Chapter 36 - Energi Abnormal dari Misha

1 1 0
                                    

Rapat besar komite berlangsung di aula megah yang dipenuhi oleh para bangsawan, pejabat tinggi, dan anggota komite kedua kerajaan. Di tengah kesibukan, Haruto duduk dengan tenang di samping Ratu Misha von Ascham. Di sisi lain Misha, Raja Arthur von Ascham duduk dengan sikap anggun, sementara Celestina, putri mereka, memperhatikan jalannya rapat dengan penuh perhatian. Haruto merasa lega setelah kejadian di pintu gerbang, meskipun sesekali rasa gemetar masih menjalar di tangannya. Namun, ia berusaha tetap fokus pada tugasnya sebagai pengawal pribadi Ratu.

Di bagian lain ruangan, Hana, yang sedang sibuk dengan dokumen, mulai menyadari bahwa dia belum melihat adiknya. "Haruto... di mana dia?" gumamnya sambil melirik sekeliling aula, mencari-cari sosoknya. Namun, Haruto tampaknya tidak ada di antara para anggota komite.

Maria, asisten baru yang mendampingi Hana, memutar bola matanya dengan ekspresi sinis. "Kenapa kamu repot-repot mencari dia, Hana-sama? Bukankah lebih baik kalau dia tidak ada di sini? Dia pasti hanya akan menjadi beban. Ksatria yang tidak berguna seperti dia tidak pantas berada di rapat sebesar ini," ucapnya dengan nada dingin dan penuh perendahan.

Hana mengernyit, merasa tidak nyaman dengan sikap Maria. "Maria, dia adikku. Dan aku tahu Haruto lebih dari apa yang kamu pikirkan."

Maria hanya mendengus pelan. "Kamu terlalu baik padanya, Hana-sama. Jujur saja, aku tidak ingin mendengar namanya lagi. Dia selalu tampak tidak pantas di tempat seperti ini." Ucapannya begitu dingin hingga menciptakan jarak antara mereka, seolah-olah Haruto tidak memiliki nilai sedikit pun di matanya.

Namun, di saat Maria masih melanjutkan ejekannya, sebuah gumaman kecil terdengar dari arah meja utama. "Lihat... itu Haruto?" salah satu anggota komite berbisik.

Hana segera mengalihkan pandangannya ke meja utama, dan matanya membelalak. Di sana, di samping Ratu Misha von Ascham, duduk Haruto, dengan postur yang tenang dan hormat. Ia bahkan tampak berbicara dengan sang Ratu secara informal, dan Misha jelas menunjukkan rasa nyaman berada di dekatnya. Raja Arthur dan Celestina juga tampak mengangguk-angguk ringan, mendengarkan dengan penuh perhatian.

Wajah Hana seketika dipenuhi kejutan yang bercampur bangga, tapi Maria... Maria tampak benar-benar membeku. Kata-kata sinis yang baru saja terucap terhenti di tenggorokannya. Bibirnya bergetar tipis, seolah mencoba menemukan cara untuk menyangkal kenyataan di depannya, tetapi tak satu pun kata bisa keluar. Dia hanya menatap tanpa berkata-kata, terkejut dengan fakta bahwa Haruto, yang barusan ia hina dengan kejam, sedang duduk di sisi Ratu, berbincang akrab dengan keluarga kerajaan.

Ruang rapat seolah hening sejenak, dengan beberapa mata penasaran melirik ke arah Haruto dan keluarga kerajaan. Maria, yang biasanya dingin dan penuh keyakinan, kini terlihat terdiam, tatapan matanya bingung dan tak percaya.

Hana, yang akhirnya tersenyum tipis, mendekatkan wajahnya ke Maria dan berbisik lembut, "Mungkin lain kali, kamu harus berpikir dua kali sebelum merendahkan seseorang."

"Cih, bagaimana dia bisa disana ..." geram Maria.

Di tempat Haruto duduk, dia dapat merasakan tatapan tajam Hana dari kejauhan. Sesaat, mata mereka bertemu, dan Haruto melihat kakaknya melambaikan tangan kecil ke arahnya, mungkin sebagai isyarat kasih sayang atau sekadar sapaan akrab. Hana selalu seperti itu—terlalu peduli meskipun situasinya tidak selalu tepat.

Namun, Haruto tahu bahwa ini bukan saatnya untuk bersikap santai atau membiarkan perasaannya mengambil alih. Dia mengambil napas dalam, seolah menenangkan dirinya dari godaan untuk membalas lambaian kakaknya. Bagaimanapun juga, duduk di samping Ratu dan Raja berarti dia harus menjaga profesionalitas dan fokus penuh pada tugasnya.

Dengan sengaja, Haruto mengalihkan pandangannya dari Hana, tetap berusaha fokus pada percakapan di sekelilingnya. Ia tahu bahwa tugasnya sebagai ksatria pribadi Ratu lebih penting daripada interaksi ringan saat ini, dan meskipun hatinya ingin membalas sapaan itu, dia tidak bisa membiarkan perhatiannya teralihkan.

Dead or Alive in Second Life : RETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang