lain. Tetapi ia akan sangat punya waktu apabila omongan orang menyangkut istri dan anaknya. Pradipta mungkin bisa memaafkan atau mengacuhkan orang-orang yang membicarakannya tetapi ia takkan mampu melakukan hal yang sama bila orang dengan seenaknya membicarakan istri dan anaknya.

Saat ini Pradipta tengah memikirkan bagaimana caranya untuk meyakinkan Trisna agar tidak mengambil jarak lagi. Saat ini ia hanya ingin meyakinkan Trisna untuk tetap berada disini, disisinya, tanpa peduli omongan orang lain. Saat Pradipta tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, ia dikejutkan dengan kehadiran Diran disampingnya.

"Sorry Pak De, but Dimas want to talk with you?." Ucap Diran sembari menyerahkan handphonenya pada Pradipta kemudian berlalu pergi membiarkan ayah dan anak itu berbicara berdua saja.

"How are you? I get some news today, everything ok?" Tanya Dimas mengawali pembicaraan mereka. Dari nada suaranya dapat Pradipta pastikan kalau anaknya sedang khawatir. 

"Semuanya baik baik saja Dimas, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kapan kamu pulang? Apa tidak bosan dimarahi ibumu terus melalui telepon."

"Ayah, aku mendengar berita tentang kalian..."

Belum selesai Dimas dengan kalimatnya Pradipta terlebih dahulu memotong. "Dimas jangan khawatirkan berita apapun yang kamu dengar, ayah dan ibumu baik- baik saja. Fokuslah pada dirimu sendiri. Bagaimana Swiss? Apa menyenangkan." Pradipta tahu apa yang ingin anaknya katakan dan ia tak ingin Dimas terbebani dengan pemberitaan mengenai keluarga kecil mereka. Pradipta memilih mengalihkan pembicaraan.

Dimas yang mendengar penuturan ayahnya tersenyum getir. Selama ini apakah ayahnya tak juga paham bahwa ia telah terbiasa dengan berbagai pemberitaan tentang keluarga kecil mereka. Meski tak pernah terbiasa, Dimas selalu mencoba bersikap biasa saja. "Swiss sangat indah ayah, aku bahkan berpikir untuk pindah kesini saja." Dimas mengatakan itu sambil tertawa kecil. Saat ini ia tahu ayahnya pasti tengah kalut, karena ia juga tahu kalau ibunya akan meminta ayahnya untuk menjauh lagi. Dimas bukanlah anak kecil lagi, Dimas sudah cukup dewasa untuk mengerti setiap keadaan.

"Bagi ayah, tidak ada yang lebih Indah dari Indonesia." Pradipta tertawa, Dimas ikut tertawa mendengar penuturan ayahnya.

"Ibu kalah dari Indonesia rupanya ya." Sebelum dijawab oleh Pradipta, Dimas mencoba untuk menutup sambungan telepon mereka. "Ayah, aku harus pergi, aku ada rencana dengan temanku disini. Sampaikan salamku pada ibu. Sampaikan juga permintaan maafku karena belum bisa kembali secepatnya."

Setelah Dimas menutup teleponnya, Pradipta bergumam pada dirinya sendiri. "Your mother not a choice Dimas. Tak ada yang bisa sebanding dengannya dihadapanku. She is the only one." Pradipta malangkahkan kakinya keruang tengah, ia mencari Diran kemudian menyerahkan kembali hanphone anak itu. "Istirahatlah kalian, besok kita akan kembali ke Indonesia."

Diran yang tengah asik bercengkrama dengan Indra menganggukkan kepalanya, kemudian memberi hormat dan berlalu pergi dari hadapan Pradipta. Sebelum memasuki kamar mereka masing-masing, Diran dan Indra melihat Trisna yang berdiri didekat tangga mezanine kamar utama. Mereka meminta ijin untuk beristirahat dan hanya dijawab anggukan sopan dari Trisna.

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang