Part 22

127 37 4
                                    

Aku memberikan kunci mobilku pada Emir begitu kami selesai makan malam. Kebiasaanku. Kadang aku yang menjemput Emir di perpustakaan universitas saat sore atau lebih seringnya Emir yang menjemputku di kos-kosan. Lalu kami akan makan malam, ngerjain tugas, main game atau sekedar ngobrol.

Aku sudah melakukan kebiasaan ini sejak hari pertama merantau. Awalnya karena memang hanya Emir satu-satunya orang yang kukenal disini, tapi setelah aku kenal banyak mahasiswa lain, kebiasaan ini tetap berlanjut. Mungkin karena aku memang suka di dekat Emir. Mungkin karena dengan Emir aku bisa bicara tanpa berpikir apalagi di rem. Yang terpenting, aku nggak perluh takut untuk jadi diriku, menjadi vampir sesungguhnya.

Faktanya, Emir memang duniaku. Aku tidak bisa hidup didunia tanpa Emir. Bukan sekedar kilasan klise, tapi  literally aku bisa mati tanpa darahnya.

Selama tiga tahun terakhir, sejak SMU Emir benar-benar jadi satu-satunya darah yang kuminum. Aku tidak pernah meminum darah yang lain. Untungnya, dan aku tidak tau kenapa, Emir baik-baik saja walaupun darahnya kuminum secara rutin. Kadang setelah kuminum wajah Emir memang lebih pucat dari biasanya tapi lebih seringnya, Emir cukup baik-baik saja.

Berbeda jauh dengan teori yang kudengar dan kenyataan yang pernah kulihat. Tidak seperti para pengasuh adikku dulu yang tidak butuh waktu lama untuk terkena penyakit anemia dan gampang pingsan. Entah karena Emir yang ku kenal memang rajin olahraga, dasar fisiknya sehat, kuat, atau karena sesuai panggilannya, Clark Kent, ia sejenis manusia super yang kebal vampir.

Sampai detik ini aku tidak tau. Karena ini sesuatu yang tidak bisa kutanyakan ke siapapun termasuk ke keluargaku. Apalagi ke sesama vampir tanpa takut rahasiaku terungkap.

Tapi bukan berarti aku lepas tangan. Aku tidak ingat tepatnya sejak kapan, aku mulai sering membagi bekalku dengan Emir. Berbagi makanan yang kupunya. Membawakannya obat dan vitamin. Memastikan Emir selalu sehat sebisaku. Hingga sekarang.

Sampai juga menjadi salah satu alasan, kenapa aku selalu makan malam dengan Emir. Salah satu alasan kenapa aku memilih kuliah jauh ke luar kota mengikuti Emir. Karena aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, walaupun sekedar makan malam, Emir makan dengan baik. Makan dengan sehat.

"Tadi di depan Reza kamu bilang kamu butuh bantuan. Bantuan apa?" Tanya Emir setelah ia masuk ke kursi pengemudi lalu menyalakan mesin mobilku.

"Oh ini, bantu aku habisin ini." Aku mengangkat tanganku, mengambil sekotak kantung kertas berisi roti dan buah-buahan yang kubeli sebelum aku menjemput Emir sore tadi dari jok belakang, "Emir masih mau makan lagi nggak? Roti coklatnya ini enak banget loh. Tadi aku habis dua."

Emir melirik roti coklatku sekilas sebelum tangannya memutar stir mobil, keluar dari lahan parkir restoran dengan satu gerakan lihai. Lebih lihai dariku. Kalau aku, aku harus bolak balik stir mobil untuk keluar sampai tukar parkirnya gemes sendiri.

"Untukmu saja."

"Kan aku beliin buat Emir!" Protesku. Meletakan kantung kertas belanjaanku di atas pangkuanku.

"Badanmu akhir-akhir ini agak kurus."

"Ah enggak." Aku menunduk menatap diriku sendiri, "Aku cantik kok."

"Cantik nggak harus kurus, Rona."

"Kamu tau nggak Emir, ada suku di Afrika yang cewek gemuk itu lebih berharga dari sapi. Mahar pernikahan nya di hargai lebih banyak daripada cewek yang kurus. Apa Emir suka yang kayak gitu? Cewek gemoy."

"Nggak." Emir mendadak tertawa," Kok tau-tau kamu nyimpulin kesana."

"Soalnya Emir tau aku makannya banyak. Kalau soal makanan manusia Emir lihat kan tadi aku bisa ngasihin satu bakul nasi sendirian? Aku juga bisa makan mie dua bungkus pakai telur. Tadi aja siang-siang karena kelaparan aku ngehabisin gorengan tiga cabenya lima. Emir aja nggak bisa kan? Lemah."

Kalimatku anehnya menbuat tawa Emir menghilang, senyumpun bahkan enggak, "Apa darahku yang kamu minum kurang?"

"Nggak kok." Aku buru-buru membantah, "Aku minum sesuai jatahku. Sesuai kuota. Satu menit penuh. Terus sebenernya setelah itu aku kuat selama sepuluh hari. Beneran. Kalau Emir nggak maksa mungkin aku bisa tahan hm...  Sebelas hari. Jadi jadwal minum darahku nggak usah harus disiplin sembilan hari sekali sih sebenernya..."

Emir mendengus, "Jangan ambil resiko. Tetap hati-hati Rona."

Disaat yang sama aku juga meniru-niru suara Emir, hati-hati Rona. Aku bisa langsung tau Emir pasti akan bilang begitu. Karena memang selalu begitu.

"Atau kualitas darahku kurang bagus?"

Aku menggeleng, "Enak kok! Darah terenak yang pernah kuminum." Untuk lebih menyakinkan Emir aku meletakan kedua telapak tanganku ke pipi. Membayangkan darah Emir bisa membuat pipiku langsung merona, "Emir nggak usah takut. Nggak ada darah lain yang lebih enak dari Emir. Soalnya Emir yang terbaik di dunia. Baik hati, lucu, bisa di andalkan, bisa apa aja, wajahnya mirip Clark Kent,  pinter lagi. Supermanku. Pahlawanku. Emirku."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang