Piece of 24

11 2 0
                                    

Mayang termangu di jendela kamar. Salju yang turun bak bunga-bunga dandelion, menempel di jendela kaca, sebagian muluncur perlahan ke bawah.

Jadi tujuan Jaide ke Istanbul untuk memberi tahu secara langsung waktu pernikahan mereka. Inikah yang membuat ayah sering menelepon. Mendadak pertanyaan West seolah jadi reminder diri, apakah aku mencintai Jaide?

Mayang meraih ponsel. Keinginan menghubungi ayah muncul begitu saja. Mayang menyusuri kontak dan melakukan panggilan ketika nomor ayah ditemukan.

“Halo, Ayah?” sergahnya ketika tersambung.

“Assalamu alaikum,” jawab Ayah di ujung telepon.

Dagu Mayang terangkat, kaget, ayah memberi salam. “Waalaikum salam.”

“Bagaimana kabarmu?”

“Baik.”

“Sudah bertemu Jaide? Bagaimana perjalanan kalian di sana? Bagaimana dengan East? Apakah Istanbul menyenangkan?” Ayah memberondong banyak pertanyaan.

Mayang menjawab satu-satu. “Istanbul luar biasa indah.”

“Ayah pikir juga begitu.”

Mayang lebih merapat ke jendela. Wanita itu memainkan jari di kaca jendela. “A--yah,” wanita itu setengah ragu. “Jaide sudah menyampaikan tanggal pernikahan kami."

“Ya, dia memang datang ke Ayah, menyampaikan hal baik itu. Umi Haifa, Ustad Salman sudah menyetujui waktunya.”

Mayang menghela napas dan mengembus perlahan. Wanita itu berangsur menutup mata, mendadak wajah West yang tergambar di sana. Mayang cepat-cepat membuka mata.
“Minggu lalu ayah bertemu Ustad Salman,” cerita ayah kemudian. “Dan kamu tahu, ayah bicara panjang lebar, tentang kau, tentang ibumu dan latar belakang ayah. Ustad Salman banyak memberikan masukan.”

Mayang mendengarkan.

“Ayah kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat.”

Mayang yang tadinya setengah tak bersemangat langsung terkesiap. “Ayah masuk islam?”

“Seperti yang kau dengar, ayah bersyahadat. Alasan lainnya, karena ayah ingin menjadi wali di pernikahanmu.”

Mayang sadar betapa bahagia ayahnya, bahkan sampai memutuskan memeluk Islam.

Nyatanya perbincangan dengan ayah tak meringankan bebannya. Mayang tetap gelisah, berdiri gusar, dudukpun demikian. Dia berguling-guling di kasur, guling ke kiri, guling ke kanan.

Sudah dua jam di kasur namun Mayang sulit terpejam.

Wanita itu lantas mengambil ponsel. Dia membuka kontak, dan kemudian berhenti di nomor Umi Haifa, sepertinya dia butuh curhat.

“Walikum salam,” Umi Haifa menjawab salam Mayang. “Lama tak mendengar kabarmu.”

“Aku baik.”

“Tumben telepon, ada apa?”

“....”

“Sudah bertemu Jaide?” tanya Umi kemudian.

Tetiba memori di Menara Gelata terlintas di pikiran Mayang. Udara dingin, angin kencang, kata-kata Jaide soal tanggal lamaran yang membuatnya beku sebelum salju turun menerpa ujung menara.

“Menurut Umi, bagaimana sosok West?”

Nada bicara Umi langsung kaget. “West?”

Mayang tersadar dia tak harus menanyakan hal tersebut kepada Umi.

“Siapa West?”

“Maksudku East?” refleks Mayang. Umi belum tahu peran pengganti anatara West dan East.

“East? Pria Turki itu? Jangan bilang kau ragu sekarang?” cecar Umi.

Mayang menutup matanya. Yang barangkali benar, sekarang dia sedang meragu.

...bersambung

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang