Part 23

154 40 7
                                    

"Sekarang Emir udah mau makan nggak?" Tanyaku, pelan-pelan membuka sebungkus roti coklat dan mengarahkannya ke bibir Emir.

Untungnya Emir mau menggigit roti yang kosodorkan. Kemudian mengambil roti itu. Memakannya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menyetir.

"Habis ini kita mau kemana? Emir nggak ada tugas yang harus di kumpulkan besok kan? Tugas yang tadi sudah selesai? Kalau aku ada. Aku ada tugas akutansi manajemen."

"Sudah di kerjakan belum? Butuh bantuan?"

"Udah kukerjain. Dari kemarin. Aku jangan di bantuin terus. Nanti aku nggak bisa apa-apa. Lagian Emir sistem informatika masa' ngerjain tugas jurusan akutansi melulu. Emir kayak kuliah double degree sementara aku kayak calo kuliah."

"Tapi jangan lupa ngerjain tugas lagi ya."

"Iya."

"Juga jangan telat makan, bangun lebih pagi. Jangan lupa bawa minum waktu kuliah. Makan yang banyak. Jangan telat juga bayar pajak mobil. Ganti plat mobilmu. Tenggat waktunya terakhir bulan depan."

Mataku membulat, "Serius? Kok Emir tau?"

"Kan kelihatan di plat nya."

"Bayarnya lewat online bisa?"

"Nggak bisa Rona. Kamu harus pulang kampung. Gesek sasis dan nomor mesin. Harus bawa KTP."

"Kok repot?"

"Lebih repot kalau di tilang."

"Ya ampun. Hal-hal kayak begini yang bikin aku kangen masa kecil. Nggak usah mikirin kapan perpanjangan SIM. Bayar pajak mobil, mikirin tugas kuliah. Di tangkap polisi."

"Jadi tua bukan cuma tambah dewasa tapi juga bertambah tanggung jawab. Lagian ngapain juga kamu sampai di tangkap polisi?"

"Iya.iya. Besok Jumat malam aku pulang."

"Nanti Kuantar."

"Nggak perluh." Aku langsung menggeleng tegas, "tugas kuliah Emir lagi banyak kan? Aku bisa kok perjalanan antar kota sendirian. Pelan-pelan."

"Yakin bener-bener bisa?"

"Iya."

Emir mengerutkan kening, melirik jam tangannya kemudian berjalan beberapa menit sampai ia meminggirkan mobilku mendadak ke pinggir jalan. Salah satu gang masuk kedalam lingkungan universitas pasca sarjana yang biasanya belum di tutup di jam delapan malam.

"Hari Sabtu seharusnya jadwal mu minum darah."

"Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku bisaa. Aku hati-hati."

Aku berusaha tersenyum meyakinkan. Karena dasarnya aku memang mulai yakin dengan kemampuan menahan laparku sendiri. Tapi Emir jelas tidak berpikiran sama. Karena Emir langsung membuka kemejanya. Menyisakan kaos hitam. Langsung menyelubunginya di kepalaku. Kemeja Emir besar. Super besar. Sampai kepalaku benar-benar menghilang di balik kemeja Emir.

"Ciluuuk baaa." Aku tersenyum, keluar masuk dari dalam kemeja Emir seperti anak kecil bermain petak umpet.

"Sini." Emir menangkap pipiku, menariknya di saat aku masih tersenyum.

"Harus ya?"

"Iya."

"Walaupun aku sudah bilang nggak mau?"

Sebelum aku siap, tanpa menjawab bercandaku, tangan Emir sudah terlebih dulu terangkat memeluk bahuku. Mendekatkanku ke lehernya.

Aroma darah Emir langsung menubrukku. Membangkitkan instingku. Aroma darah yang lebih kuat dari saat aku hanya sekedar duduk disampingnya. Suara detak jantung, suara kehidupan Emir mengganggu tekadku. Dengan cepat, monster dalam diriku mengendalikanku. Aku ikut mengangkat jemariku, menarik kaus Emir mendekat. Memejamkan mataku. Menyambut mangsa yang menawarkan hidupnya untukku.

Tidak seperti dulu, sekarang aku sudah sangat terlatih. Aku tidak lagi seperti vampir liar haus darah. Aku vampir yang lebih beradab. Aku tau kapan aku harus berhenti. Aku tau seberapa banyak darah yang harus kuminum. Sekarang aku punya kontrol di atas naluriku.

Aku juga lebih bisa merasakan darah Emir perlahan mengalir dalam diriku. Pembuluh darahku. Memacu jantungku. Memberiku kehidupan. Mempertahankanku di dunia.

Setelah aku merasa sudah cukup aku memundurkan wajahku dengan cepat. Kurang dari satu menit. Jatahku datang lebih cepat dua hari jadi aku juga masih sedikit kenyang.

"Sudah cukup."

"Apa iya?" Tanya Emir tak yakin, ia hampir memelukku lagi tapi aku mendorong dada Emir pelan, menjauh.

"Jangan kelamaan Emir nanti aku lepas kontrol."

"Kamu nggak akan dan nggak pernah lepas kontrol."

"Akhir-akhir ini iya, tapi kalau misalnya suatu saat nanti aku sampai lepas kontrol. Emir pukul kepalaku. Janji?"

Emir mendengus, "Kamu tau aku nggak akan pernah mukul kamu."

"Tapi Emir janji jangan pernah sampai sakit. Aku nggak mau Emir mati." Aku memundurkan tubuhku menurunkan kemeja Emir ke bahuku, berusaha tersenyum disaat hatiku mulai takut. Ketakutan yang sama selama bertahun-tahun. Mencengkram ku dalam diam. Ketakutan yang selalu muncul dengan tiba-tiba setelah aku meminum darah Emir.

Dan Emir selalu tau saat aku hanya berusaha tersenyum. Entah bagaimana dan sejak kapan Emir mulai membaca isi hatiku, "Aku nggak bakal mati karena hal kayak gini. Aku tau kamu nggak pernah bermaksud membuatku sakit dengan sengaja. Aku baik-baik saja. Aku sehat, Rona. Nggak ada masalah selama bertahun-tahun. Semua akan baik-baik saja. Nggak usah khawatir."

Aku mengangguk, menggigit bibirku. Darah Emir masih terasa disana, "Semua bakal baik-baik aja?"

"Iya." Emir mengangguk yakin. Kembali membawa mobilku melaju ke jalan, sementara aku menarik kemeja Emir ke depan wajahku, menghirup aromanya yang membuatku tenang sambil diam-diam menatap Emir. Memperhatikan bentuk wajahnya dari samping, hidungnya, kerutan di sudut matanya, kacamata hingga cara Emir menyetir mobilku.

Hingga tanpa sadar aku berkata sesuatu yang sejauh ini sebetulnya ragu untuk ku katakan pada Emir.

"Ada vampir lain di fakultasku Emir...."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang